bali, that's it....

Siapa yang tidak pernah ke bali? Saya rasa hampir semua orang yang suka berwisata pasti pernah ke bali. Bali yang terkenal mendunia melebihi Indonesia sendiri. Bali yang menjadi destinasi wisata paling popular yang pernah ada di muka bumi ini. Bali yang beberapa kali diguncang bom tapi tetap mampu menarik wisatawan untuk tetap datang. Itulah sebagian fakta tentang bali, yang tentu setiap orang punya fakta masing-masing yang membuat mereka ingin ke bali, atau kembali lagi ke pulau ini.

Tapi sepanjang hidup , saya tidak pernah benar-benar tertarik ke bali, kenapa?

Alasannya sederhana, karena semua orang pernah kesana, dan begitu mudahnya untuk pergi kesana. Saya selalu berpikiran, selagi masi muda saya ingin pergi ke tempat-tempat indah yang sulit dijangkau, seperti ke puncak-puncak tertinggi , ke pantai-pantai terpencil, gua-gua tergelap dan laut terdalam. Dan buat saya saat itu, bali tidak menjawab semua hasrat tersebut.

Pertama kalinya saya menginjakan kaki di bali kira-kira dua tahun lalu, itupun bukan karena saya ingin ke bali, tapi karena transit untuk menyebrang ke Lombok dalam rangka pendakian gunung rinjani. Sampai di pelabuhan gilimanuk langsung naik bus ke terminal ubung, berlanjut naik bus ke pelabuhan lembar, dan menyebrang ke Lombok. That’s it…

Yang kedua kali juga tidak jauh berbeda, setelah transit untuk menjelajah Lombok lagi, saya hanya sempat bermalam di poppies lane kuta, sehingga saya pernah ke bali. Tapi tidak pernah benar-benar tahu bali.

dan 12 hari yang lalu, akhirnya saya menerima ajakan josh untuk backpacker ke bali, kenapa? Karena saya ingin melihat upacara galungan dan kuningan, lalu bertemu dengan hera teman di jogja yang juga baru pindah ke bali. dengan prinsip sehemat mungkin, dan selama mungkin tinggal disana. Mulai dengan rute paling memuakkan yang sudah tiga kali saya alami. Jogjakarta-banyuwangi dengan kereta sri tanjung yang menghabiskan waktu 16 jam, menyebrang selat bali menggunakan kapal ferry, naik bus selama 4 jam dari gilimanuk ke legian.

Lalu apa yang saya bawa dalam backpack? Hanya pakaian seadanya dan sleeping bag. Itu saja, karena di bali yang penting adalah membawa cukup uang . (dan sejak awal saya sangat tahu, uang saya tidak cukup).

Saya tinggal di kamar kos dikki, kakaknya josh, di sebuah rumah milik keluarga dari wangsa ksatria, rumah yang sangat asri dengan pura di taman yang besarnya hampir menyamai rumah inti. Letaknya di jalan legian-kaja. Kami memanggil pemilik rumah tersebut gung aji ( kakek ) dan gung biang (nenek) bersama gung alit (cucu terkecil). Siang hari saya lewatkan bermain-main dengan gung alit bersama moni (anjing mixed local dengan Australian shepherd). Gung biang membuka warung makan babi di depan rumahnya. Saya sangat suka, sayang saya tidak bisa menikmati masakannya semenjak 8 hari lalu karena persiapan acara kuningan dan galungan.

Kebanyakan orang saat ke bali seperti dikejar waktu, berusaha mengunjungi semua tempat dalam waktu singkat. Sebegitu banyak tempat wisata ingin dicapai dalam 3-4 hari, mengingat biaya makan dan penginapan yang cukup mahal.

Tapi jujur semenjak 12 hari ini saya mulai menikmati tinggal disini, saya mulai mencintai keseharian saya disini, bukan sebagai wisatawan, tapi sebagai orang bali, menikmati segala kesederhanaan tersembunyi legian-kuta. Menjalani ritme lambat bali.

