tersembunyinya keterbukaan

Ponsel itu berdering, dan lelaki itu mendiamkannya. Ponsel itu terus berdering lagi dan lagi. Lelaki itu mulai gelisah karena dia sangat lelah, lelah berpura-pura setiap dia mengangkat ponselnya. Dia aktifkan mode sunyi tapi nyala ponsel itu tetap berpendar-pendar dan bergetar. Dia menghindari ponsel itu tapi tak berani mematikannya. Karena bila lelaki tersebut melakukannya penelepon disana akan tahu kalau lelaki itu tidak mau bicara. Dan tak ada alasan buat mengelak.

Penelepon itu perempuan yang haus akan kabarnya, gelisah karena lelakinya mendadak sunyi, merasa terancam karena belahan hatinya dingin perlahan, kebingungan karena kucuran perhatian yang tiba-tiba mongering, tahu ada bagian kosong di hati lelakinya yang tak bisa dia isi, mengerti tapi pura-pura tak tahu.

Pernah suatu kali si penelepon datang tiba-tiba ke kota lelaki itu yang sederhana di tengah jawa. 400 km dilewati hanya untuk mewujudkan imagi-imaginya akan lelaki itu. Lelaki itu panic, di telepon dia bisa berpura-pura tapi tidak bila bertatap muka.

lelaki itu punya ketulusan dalam menyayangi namun bukan mencintai Dulu, lelaki itu tulus menyayangi si perempuan seperti dia menyayangi perempan-perempuan lainnya, sahabat-sahabatnya dan orang lain yang dekatnya. Tapi di mata si perempuan semua yang diberikan oleh lelaki itu adalah cinta eksklusif untuknya, dia ingin hanya untuknya, dan merasa cuma kepadanya perhatian lelaki itu tercurah.

Ponsel itu kembali berdering, berdering di hidupnya, telinganya, di pikirannya, di hatinya. Dan setiap ponsel berdering lelaki itu selalu diliputi perasaan amat sangat bersalah. Dia sudah mulai depresi akut hidup dalam kepura-puraan.

Lelaki itu menemukan si penelepon dulu, saat si penelepon luluh lantak hatinya karena mengharapkan seseorang yang tidak mau diharapkan. Seseorang tersebut adalah teman baik lelaki itu, mereka berteman sangat baik dan tahu satu sama lain. Lelaki itu hanya ingin membantu si penelepon berdiri kembali, menyusun serpihan hatinya, dan mendorong untuk kembali mengayuh hidupnya. Mungkin juga mencoba melakukan tanggung jawab akan hal buruk yang dilakukan temannya namun di kenyataan lelaki itu melakukan hal yang lebih buruk dari temannya.

Lelaki itu dan temannya memiliki banyak kesamaan, mereka terlatih dan terbiasa untuk menjadi orang bagi sesamanya, terkonstruksi di pikirannya kalau cinta itu universal seperti Tuhan yang menumpahkan hujan bagi orang jahat dan baik, mereka hampir tidak pernah bersentuhan dengan apa yang namanya hubungan intens dengan seseorang, mereka tahu cara membantu dan memperhatikan sesamanya tapi tidak terbiasa cara membangun hubungan yang khusus dan hangat. Mereka orang yang logis dan merasa keromantisan adalah hal yang irasional. yang terparah adalah kedua orang itu kritis dan sangat tidak sensitive.

Ponsel itu kembali berdering, bukan hanya mengganggu hidupnya tapi mengusik orang-orang disekitarnya. Lingkungannya mulai berteriak ‘angkatlah telepon itu atau kamu tidak usah hidupkan” tetapi lelaki itu bergeming. Tetap pada keputusannya menunggu batas-batas kesabaran si penelepon, menunggu si perempuan yang mengakhiri semuanya.

Lelaki itu tidak tahu yang dia hadapi adalah perempuan yang terlatih untuk bersabar, dan percaya semua akan menjadi baik dengan kesabaran. Orang yang yakin dengan menunggu sedikit lagi maka semua akan berakhir dengan indah.

Si Perempuan tidak sangat sangat jelek dan lelaki itupun tidak pernah menghargai seseorang hanya karena penampilannya. Tapi si perempuan terlalu sensitive sehingga harus menyelesaikan semuanya dengan tangisan atau berkeluh kesah pada teman perempuan masa kecil lelaki itu.

