Posts

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

Image
Malam itu penghujung tahun 2007, kami meringkuk di dalam tenda yang bocor. Beriring bunyi frame yang bergoyang reot Andri diam, Dendy muram, Sandy terpejam, wajah kami suram. Di luar angin berpesta pora, hujan bukan lagi butiran air tapi seperti ditumpahkan sekaligus dari langit. Jalur Linggarjati adalah jalur terpanjang untuk menuju puncak Ciremai. Selain panjang, jenis treknya pun beragam, sambil menembus hutan hujan rapat, jalur menanjak berundak berliku curam jadi santapan wajib setiap pelintas. Di antara itu semua, legenda-legenda dan kisah yang menaungi setiap pos perhentian juga menjadi beban mental, dengar saja namanya mulai kuburan kuda, tanjakan ayah tiri sampai sumur peri. Kami muda, dan lagi senang-senangnya mendaki. Rekor pendakian adalah tujuan, modal sedikit dan cuaca buruk bukan halangan. Yang terpenting adalah bisa sampai puncak, dalam kamus kami, we are too young to die. Jalur Linggarjati tidak memiliki sumber air, sehingga dalam masing-masing carrier yang

Cerita Pendek si Anak Tionghoa

Image
Waktu kecil saya ingin jadi tentara atau polisi, tentu karena setiap hari Kamis saya menonton film-film mandarin yang dibintangi Jet Lee, Chow Yun Fat atau Jackie Chan yang berkisah tentang kehebatan polisi dan tentara dalam layar emas RCTI. Namun ketika saya memberitahu papa cita-cita tersebut, jawabannya cukup mengejutkan. “Rio, kita ini orang tionghoa, di negara ini orang tionghoa tidak punya kesempatan untuk menjadi PNS, polisi, tentara, gubernur apalagi presiden.” Lalu ia menceritakan kisah anak Apek Liong, tetangga di kampung seberang. “Si Chen itu di sekolah pintar, saking pintarnya ia dapat beasiswa dan bisa masuk tentara, tapi udah sekian lama di sana, jabatannya di situ-situ aja, jadi tukang ketik, mana boleh orang Tionghoa jadi komandan, apalagi jenderal”. Saat itu saya masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu karir, jabatan atau diskriminasi. Namun, dari obrolan tersebut muncul kesadaran baru. Saya, cici, papa-mama, A mak- A kong, Aih-Apek di kampung dan di se

Kemping Ceria Bukit Tegalwangi

Image
“No man can see himself unless he borrows the eyes of a friend” ― Colin Higgins Malam itu cerah cenderung gerah. Edna sudah menyerah memaku pasak tenda setelah yang terakhir malah bengkok. Serampung ditali dan dipasak apa adanya tenda akhirnya siap, tegak tapi tidak sempurna. Berdiri di atas Bukit Tegalwangi Jimbaran yang dibentuk oleh kapur dan karang, dengan pemandangan langsung ke laut selatan serta dari jauh nampak lautan cahaya dari hotel di pesisir pantai, kami terpikat untuk merenung berlama-lama. Saya, Edna dan Westi tiba lebih dulu. Sedari siang kami bimbang apa jadi berkemah di sini atau batal. Tidak semua orang bisa masuk area ini. Di menit-menit terakhir izin turun dan kami bisa masuk. Tidak heran, Westi adalah arsitek yang merancang banyak proyek perusahaan pengembang yang memiliki bukit ini, sehingga semua birokrasi panjang bisa diselesaikan. Bila izin tidak keluar, Plan B adalah berkemah di Pulau Serangan. Ini pertama kalinya Edna ikut berkemah dengan kami.