Dan fakta menarik yang saya temukan di bali adalah : tinggal disini tidak semahal yang dibayangkan banyak orang

Setiap hari, saya bangun pagi dan langsung jalan kaki ke pantai legian, ini salah satu aktivitas paling menyenangkan untuk saya. Mencari sarapan pagi yang enak dan terjangkau (ya, tapi masi cukup mahal dibandingkan jogja) di pantai ini. Jangan berpikir pergi ke restaurant yang menghadap ke pantai dengan tenda-tenda payung bercorak tropical. Tapi carilah penjual nasi bungkus yang berdagang di beberapa titik di sepanjang pantai. Mereka menggunakan sepeda motor dengan box kayu yang dimodifikasi menempel di bagian belakang. Dengan mengeluarkan Rp.3.000,00 kamu sudah bisa mendapat nasi bungkus. Tinggal pilih isinya : ati ampela , tuna, ayam suwir, telur dadar, kerbau…dengan bumbu yang bervariasi setiap harinya. Untuk orang dengan porsi makan normal, dua bungkus sudah cukup mengenyangkan. (Dan jangan salah, konsumennya bukan dari orang local dengan tingkat ekonomi rendah, setiap pagi kami sering bertemu dengan orang-orang jepang dan australi yang menjadi langganan.) Korbankan Rp.2.000,00 untuk mendapat satu cup kopi panas (nescafe, abc, dll), bawa ke tengah pantai, duduk di pasir yang hangat sambil mandi sinar matahari pagi. “good is life” dan kami bersulang.

Siang hari, saya makan di warung gung biang (untuk non-muslim) , merelakan Rp.10.000,00 untuk ditukar dengan satu porsi besar nasi dan seiris tebal daging babi dilengkapi es teh khas bali yang beraroma mawar.”life is good”. Namun, semenjak mendekati galungan dan kuningan warung gung biang tutup, maka saya hampir selalu makan di warung muslim / warung jawa. Habiskan 7.000,00 untuk dapat nasi sayur dengan telur dan dua gorengan. Rasanya tidak jauh beda dengan warung-warung tegal yang tersebar di sepanjang pantura.

Sesudah kenyang, kembali ke pantai untuk membaca buku di bawah pohon rindang beralas handuk dengan disejukan oleh angin lembut pantai legian. “And life must be good”
Mendekati jam tiga sore, saatnya bermain ombak, saya tidak pernah khawatir terbawa arus, karena dari tepian yang dangkalpun sudah bisa merasakan sensasi terjangan kuat ombak. Selelahnya, dan ditutup dengan jagung bakar yang bisa ditebus dengan Rp.5.000,00

Yang selalu saya tunggu adalah saat-saat mendekati matahari tenggelam, menikmati orang-orang yang asik membawa anjing mereka jalan-jalan, anak-anak yang bermain bola di pesisir pantai yang surut, pasangan-pasangan yang duduk berdua atau jalan kaki di sepanjang pantai, bule-bule berbikini yang nyaman dengan kursi malasnya. Dan saya duduk di tengah-tengah mereka, antara ada dan tiada, ditemani botol kecil dingin bir bintang…..

To be continued………..

Comments

  1. Wowow, Bali!!! :) I want, I want, I want!!

    ReplyDelete
  2. Ke Bali cuma untuk "mengejar setoran" memang tidak menarik. Tapi Bali akan menjadi sangat menarik kalau diselami dengan seksama, budayanya, bahasanya, dan alamnya (yang nggak cuma pantai).

    Nanti kalau ada waktu saya ingin berdiam di Ubud sekitar seminggu sampai dua minggu, ingin merasakan bagaimana tinggal di tempat yang katanya salahsatu kota ternyaman di asia tenggara, sambil menikmati karya-karya seni, atau baca buku di sore hari :)

    ReplyDelete
  3. baca ini jd pengen ke Bali.. hiks.. dah lama bgt.

    ReplyDelete
  4. Great post Rio! Menikmati kehidupan lambat tapi penuh makna :)

    ReplyDelete
  5. hahahaha. kayaknya kenal niiiihhh (tetangga)

    ReplyDelete
  6. Yes... life is good in Bali :)

    Iya, boss, kalo mau menikmati Bali, gak bisa cuma 2-3 hari. Mesti terlibat dalam kesehariannya, hidup dalam ritme lambatnya. Lebih sip lagi di daerah yang bukan di Denpasarnya :)

    See u around!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati