gunung sumbing -- pendakian ini seperti ereksi tanpa ejakulasi --



Penantian bertahun itu terjawab, 12 juli 2008 aku dan tiga temanku budi dan dendy teman seangkatan di seminari menegah stella maris dan sandy dari swanarapala memulai pendakian gunung sumbing. Dari jogja sekitar pukul 12.00 naik bis menuju magelang lanjut dengan bis menuju wonosobo turun di desa garung. Desa garung ( 1455 mdpl ) adalah pos pengawasan gunung sumbing. Setiap pendaki harus melapor terlebih dahulu sebelum mendaki.

Selewat maghrib, kami mulai bergerak ke atas melewati perumahan penduduk yang beraspal mulus. Namun, semakin ke atas jalan aspal berganti dengan batuan kasar yang tertata. Di ujung desa kami melewati jembatan bambu yang membelah sungai kecil sebagai batas desa dengan ladang.

Berjalan terus melewati jalan sempit menanjak perkebunan sayur di malam kemarau dengan carrier yang tingginya di atas kepala. Ditemani rokok yang terus mengepul sampai kami memasuki perkebunan tembakau. Pukul 22.10 sesudah melintasi sungai kecil dan keruh kami tiba di bosweisen. Beristirahat sejenak, setelah habis lagi sebatang rokok pendakian memasuki hutan dimulai.

Bosweisen adalah tanda batas terakhir ladang penduduk, setelah melewatinya kami menjumpai hutan pinus yang rapat. Pohon-pohon pinus tua berkayu merah dengan tinggi 10-15 m menambah pekatnya malam. Gerakan fleksibel mereka yang terhempas angin menimbulkan halusinasi tersendiri seakan mereka menari merayakan malam berbintang.

Keluar dari hutan pinus kembali masuk ke hutan namun dengan pepohonan yang lebih pendek. Kami menempuh jalan setapak sempit yang sisi kiri-kanannya dipenuhi ilalang setinggi manusia. Terkadang gerakan ilalang tertiup angin menyerupai desisan ular. Memaksa kami sangat waspada memperhatikan langkah. Pukul 00.22 kami sampai di gatakan ( 2240 mdpl ). Niat awal hanya ingin snacking sebentar. Tetapi api unggun di tengah dinginnya kabut malam dan hangatnya susu jahe memuat kami mengantuk. Plan A diubah, kami mendirikan tenda dan berniat melanjutkan pukul 05.00 nanti.

Apakah alarm tidak berbunyi? Atau kami tidak mendengar? Mungkin juga pura-pura tidak mendengar? (sepertinya pilihan ketiga yang paling pas) bangun pukul 08.30 dengan wajah pura-pura menyesal namun penuh kepuasan karena tidur panjang dilanjutkan dengan packing dan snacking yang berlama-lama memaksa kami memulai pendakian pukul 09.15.

Di tempat ini terungkap satu kesalaan fatal. Kami tidak membawa cukup air untuk bermalam lagi di gunung ini. Aku menyimpan 4 botol 1,5 liter penuh, budi 2 botol 1,5 liter tetapi 1 botol hampir habis terpakai, dendy 2 botol 1,5 liter dan sama seperti budi. Yang paling mengenaskan adalah sandy. Di bawah dia mengaku membawa 1 derijen besar tetapi ternyata hanya derijen kecil yang daya tampungnya hanya 2 liter air, itupun sudah dipakai sepertiganya.

Faktanya, diam-diam semua berpikir untuk menggantungkan hidup pada temannya. Padahal untuk turun ke mata air terdekat akan memakan waktu 1 jam. Dengan pertimbangan yang benar-benar tidak matang dirancanglah plan C. kami akan terus mendaki sampai puncak lalu langsung turun kembali sehingga tidak perlu bermalam.





SUMBING SEBENAR-BENARNYA

Track dari gatakan menuju pos krendengan tidak terlalu sulit. Selain karena agak landai dan jaraknya tidak terlalu jauh. Di sepanjang jalan dipenuhi pohon-pohon khas dataran tinggi. Beranting banyak namun berdaun kecil. Tanah diantara pepohonan itu dipadati tanaman menjalar yang penuh bunga-bunga kecil berwarna putih, kuning dan ungu dengan keharuman mirip eddelweish.

Pukul 11.40 kami tiba di gatakan ( 2310 mdpl ). Ditandai dengan pohon kering menjulang yang menaungi batu nisan. Hanya batu nisan tanpa kubur. Mungkin jasad pendaki dari Surabaya itu tak pernah ditemukan. Gunung memang menakjubkan tapi terkadang mematikan. Pos ini adalah batas vegetasi hutan. Bila melihat ke trek didepan yang menjulang hanya terlihat pasir dan bebatuan.

Kami beristirahat agak lama, sehabis snacking dan sebatang rokok. Pendakian menuju pestan dimulai. Track sudah tidak bersahabat. Kami menyusuri punggungan sempit berpasir. Jalanpun sangat terjal. Sering kali kami terperosok karena menjejakan kaki di tanah yang rapuh. Perlu merayap untuk beberapa tempat yang benar-benar terjal. Lebih tersiksa bila berada di belakang, debu pasir berhamburan membuat mata berkali-kali kelilipan. Semakin lama terik makin perkasa di atas kami ditambah angin lembah yang bertiup ke atas. Persediaan air lebih cepat terkuras tanpa terasa. Belasan kali kami berenti sekedar untuk mengambil nafas, (juga merokok), minum, dan sesekali memakai obat tetes mata.

Kami menghabiskan waktu dua jam untuk keluar dari jalur ini. Tenaga benar-benar terkuras dan dehidrasi tak bisa dihindari. Tapi kami telah tiba di pestan (peken setan atau pasar setan) ( 2437 mdpl ). Tempat ini adalah tanah terbuka yang cukup luas. Muat untuk mendirikan 6 tenda. Namun, letaknya sangat tidak strategis karena angin disertai pasir berhembus kencang sepanjang waktu.

Pestan adalah salah satu tempat yang dikeramatkan oleh penduduk. Sesuai asal katanya “pasar setan”. Menurut cerita penduduk local pada malam-malam tertentu tempat ini akan sangat ramai seperti pasar malam tetapi semua pengunjungnya adalah mahluk halus dan bila kita ikut dalam keramaian tersebut maka kita takkan pernah kembali. Cerita ini mirip dengan mitos pasar bubrah di gn.merapi dan suryakencana di gn.gede. di tempat ini dilarang buang air sembarangan , bicara kotor, sombong dll.

Beristirahat sejenak meresapi bisikan pasir, simfoni alami dataran tinggi. Awan-awan satu persatu naik dari lembah-lembah kering dan dengan keacuhannya melintas di atas kami. Sangat dekat sehingga cerah dan mendung seolah lampu jalan kantor pos yogyakarta yang terus berganti di waktu yang singkat. Perlahan kabut berkumpul menaburkan pandangan kami. Bukan lagi kehangatan matahari yang tubuh ini terima, namun pelukan dingin yang semakin erat. Inilah waktu yang tepat untuk kembali bergerak sebelum dinginnya kabut membekukan kami.

Jalur yang kami hadapi sudah bukan tanah rapuh dan berdebu tetapi bongkahan batu gunung sepinggang manusia. Dengan beratnya carrier kami harus mengangkat kaki tinggi-tinggi untuk melangkah di tangga raksasa itu. Kesombongan goyah saat badai kaut mengelilingi kami. Jarak pandang semakin sempit. Menarik semuaindra bekerja ekstra.




Udara yang semakin tipis membuat langkah-langkah panjang kami tersendat. Mulut dibuka lebar-lebar bagi saluran udara berharap semakin banyak oksigen terserap. Sesekali rombongan angina berdebu menabrakan dirinya, mengganggu keseimbangan kami yang berdiri di punggungan sempit.

Frustasi menyerang ketika kami menengadah pada angkunya puncak sumbing. Terasa sangat dekat namun kami bergerak begitu lambat .keheningan alam ini mencekam jiwa. Kami tak lagi saling berbicara. Sibuk berbicara pada diri sendiri untuk menyusun balok-balok mental yang terberai.

Di tempat yang sedikit landai kami diam sejenak tak bergerak memandang ke bawah. Memaksa mata mencari lembah-lembah dan jalan berbatu yang dilewati tetapi hanya kabut putih dingin sepanjang pandangan. Kami akhirnya sadar, dataran ini dikelilingi awan.

Dengan mental berantakan kami terus bergerak perlahan. Pukul 16.24 di ujung jalan terjal ini. Langit terbiru yang pernah aku lihat menyamut kami. Awan di bawah seperti padang luas selimut bulu domba. Senyuman sinar matahari menampar sehingga menyadarkan kami untuk bersyukur atas limpahan panasnya.

Pasar watu ( 2705 mdpl ) berdiri di ketinggian memantau punggungan-punggungan hitam berbatu gunung ini. Mendengar desiran angin bercakap-cakap dari lembah-lembah hijau. Menjadi saksi atas kebisuan gunung sindoro di depanku. Tinggi tapi malu-malu bermantel awan di hadapan sumbing si saudara tua. Garis cakrawala biru melengkung, pekat dan bergradasi hingga tampak polos tak berwarna. Menyadarkan aku untuk terus berefleksi atas semua kehidupan yang terlewati. Aku begitu lama merindukan saat ini, berbagi waktu dengan alam. Mencoba temukan siapa diriku sebenarnya, hakikat manusia.




Setelah puas foto-foto, minum sedikit air, dan habis sebatang rook. Puncak sudah mulai terlihat. Di hadapan kami terdapat bukit batu raksasa seakan menghadang. Kami memilih jalan ke kiri memutari bukit. Matahari sudah agak condong ke barat. Jalan-jalan kecil berkelok dengan sisi kiri adalah jurang penuh ilalang kuning keemasan diterpa matahari.

Kaki terus melangkah hati-hati, semangat masih ada namun fisik mulai menunjukan keterbatasannya. ( saat itu aku sadar fisikku terlalu lama dimanja. Aku tak sekuat dulu saat di seminari saat bekerja, berolahraga dan belajar sama banyaknya. Lingkar perut penuh lemak dan kaki selalu minta kompromi) perlahan kakiku mulai gemetar, begitu juga yang lain. Seakan-akan mereka bisu. Aku mulai ragu apakah plan C ini akan tercapai.

Tak begitu lama berjalan samapilah kami di tebing besar dengan cerukan di tengahnya. Tempat ini cukup terlindung dari tiupan angin. Kami mengira ini pos 6 watu kotak sehingga kami istirahat di sini. Fisik dendy sudah di bawah batas ketahanan. Oleh karena itu akan sangat berbahaya mendaki malam tanpa kami tahu seperti apa medannya. Tapi untuk membangun tenda di sini. Hanya tersedia lahan sempit dan tepat di sisi jurang, itu sama berbahayanya bila badai datang

Sampai hari mulai agak gelap kami tak menemukan laanyang aman untuk tenda. Dan semua head lamp dan senter tertinggal di tas budi. Bila pencarian terus dilanjutkan kami akan tidak bisa turun tanpa pencahayaan. Mati kedinginan dan kelapran disini. Segera kami bergegas turun. Sekitar pukul 18.30 saat matahari benar-benar hilang kami tiba di cerukan itu. Sesegera mungkin menyantap mie yang dingin dan nasi setengah matang.

Plan E diuat, kami akan bermalam di cerukan itu. Memang tempat itu muat untuk duduk 4 orang dan terlindung dari angina. Awalnya terasa nyaman. Namun seiring waktu tubuh mulai bergetar tak terkendali, suhu turun begitu rendah.

Satu hal yang luput dari perhitungan kami adalah hari itu adalah puncak musim kemarau dimana malam hari di gunung-gunung suhu akan turun sangat ekstrem hingga mencapai 7” C. bahkan di alun-alun mandalawangi gn.pangrango dan ranu kumbolo gn.semeru sering ditemui butiran es di rerumputan.

Kami segera bertindak cepat, bila bertahan dengan kondisi itu kami bisa mati kedinginan. Selain itu kami sangat butuh tidur, maka the best from the worst dipilih. Tenda mau tak mau didirikan di pinggir jurang.

Mendirikan tenda doom di pinggir jurang dalam keadaan gelap gulita dan hanya dibantu cahaya senter bukan hal yang mudah. Kami perlu ekstra hati-hati saat memasang pasak di tepi. Keadaan semakin sulit saat angin terus-terusan deras berhembus. Pasak di tanah yang rapuh tidak cukup kuat untuk menahan cover yang berkibar tertiup angina. Samapi 30 menit kami belum bisa masuk tenda karena pasak tetap tercabut. Jari-jari tangan dan kaki mulai mati rasa kedinginan. Di tengah usaha terseut budi terserang hypothermia ringan.

Aku bingung dan mulai panik. Kedinginan dan kelelahan membuatku tak bisa berpikir jenih. Entah halusinasi karena kedinginan atau memang nyata aku mendengar sura-suara perempuan tertawa terkekeh-kekeh membuat suasana semakin menakutkan.

Angin terus menderu seperti ikut mentertawakan. Entah kenapa tanpa disadari aku berucap “Ya Tuhan, tolonglah aku !!”. dan aku tersungkur jatuh tersandung batu besar. Kekuatan mucul dalam keterdesakan dan Tuhan membukakan jalan. Aku angkat batu-batu berat sebesar gallon aqua untuk menindih cover sebagai pengganti pasak. Sehingga angin sekuat apapun takkan mampu menerbangkan kami.

Sesegera mungkin kami masuk tenda. Memakai baju berlapis dan jaket serta mengganti kaos kaki. Tidak lupa memasak teh panas untuk budi. Setelah setelah semua dirapikan kami bergegas tidur di sleeping bag yang hangat. Sebelum memejamkan mata aku berbalik mentertawakan suara-suara aneh tersebut. Dalam diam aku berbisik “Tuhanlah penyelamatku, takkan meninggalkan aku”.





PENDAKIAN KALI INI SEPERTI EREKSI TANPA EJAKULASI

pukul 05.30 udara pagi yang menusuk tulang. padahal sleeping bag dan baju berlapis meliputi sekujur tubuh. langit sudah mulai terang. tapi cahaya matahari belum menimpa kami. karena matahari masih di timur di balik gunung ini. sekitar 2 jam menunggu akhirnya kami bisa merasakan lagi panas matahari itu.

kami sudah tak bisa makan pagi. makanan siap makan ( roti tawar coklat, biskuit,coklat, sosis, lontong, kornet) sudah habis. hanya tersisa beras, mie instant dan telur. air yang tersisa tinggal dua botol 1,5 liter. takkan cukup untuk memasak dan persediaan air naik ke puncak dan turun nanti. untuk meringankan beban semua carrier kami tinggal di pos ini dengan hanya ditutupi ilalang.

pukul 08.30 kami mulai lagi perjalanan. track adalah bukit-bukit batu terjal yang sesekali harus dipanjat. namun karena tanpa carrier kami bisa lebih nyaman bergerak. sekitar 50 menit berjalan, memanjat dan terus berjalan kami tiba di ps 6 watu kotak. tempat yang dikeramatkan ini adalah bukit berbentuk kubus raksasa dengan coretan dimana-mana.

seiring waktu,panas semakin menyengat di tengah udara yang kering. bibir pecah-pecah semakin parah samapi agak sedikit berdarah. tanpa istirahat di watu kotak kami terus mendaki jalanan lurus terjal dari batu-batu putih tersusun seperti tangga.

35 menit kemudian kami tiba di tanah putih. tanah putih adalah daratan luas dengan tanah berwarna putih penuh dengan eddelweish yang tumbuh dengan sembarangan. otak sudah tak berpiir untuk mengambil foto atau istirahat. waktu terus berpacu dengan air yanga da. semakin berlama-lama maka kami akan semakin haus.



karena terus konsentrasi memperhatikan langkah tanpa banyak berpikir. di persimpangan kami mengambil jalur yang salah menuju puncak buntu. padahal tempat yang tertinggi adalah puncak kawah. kami terus mendaki. jalur benar-benar berat., lurus terjal dan berbatu. sesekali batu-batu yang kami injak longsor. tak terasa kami mencapainya. di salahs atu tempat tertinggi gn.sumbing. puncak buntu.




hari sudah siang, tak ada pemandangan apa-apa larena diselimuti labut putih. kami hanya terdiam. sambil menenggak air terakhir. kaki gemetar karena tubuh ini kelaparan. kekecewaan menjalar sambil terus memandangi puncak kawah di hadapan yang samar oleh asap.

tak ada lagi air tersisa dan sudah tak punya cukup tenaga untuk turun ke tanah putih dan naik ke puncak kawah. pilihan yang ada hanya sesegera mungkin turun. membiarkan sang puncak kawah yang tua dan angkuh mentertawakan kegagalan kami.


the end

seketika aku berbalik.. menengadah kepadanya... " i will return........, i will !!! "

Comments

  1. (again) dapet temen di dunia maya yang berdomisili di Jogja. Ini semakin menguatkan niat untuk maen ke Jogja dan ketemu dengan semua teman yang selama ini cuma bertukar pikiran di dunia maya.

    Salam kenaaalll...

    I love the 'black and white' theme all around this blog. Semoga banyak hal yang bisa saling kita share :)

    ReplyDelete
  2. dibanding gunung sumbing, saya lebih senang menghampiri saudaranya, gunung sindoro.

    yah, meskipun summiting-nya lebih lama sindoro, capeknya terbayar dengan pemandangan di atas.. kalau kabut-kabut dikit telaganya jadi kayak taman surga.. (padahal belum pernah ke surga hahaha)

    ReplyDelete
  3. @merry : salam kenal ...... maen-maen lh ake jogja..kopi darat smua hahhaha

    ReplyDelete
  4. @morishige : oiaaa??? sepengalaman saya naik sindoro lebih cepat dan lebih mudah daripada gunung sumbing hehhehhehe

    ReplyDelete
  5. mampir-mampir..
    nice page. :)
    insyaalloh tgl 19 bsok mw k sumbing.
    baca2 ini dulu deh..

    ReplyDelete
  6. sekali2nya ke Sindoro...salah jalur, jadinya harus manjat dinding rumput, diikuti lalat buah dari bawah, kejebak badai dan hujan sampai frame tenda bengkok, sampai puncak cuma kabut dan gerimis..pas pulang kemaleman jadi harus jalan kaki sampe rumah kepala desa wkwkwk dah ogah kesana lagi!hahahhhahah!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati