Posts

Showing posts from January, 2014

Mulai Meniup

Image
  “Without music, life would be a mistake.” - Friedrich Nietzsche Saya selalu iri setiap melihat orang memainkan alat musik, apalagi bila yang ditampilkan adalah alat-alat musik klasik seperti biola, harpa, cello, biola dan sebagainya. Sepanjang saya hidup, bermain musik seperti sesuatu yang tak terjangkau, sesuatu yang mewah, sesuatu yang suci. Saya seakan-akan harus sadar diri, saya tidak dilahirkan untuk itu.    sumber: http://latimesblogs.latimes.com Tidak ada tradisi musik dalam keluarga, sejak kecil kami dididik untuk suka membaca, dalam keseharian ibu menuntut anak-anaknya untuk jago matematika dan bahasa inggris. Oleh karena itu, jangankan untuk tahu simbol-simbol dalam partitur, do re mi saja saya seringkali salah nada. Tapi, jauh di lubuk hati, saya ingin bisa bermain alat musik. Ketika sekolah di seminari, saya punya kesempatan untuk belajar musik, mulai dari latihan koor, grup akustik, karawitan sunda, sampai orkestra klasik. Saya seringkali naik

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Image
Tersebut suatu gang sempit di depan gerbang utara kampus I Universitas Sanata Dharma,   gang tersebut bernama Gg. Pertolongan I. Tidak ada yang tahu asal mula nama tersebut, tapi setiap hari ratusan bahkan ribuan mahasiswa melewati jalan sempit itu. Gang tersebut jarang dikenang, gang tersebut seringkali terlupakan, tetap saja gang itu menyimpan ultra mega terra byte kenangan setiap anak muda yang pernah belajar di kampus-kampus di sekitarnya, terutama Universitas Sanata Dharma. Di gang itu setiap pagi dan siang, pelajar-pelajar tersenyum bahagia karena perutnya terisi sempurna tanpa perlu merogoh kocek dalam-dalam. Di sana mungkin mahasiswa kantong pas-pasan mengajak mahasiswi idaman kencan sambil makan siang, atau pemuda-pemuda patah hati yang coba meredakan luka dan sepi dengan segelas es teh. Inilah gang pertolongan yang legendaris, tidak dirasa tapi berjasa, tidak angkuh tapi merengkuh, tidak mengeluh tapi teduh, tidak mencekik tapi baik. Dari sekian banyak tempat makan

Honesty Seems To Be The Hardest Word

Image
Setiap rokok ayah habis, ia akan menyuruh saya membeli rokok ke warung. Saat itu harga rokok Gudang Garam masih Rp. 3.000,00, ayah selalu memberi saya uang Rp. 5.000,00, setiap saya menyerahkan rokok dan uang kembalian kepadanya, maka ia akan selalu memberikan uang kembalian itu untuk saya. Untuk anak kecil di zaman itu, uang dua ribu rupiah saja sudah sangat besar, maka saya sangat antusias setiap ayah menyuruh membeli rokok. Selama bertahun-tahun, saya terbiasa membeli rokok dan mendapat uang kembaliannya. Sampai suatu ketika,   saya pulang membawa rokok dari warung ketika ayah sedang mandi. Saya taruh rokok di atas meja tempat ayah biasa menaruh asbak dan rokok. Di rel kereta, teman-teman sedang berkumpul main petasan, uang kembalian tersebut tanpa pikir panjang saya bawa untuk membeli petasan. Sore itu sangat menyenangkan, saya bisa melempari kereta yang lewat dengan petasan. Langit mulai memerah pekat, waktunya pulang, saya dengan riang masuk ke rumah, duduk di s

LDR Does Work

Image
“i don’t believe LDR can work” itu ungkapan pertama ketika mendengar kisah Eillen. Dia tersenyum, sudah setahun lebih ini dia berhubungan dengan seorang lelaki berkebangsaan Inggris yang tinggal di Australia. “so, you come to Bali just to meet him?” tanya saya tak percaya. Sebentar, sebentar, siapa itu Eillen? Di malam yang berlangit kurang pekat, Yogi mengirim pesan via whatsapp, menanyakan apa saya sanggup menjemput temannya di bandara. Tak ada kegiatan berarti di sini membuat saya dengan cepat menyanggupinya. Dia mengirim profil facebook dan kontak WA temannya tersebut. Dari situ saya tahu,   namanya, Eillen Calixto, seorang perempuan filipina. Saya tergesa-gesa berlari dari parkiran motor menuju bandara internasional Ngurah Rai Bali. Sambil sesekali melongok penunjuk waktu di hape pintar, saya sudah terlambat 40 menit. Tak lama, saya bertemu perempuan itu sedang asyik menikmati americano di waralaba warung kopi. Setelah perkenalan, dia menanyakan umur saya, “you

The Holly Gunung Agung

Image
Mendaki Gunung Agung sudah menjadi wish list semenjak awal saya mulai mendaki gunung. Namun, karena pergi ke Bali tidak pernah jadi prioritas dan konon untuk mencapai tanahnya wajib memakai guide yang biayanya tidak cocok dengan kantong pelajar maka baru sembilan tahun kemudian saya bisa berdiri di atas gunung suci itu. 30 Desember sore, saya mengirim pesan ke Rara, apa ia ingin berkunjung ke kontrakan BPI Regional Bali, karena saya   ingin mengembalikan motor yang selama dua minggu saya pinjam, sehingga untuk pulang kembali ke kos saya bisa menumpang motornya.   Tanpa diduga, balasannya adalah mengajak saya ikut pendakian ke Gunung Agung, berangkat satu jam dari saat itu, jam enam sore. Tanpa ragu saya iyakan ajakannya. Segera saya berkemas, membawa peralatan pendakian secukupnya dan tentu uang yang cukup banyak, untuk antisipasi mesti membayar guide. Di kontrakan, sudah menunggu rombongan dari BPI Surabaya, di sana juga saya bertemu Mas Ilham dari @JuliwaOutdoor