Menerawang Terang Kunang-Kunang

Image
Here come real stars to fill the upper skies, And here on earth come emulating flies, That though they never equal stars in size, (And they were never really stars at heart) Achieve at times a very star-like start. Only, of course, they can’t sustain the part. Fireflies in the Garden By Robert Frost Hujan membasuh Jalan By Pass Ngurah Rai ketika kami melaju dalam mobil Grandmax yang dikendarai oleh Cok. Di dalam mobil yang disulap jadi karavan serbaguna itu Cok, Rara dan saya berhimpitan di kursi barisan supir sedangkan Syukron di belakang bersanding barang-barang. Kami menuju utara demi memenuhi undangan Pak Made Sukana untuk menjajal Tur Kunang-Kunang yang ia kelola. Undangan ini bukan tanpa sebab, setelah tadi siang saya, Syukron dan Cok mengisi kuliah umum yang bertema “Peran Digital Content dalam Promosi Pariwisata” di Program Studi Destinasi Pariwisata Universitas Udayana , Pak Made Sukana sebagai dosen pengampu mata kuliah kewirausahaan menawarkan trip ini. “Siap

Trangia

Image
Saya pernah mendengar idiom bahwa nyawa seorang pendaki atau pencinta kegiatan outdoor pertama ada di tangan Tuhan, kedua di dalam carriernya. Walaupun yang nomor dua tampak berlebihan tapi bisa dibenarkan juga. Mental adalah syarat utama dalam pendakian, kesiapan fisik menyusul setelahnya, tapi tanpa pengetahuan dan perlengkapan yang memadai dalam pendakian kita bisa mati konyol di gunung. Banyak kasus kematian di gunung bukan karena kecelakaan seperti jatuh di jurang atau diserang binatang buas, namun lebih pada hipothermia karena kurangnya pengetahuan dan perlengkapan untuk bertahan hidup di alam liar. Semenjak mulai mendaki di awal SMA, sekitar tahun 2004, saya sadar perlengkapan pendakian itu mutlak bila mau terus melakukan kegiatan ini dan tidak mati muda. Perlengkapan itu saya cicil satu demi satu dari uang saku yang sangat tidak seberapa. Memasuki tahun 2007, saat saya pindah ke Yogyakarta untuk kuliah, carrier beserta seluruh perlengkapan (sleeping bag, tenda, kompor

Kemping Ceria Pantai Nyang-Nyang

Image
A friend is a gift you give yourself.” ― Robert Louis Stevenson Walau sudah melewati titik paling terang dalam satu periode, bulan masih menggantung di angkasa dikelilingi galaksi Bima Sakti. Di bawah mereka, Pantai Nyang-Nyang yang biasanya gelap gulita terusik oleh kami, lima orang manusia yang mendirikan tenda dan menyalakan kayu bakar. Jam menunjukan pukul 21.00 WITA tetapi Nanda dan Westi masih asyik bereksperimen memasak ayam saus asam manis, berkali-kali mereka mencicipi dan menambah bumbu ke dalam frying pan namun belum juga menemukan kesepakatan rasa sempurna. Rencana berkemah ini benar dadakan, seperti kegiatan berkemah sebelum-sebelumnya. Ketika tenda dan trangia yang dipesan dari Tandike Jakarta tiba dengan selamat pada hari Jumat sore di Bali, otak ini langsung berputar mencari tempat untuk menjajal dua alat tersebut. Awalnya, Lembongan yang dijadikan destinasi pertama. Namun, Asong yang tiba-tiba mengajak untuk mendaki Bukit Songan mengubah rencana pertama. Lela

Meracau di Prau

Image
“I like this place and could willingly waste my time in it.” ― William Shakespeare Teks oleh Rio Praditia & Foto oleh Andri Suanto Malam penghujung musim kemarau memamerkan hawa dinginnya sesaat setelah matahari undur diri di barat. Andrie yang selepas berburu foto di balik bukit langsung membongkar carrier, meraih baju hangat dan jaket windproof lalu tergesa-gesa mengenakannya. Selamat datang di Gunung Prau di mana kita bisa menyaksikan barisan pegunungan tanpa perlu lama-lama mendaki, terang Andrie sembari menghangatkan air di Trangia Mini. Hanya ada Andri, saya dan alam di malam itu. Rencana pendakian awal adalah dua malam sebelumnya namun karena alasan aklimatisasi (yang dibuat-buat) kami baru mulai mendaki di pagi hari itu. Setelah sehari sebelumnya kami habiskan berjalan kaki keliling Dieng mengunjungi obyek-obyek wisata seperti kawah-kawah, danau dan juga candi. Tapi dari itu semua yang paling berkesan adalah kuliner asli Dieng, seperti Mie Ongklok, kent