Lelaki itu muak bila dia harus menghadapi ocehan orang-orang tentang bagaimana dia harus memperlakukan si perempuan. Lelaki itu tidak suka dikendalikan dan tahu si perempuan mencoba mengendalikannya melalui tangisan dan teman-teman terdekatnya.

Ponselnya terus berdering, 24 kali berdering dengan nama yang sama. Lelaki itu menutup telinganya dengan bantal. Tapi deringan merasuk ke jiwanya, menggaruk-garuk ngilu, menambah panjang daftar goresan perasaan bersalah, lelaki itu berlari ke puncak-puncak gunung dan ujung-ujung pantai sepi. Tapi deringnya bergema dan memantul dimana-mana. Lelaki itu tidak bisa lari lagi, kecuali dia mati.

Lelaki itu menyesali keputusan bodohnya dulu, kenapa dia tidak setegas temannya yang berani menyatakan tidak, mundur perlahan dan menghilang cepat, lelaki itu berusaha menolong namun dia ikut terbakar. Atau memang perempuan itu telah memendam hasrat dan kesepian begitu lama sehingga satu percikan saja bisa membuatnya meledak?

Pernah suatu kali lelaki itu pulang ke rumahnya dan si perempuan tahu. Perempuan itu memaksa untuk bertemu. Beribu alasan dia sampaikan hanya untuk sekedar mengelak untuk bertemu. Namun kekerasan hati si perempuan berhasil membuatnya angkat bendera putih. Ternyata di hari yang seharusnya mereka bertemu,.lelaki itu benar-benar tidak bisa datang. Perempuan itu menunggu delapan jam lamanya sampai matahari terbenam. Dia tidak percaya kalau lelaki itu benar-benar tidak bisa. Dia menangis ke semua orang, teman-teman terdekat lelaki itu, kelompoknya, orang tuanya. Dan kembali lelaki itu semakin tersudut, diberi cap oleh semua orang sebagai orang paling tidak berperasaan.

Ponsel itu tidak berbunyi hanya berpendar, tapi lelaki itu mendengar deringnya dimana-mana. Di radio yang dia dengar, di siaran berita yang dia lihat, di koran yang dia baca, di orang-orang asing yang dia ajak bicara , di penjual kue yang menawarkan dagangannya. Dimana-mana dering itu terngiang makin lama makin kencang dan merajam kesehatan jiwanya.

Hubungan jarak jauh yang hanya dihubungkan sinyal satelit dan text-text pendek tentu tidak akan bertahan lama. Perempuan itu pasti jenuh dan di akhir meninggalkannya. skenario bodoh yang dianggap sempurna oleh lelaki itu. Dia tidak pernah berpikir adanya kekuatan untuk bertahan bila harapan penuh menggunung

Lelaki itu memilih tidak meninggalkan si penelepon seperti yang dilakukan temannya pada waktu itu adalah karena tidak mungkin baginya dan hatinya menolak juga untuk melakukan hal tersebut. Ketika itu yang terpikir adalah temannya telah mengangkat perasaan perempuan itu tinggi dan menjatuhkan begitu saja, dia membangun kembali persaan perempuan itu namun dia tidak sadar kalau dia telah mengangkat perempuan itu lebih tinggi dari sebelumnya. Akan sangat menyakitkan bila si perempuan jatuh untuk kedua kalinya dari tempat yang lebih tinggi. dia hanya berhipotesa bila perempuan itu tahu dia tidak sebaik yang dibayangkan maka perempuan itu akan meninggalkannya. Namun, kenyataan berkata lain.

.

*******

Tutt…tuutt…..tuutt….. suara ponsel kembali berdering. Ponsel dari kamar sebelah membangunkanya. Ringtone ponsel yang sama saat dulu setiap perempuan itu meneleponnya. Dia terbangun, tubuhnya basah berkeringat, mimpi itu kembali muncul setelah kejadian itu berlalu sekian lama

Sekarang perempuan itu telah sadar dan sudah memilih orang lain yang tulus mencintainya, bukan sekedar menyayanginya. Namun buat si lelaki, ringtone itu, perasaan bersalahnya, ketiadaan permintaan maaf darinya, masih saja menyisakan sesal yang menggantung di setiap episode hidupnya.

Comments

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati