Mengingat Dua Perempuan


Ibu terus memandangi foto 4R di tangannya, di situ terekam wajah kakak dan saya, menggunakan toga dan medali berwarna, wajah kami di foto itu halus lembut berbeda dengan realitas. Ibu bahagia, ia sukses mewujudkan mimpinya. Malam itu kami bertiga makan malam bersama. Kami menraktir ibu di kunjungan pertama kalinya ke Jogja ini selama anaknya studi.

Dulu, ibu gagal dalam studi di sekolah menengah atas, bukan karena masalah biaya, tapi karena ia yang berasal dari desa kecil tidak betah hidup di ibu kota. Saudara-saudaranya bertahan, hampir semua tamat SMA dan beberapa lulus kuliah. Sedari kecil, ibu jarang memberi saya nasehat macam-macam, ia jarang memaksakan keinginannya. Ibu hanya selalu bilang "jangan jadi orang bodoh, karena itu menyakitkan" Saya tidak tahu cerita apa di balik nasehat yang membekas dalam di benak kami, kakak dan saya.

Saya teringat kejadian empat belas tahun lalu, krisis moneter melanda perekonomian negeri ini. Dampaknya menghempas semua orang, ayah pun tak luput dari riaknya. Dalam kurun 5 tahun usaha ayah goyang dan perlahan-lahan luruh seperti tembok garam dibelai air laut. Ia tak mampu bangkit lagi. Ia tak mampu berlari lagi.

Dulu, ayah tidak pernah mengizinkan ibu memulai usaha sendiri. Ia yakin usahanya bisa memenuhi kehidupan kami semua. Masa kecil kami dihiasi dengan gaya hidup orang mampu. Namun, saat ayah tidak lagi mampu menarik roda kehidupan di rumah, maka ibu yang turun tangan mendorong. Beruntung, ia lahir di keluarga kurang mampu, ayahnya, kakek kami, selalu mendorong setiap anaknya untuk bisa menjahit dan membuat kue. Keahlian itu dan tekad kuat bahwa anaknya tidak boleh bodoh, membuat ibu berpeluh darah menarik kehidupan kami sedikit demi sedikit ke tempat yang lebih baik.

Kakak menjalani kehidupan yang lebih berat dari saya. Ia mengalami kekecewaan besar karena ayah tidak mampu lagi membiayai kuliahnya, harapannya hancur saat terpaksa berhenti studi. Namun, ia mewarisi determinasi ibu. Ia pergi ke Jogja untuk bekerja dan menentukan hidupnya sendiri. Dari seorang admin warnet sampai menjadi auditor internal, dari seorang yang gagal lulus sampai menjadi Sarjana Ekonomi, semua dengan usahanya sendiri.


Sampai saya bisa kuliah, itu juga atas berkat kakak dan ibu. Mereka saling mengisi kekosongan biaya besar yang diserap proses studi. Saya kurang tahu diri, terseok-seok hampir enam tahun untuk menyelesaikan pacuan studi yang saya pilih sendiri. Tapi mereka tidak pernah berhenti, terngiang kata-kata ibu sedari dulu "jangan jadi orang bodoh, karena itu menyakitkan".

Beberapa hari lalu kenangan ini muncul, dipantik kicauan kakak di social media "Kepala saya memang keras seperti batu tapi jika saya klemak-klemek mungkin hari ini saya dan adik saya hanya bekerja sebagai karyawan toko"

Itulah kenapa, saya sebagai lelaki di dunia yang patriarkis ini, tidak pernah sekalipun berpikir lebih tinggi dari perempuan. Saya bisa sampai sejauh ini karena dua perempuan hebat dalam hidup saya, ibu dan kakak.

Comments

  1. Rio ibunya cantiiiikkk... Masih muda. Eh jgn2 umurnya gak jauh dr gw lagi *pedih

    ReplyDelete
  2. Congrats Rio udah lulus kuliah. Terkadang, tekanan hidup yang berat menempa seserang untuk mengeluarkan sisi terbaiknya. Lebih banyak pelajaran yang hidup berikan ketika kita berada di bawah dibanding di atas. Semangat ya, terus dan terus membuat Ibu dan Kakaknya bangga :)

    ReplyDelete
  3. eh rio, gue sampe terharu. salam buat nyokap dn kakak lo... emg lo ya, dikuliahin malah jalan2 muluk.. hahaha. slmt yo (akhirnya) lulus :)

    ReplyDelete
  4. I just read this story....salut buat kak Ichaaa! She's tough! Salut juga buat ibumu! Kamu benar. Kedua perempuan di hidupmu ini sangat hebat!

    ReplyDelete
  5. Ah, pernah tinggal di Yogya juga ternyata. Dan malahan lebih senior, tampaknya. :) Dan namanya Rio! Hahaha. Again, salam kenal, Rio!

    ReplyDelete
  6. Rio gua baca postingan ini jadi terharu.

    Yup I agree, My late Mom raised me as a single parent too after my dad deceased in 1997.

    Dan sekali lagi saya setuju, saya di dunia patriarkis ini tidak pernah merasa lebih dari perempuan.

    ReplyDelete
  7. jadi keterusan nih isieng isengbaca tulisan Rio.....
    jadi inget masa kecil dulu yah...........kita tetanggaan...salam buat mama yah

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati