an usual time in unusual memories


apa yang sudah hilang relakan saja menghilang, bukannya kehidupan menyediakan pengganti yang lebih dari cukup...

Langit mulai biru pekat, bergradasi dari ungu muda di ujung horizon, awan-awan semakin tebal walaupun tidak hujan, adzan juga sudah mendekati episode terakhir, dan dari ketinggian tebing perbukitan wonosari, terlihat ribuan lampu-lampu di seluruh jogja mulai menyala, berkelap-kelip di awal sampai stabil berpijar di akhir, mobil-mobil terlihat seperti lampu natal, berjejer teratur penuh warna bergerak memutari perbukitan. Angin bergerak dari lembah menyelimuti tubuh agar jauh dari hangat, inilah bukit bintang, yang terkenal karena view langsungnya yang indah, yah indah, keindahan yang baru lelaki itu ketahui, baru lelaki itu sadari, baru lelaki itu amini.



Segelas kopi hangat di sebelahnya sudah setengah kosong, dan pasti gelas itu bukan yang terakhir, karena ia memutuskan untuk menghabiskan malam disitu, hanya untuk mencoba menyadari keindahan yang harusnya lebih indah bila ia tidak selalu lewatkan kesempatan yang pernah ada.



Dan memori-memori yang koma, mulai hidup



(piano berdenting dalam slow motion)



“ke bukit bintang yuk…, liat sunrise”



“duhh.mank ada sunrise ya di bukit bintang? Laen kali aja yah”





(piano berdenting1/4 ketukan lebih cepat’)



“ehh…sunset di bukit bintang keren lho, hunting yuk”



“klo mau hunting sunset ya ke pantai, parang tritis kek, yang jelas sekalian”





(biola mulai mengalun halus)



“ngupi-ngupi yuk ke bukit bintang, kayaknya coklat panas juga ada deh’



“wahh..aku baru ja mau pergi, temenku ngajakin makan sop di deket panti rapih, lagian kalau mau coklat panas ya ngapain jauh-jauh kesitu”





(bass mulai bergetar)



“ke bukit bintang yuk..ini ajakan terakhir loh!!”



“yakin ini yang terakhir??”



(semua berhenti berbunyi dalam ketukan yang sama)





Memori-memori mulai berbunyi



(suara flute meninggi)



Malam yang basah, di warung tenda babarsari, dipisahkan oleh capcay ayam goreng dan nasi goreng sea food



“kamu inget kan cowok anak UPN yang aku ceritain ketemu di kelas pagi?’



‘iya, yang kamu bilang suaranya klo ngomong keren itu kan? Yang bikin kamu kleyeng-kleyeng?”



‘iya, masa dia nembak aku kemaren”



“lho, kenapa gak kamu terima?”



Dan lelaki itu hampir tersedak, ada sesuatu yang dirasa salah, tapi dia tak tahu apa.



“abisnya dia kecepetan, kan baru kenal, harusnya gak seburu-buru ini”



Lelaki itu terus mengunyah capcaynya..



“yakin gak nyesel??”



Tiba-tiba rasa capcai itu menjadi tawar



“ iya juga yah, kira-kira besok dia bakal nembak lagi gak yah?? Kan gengsi masa ditembak sekali langsung mau”



“ngga, laki-laki ngga mau mengemis-ngemis buat hal begituan, udah kamu ngomong aja suka juga ma dya, beres kan?? Sama-sama bahagia”



Seketika rasa bahagia yang menemani lelaki itu lenyap, berganti dingin dan kosong



“ oo iya?? Kamu yakin?”



“hee’eh, ya…mmfhh..”



Rasa sakit menyerang perut lelaki itu, rasanya semua sayuran yang masuk ingin dia muntahkan, dan dia berpikir capcay itu pati ada seafoodnya





(suara flute, biola dan bass mulai naik turun)



Di atas motor,pulang sehabis minum coklat panas di tempat biasa



“heii…mank kamu suka cewek yang gimana??”



“yang pintar !!!” lelaki itu tertawa



“pintar kayak gimana? Pintar studi, pintar main musik, pintar ngomong??”



‘yah..pintar kayak kamu”



lelaki itu tertawa lebih keras, ia ingin terlihat bercanda, ingin terlihat tidak serius, tapi malam itu ia tidur nyenyak, ada sesuatu yang terasa lepas tapi sampai saat itu ia tidak tahu itu apa



(seluruh orkestra bergema)



Di saat hari sudah malam, tapi langit masih biru, lampu merah di perempatan plengkung gading, sehabis pulang hunting foto di parangtritis dan makan sate klatak di bantul



‘jangan telan mentah-mentah apa omongan orang!!” ia tidak sadar nadanya meninggi



“memang kenapa?”



“dari setiap nasehat dan saran pasti ada kepentingan yang tersembunyi”



“iya, tapi aku bingung” perempuan itu memelas



“kamu harus mikir benar-benar apa yang kamu butuhkan, cari info lain buat referensi”



“iya, juga sih, habisnya aku bingung, jadi percaya aja, lagian mereka kan baik mau kasih pertimbangan”



“baik buat mereka, belum tentu baik buat kamu”



“sekarang kamu tahu kenapa mereka adu omong hanya untuk memberimu saran?”



“ga tau, sama-sama yakin kali”



“bukan, karena mereka sama-sama punya kepentingan dari keputusanmu”



“kamu jangan under estimate gitu dunk, memang kenapa?”



“yang satu mau jual barangnya dan yang satu mau kamu beli barang favoritnya supaya dia bisa pinjem’



Hening…………



“iya juga yah, koq aku polos banget” dan perempuan itu mulai mengetuk-ngetuk helmnya



“ya gitu deh”



‘Makasih ya..aku seneng ada orang yang peduli ma aku, bisa ngajarin dan bimbing aku”



Dan tubuh lelaki itu seakan-akan menjadi seringan kapas,dan segera terhempas saat angka sebelas masih berbekas di lampu penanda.



(seluruh orkestra bergema dan perlahan berhenti, terganti oleh hembusan angin yang menari”





“ke bukit bintang yuk..ini ajakan terakhir loh!!”



“yakin ini yang terakhir??”



(semua berhenti berbunyi dalam ketukan yang sama)



Dan benar itu yang terakhir, sejak saat itu ia menghilang, ya perempuan itu menghilang, dia menghindar, dan lelaki itu mulai menyadari dia kehilangan, kehilangan yang tak pernah bisa dijelaskan, karena selama inipun ia tidak pernah merasa memilikinya, dan dia, akal logisnya, terus mencari jawaban kenapa dia tersiksa atas perasaan kehilangan,hal yang bodoh, kehilangan atas apa yang tak pernah dia rasa miliki



Langit hitam pekat di tengah malam, dan lelaki itu masih terus memandangi lampu-lampu yang menghibur dirinya, menghela nafas panjang, meminum tegukan terakhir dari 3 gelas kopi yang ada. mencoba berdamai lagi dengan dirinya..



dan logikanya teriak.....

apa yang sudah hilang relakan saja menghilang, bukannya kehidupan menyediakan pengganti yang lebih dari cukup...

Comments

  1. lu bikin drama ya nyong? mau dong gw dibikinin nt kalo ada tgs drama.pake bhs ingg ya.hehhehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

kenapa saya keluar seminari ?