90cm saja---Sebuah catatan seorang incidental stalker---




(lelaki itu terdiam, kakinya kaku tak mampu bergerak, jantungnya berdegup kencang tak terkendali, sudah sedari 90 menit yang lalu seperti itu. Dan buku yang ia baca, sambil berdiri, tak sekalipun berganti halaman.)



Setiap jumat sore, lelaki itu lewatkan hari di toko buku terbesar di yogyakarta. Bukan karena ia mampu untuk selalu belanja buku tiap minggu, tapi karena ketidakmampuannya itu ia selalu ke tempat itu. Memuaskan hasrat membaca buku-buku baru, menyobek segel pengaman, dan dengan tanpa dosa membaca hingga larut dan toko mendekati tutup, melipat halaman saat ingin disambung lagi minggu depan, sampai mungkin buku itu tak laku lagi dijual.



Saat ia membaca, dunianya adalah dunia dalam buku itu, ia terjun bebas berputar bersama karakter-karakter di dalamnya, berlarian dalam landscape yang indah dalam pikirannya, menjadi orang jahat juga baik, menjadi awal juga akhir, ya, ia menciptakan dunianya sendiri di atas buku-buku itu.



Hari-hari belakangan ini jogja sedang memasuki musim-musim terpanasnya, diperparah dengan kipas angin di kos-kosan sempit lelaki itu yang mogok kerja karena bertahun dipaksa lembur, maka untuk kali ini, lelaki itu datang lebih awal dari biasanya, sekedar untuk menikmati belaian AC dan kembali masuk ke ribuan dunia yang terjajar rapi di setiap rak yang tersusun kaku.



dan kali ini ia masuk ke dunia yang belum ia tahu endingnya, episode paling menarik sedang menanti, dan ia sudah tidak sabar untuk

kembali menjelajahi itu semua di tiap lembar dan halaman. yang minggu kemaren terpaksa harus dihentikan , karena penjaga toko cukup intoleran untuk mahasiswa miskin kota yang tidak akan membeli.



Tak dinyana, tawa kecil di dekat lelaki itu bisa mengusik konsentrasinya, seakan-akan membuat dunia yang sudah nyata di hadapan matanya kembali terserap pusaran waktu, semua menghilang dan yang kini di hadapannya hanya kumpulan huruf tak bermakna. Dan perlahan ia mencium wangi harum permen karet bercampur dengan aroma jeruk, ia mengirup nafas dalam, entah kenapa tiba-tiba ia bisa langsung menyukai bau asing ini.



Ia mencari ke sebelah, menengok perlahan ke kanan dan kiri, berbalik ke belakang, mencoba melacak darimana wangi itu. Dan tak ada orang disana. Dan ia baru tahu darimana asal wangi itu saat pandangan matanya tidak lagi sejajar dengan buku, saat matanya memandang lurus sejajar dengan wajah orang itu, tepat di hadapannya, Perempuan berkaca mata, sumber wangi itu, hanya berjarak 90cm tepat di hadapannya, hanya dipisah oleh rak buku setinggi dada.



Dan saat ia menatap dalam mata si perempuan berkaca mata, ada sinar yang berbeda, bening bercahaya, perempuan tersebut masih belum menyadarinya, ia masih asyik terkekeh-kekeh, ia benar-benar sedang bermain di dunianya, dan ketidaksadaran si perempuan yang membuatnya menjadi sangat menarik bagi lelaki itu.



Perempuan itu menggunakan kacamata dengan frame tebal, “seperti saras 008”, begitu pikir si lelaki, dengan rambut panjang dikuncir kuda, bibirnya tipis dengan sedikit kumis halus yang menghiasi di atasnya, alisnya tajam memanjang hitam tebal dengan kelopak mata yang indah di atas mata yang tidak terlalu besar. dengan tinggi hampir menyamai si lelaki.



“ tinggi juga perempuan ini, ahh paling juga dia pakai hak tinggi” pikir lelaki itu. Dan rasa penasarannya mengalahkan daya tarik buku yang sedang ia genggam, perlahan ia berlagak mencari buku-buku dan tak berapa lama ia sudah berada di sebelah si perempuan. Dan seketika itu juga pikirannya menjadi salah, perempuan itu menggunakan sendal jepit hitam dengan merk salah satu produk alat-alat spot terkemuka.

Kakinya jenjang panjang dengan kulit kuning mengkilat terkena cahaya, tubuhnya ramping dengan proporsi yang sedikit lebih di bagian atas dan bawah “kayak jerapah, tinggal kurang totol-totol item aja” pikir lelaki itu sambil terkekeh. Sesekali perempuan itu menjilati bibirnya yang kering karena ac yang dinginnya cukup kejam. “wow, bibirnya mengkilat, nikmat buat dilumat” pikiran nakalnya bicara, “ ouch..ouch..ouch dadanya tebal, sepertinya kenyal-kenyal kayak bantal, kalau diunyal” dan kali ini ia menlan ludah, tersenyum-senyum sendiri, walaupun akhirnya ia menggeleng-geleng kepala mencoba mengusir pikiran-pikiran kotor yang biasa datang saat dingin memonitor.

Diam-diam ia melirik, ingin tahu apa yang perempuan itu baca, buku marmut merah jambu, cukup wajar saaat ia tertawa sendiri, itupun ia alami saat minggu kemaren membacanya, keingintahuannya semakin besar, ia lihat bagian apa yang sedang dibaca, quotes --“cinta tak terbalas membuat selai kacang menjadi tawar-- itu ia perhatikan terus menerus, sesekali tertawa. “hei..hei..aku juga suka bagian itu” teriak lelaki itu dalam hati. “kamu suka?, kenapa kamu tertawa…apa kamu pernah jadi di posisi si lelaki yang lidahnya jadi mati rasa? Atau kamu pernah di posisi si perempuan yang mematikan rasa selai kacang di lidah si lelaki?” tanyanya lagi dalam hati.



Dan waktu berlalu begitu cepat, ia tetap berusaha berkonsentrasi kembali ke bukunya. Walaupun pikirannya tetap teriak berontak “ayo ganggu dia, ajak kenalan, gak biasanya lu begini, ntar keburu pergi lho”, tapi hati kecilnya bisu, tetap menolak untuk bergerak. “ayo tanya saja, tentang bukunya, tentang ceritanya, atau tanya asal sekolahnya pura-pura pernah liat sebelum ini”, protes pikirannya, “ayo keluarkan semua cara yang pernah kamu pakai, tanya kamu kenal si A kek, si B kek n bilang pernah liat kamu di fotonya, or whatever lha…ayo bergerak” pikirannya semakin gelisah. “ayo, cepat bertndak sebelum dia pergi, selama ini kamu selalu berhasil, kenapa sekarang ragu-ragu”



Perlahan si perempuan melipat bagian yang ia baca, menutup buku itu perlahan dan menaruhnya di bagian belakang,persis seperti apa yang biasa lelaki itu lakukan. Dan ia perlahan pergi meninggalkan rak itu, menjauh dari lelaki itu setelah lebih dari 90 menit mereka hanya berjarak 90 cm, wangi permen karet bercampur aroma jeruk itu perlahan menipis dan menghilang.



lelaki itu terdiam, kakinya kaku tak mampu bergerak, jantungnya berdegup kencang tak terkendali, sudah sedari 90 menit yang lalu seperti itu, sejak si perempuan pergi, Dan buku yang ia baca, sambil berdiri, tak sekalipun berganti halaman.

Comments

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

kenapa saya keluar seminari ?