telusur lombok part 2 ----- Tuhan maha tahu, tapi dia menunggu-----



“hujan datang terlambat.. seharusnya dari bulan puasa dia sudah turun” sejenak aku terbangun kedinginan. Deru ombak bersatu dengan gemericik hujan. Kubongkar carrier untuk meraih jaket windproof di bagian atas. Sepi sekali seakan tidak ada kehidupan disini. Perutku berbunyi, segera kubongkar perbekalan tapi hanya tersisa energen sachet. kulihat sekeliling pantai, tak ada satupun yang berjualan.



Aku menghela nafas, “ ya, memang sudah kubayangkan resiko bepergian di hari lebaran”. Iseng kulihat ke dalam konter. Ternyata nenek itu bangun lebih awal terlihat samara-samar sedang merapikan sajadah.



Tak lama kemudian dia keluar sembari membongkar dan merapikan barang dagangannya. Setelah memasak air lalu dia membuatkan kopi untuk orang gila yang tiba-tiba datang.. iya, ternyata orang gila itu yang sempat membuat tidurku terganggu dengan hilir mudik sambil bicara sendiri. Dengan berbalut sarung kotak-kotak hitam putih khas bali dan rambut gondrong tak terurus dia tersenyum sambil menyeruput kopi hitamnya.



Dalam keheningan aku memperhatikan setiap gerakannya. Ada semangat hidup dalam kerentaan. “Apa mungkin karena hari ini lebaran? Tapi kemana sanak saudaranya? Apa tak seorangpun yang peduli keadaannya?” hatiku bertanya-tanya.



Aku segera memesan kopi dan pop mie.

“lho ibu sering menginap disini? Kucoba dengan halus bertanya.

“saya memang tinggal disini, disuruh pengurus untuk menjaga konter sekalian membersihkannya”. Sembari tersenyum dia terus melanjutkan pekerjaannya.

“memang keluarga ibu dimana?”

dia terdiam “ keluarga sudah hampir semua meninggal, suami sudah meninggal 4 tahun yang lalu”

“ berarti ibu orang asli sini?”

“iya,dari kecil sudah tinggal disini, sebelum gili terkenal daerah ini hampir semuanya hutan, sekarang sudah habis ditebang. Sekarang semua sudah dibeli oleh orang asing”

lanjutnya “ dulu waktu zaman jepang saya masih kecil, setiap ada kapal datang keluarga lari ke hutan takut ditangkap. Soalnya waktu itu saya dan ibu suka bikin kain”

“kalau begitu rumah ibu di daerah sini donk?? Apa ibu jual?”




suasana menjadi hening, ibu itu terdiam. Bukan lagi senyum yang ramah tapi sebersit kemarahan di matanya muncul. Dia menghentikan dulu pembicaraan lalu melanjutkan menyapu teras depan tempat aku tidur tadi..



“wah gawat, salah ngomong sepertinya?” umpatku dalam hati

“ dulu rumah saya di belakang konter ini’ setelah selesai menyapu dia kembali melanjutkan “saya sudah ditinggal orang tua dari kecil, rumah itu dan tanah-tanahnya diwariskan ke saya. Sejak gili ini ramai banyak wisatawan rumah saya dirubuhkan buat pertokoan itu”

“memang tidak ada penggantian bu?” tanyaku polos.

“ sama sekali tidak ada, rumah dan tanah-tanah itu tidak ada surat-suratnya jadi mereka bilang saya penghuni liar padahal saya lebih dulu tinggal disitu dari mereka. Malahan sebelum nelayan-nelaan itu pindah kesini” ungkapnya sembari memandang kosong ke laut.

“ibu harusnya menuntut, jangan mau ditindas begitu”

jawabnya lirih “dulu ada orang kota yang membantu saya dan keluarga ke pengadilan, kata dia saya dimenangkan tapi kalau mau dapat tanah harus bayar lima puluh juta untuk mengurus sertifikat dan pengadilan” suasana kembali sepi.

“saya itu orang kecil, tidak punya uang sebanyak itu.. mau cari kemana? Masa harus membeli tanah saya sendiri?”

“memang keadilan itu bukan milik orang kecil seperti saya, kalau ada uang setiap orang bisa menang. Tapi saya yakin Allah melihat dan akan membalas semua” sambil terbatuk-batuk dia berujar.

“sekarang saya hanya bisa pasrah pada Allah, sudah tua dan hidup sendiri. Saya harus minta tolong pada siapa lagi?”

“ baiklah bu, Tuhan pasti mendengar doa ibu. Tuhan itu maha tahu tapi dia menunggu” jawabku perlahan. Cukup menyakitkan juga harus mengatakan itu. Tak ada yang bisa kuperbuat untuk dirinya.



Segera kualihkan bahan pembicaraan, tidak kuat aku mendengarnya. “kalau begitu berarti ibu punya anak? Dimana mereka bu? Kenapa belum berkunjung?”

‘saya punya anak satu, laki-laki. Dia tinggal di pamenang (2 km dari bangsal) kerja sebagai supir taksi”

“sudah berkali-kali dia minta saya tinggal di rumahnya, tapi saya tidakmau. Hati ini dingin rasanya kalau memberatkan anak dan tidak bekerja. Lagipula gajinya kecil dan anaknya dua. Saya tidak mau tambah memberatkan lagi”.

“tapi dia nanti kesini kan bu?” tak sabar aku bertanya.

“iya biasanya habis sholat dia kesini, ibu lebih suka tinggal disini. Di tanah ini, tanah ini masih saya anggap punya saya dan saya mau mati di atas tanah ini”



beberapa waktu kemudian bangsal sudah ramai pengunjung. Tempat itu sudah penuh turis-turis asing dan domestik jualannyapun sudah ramai pembeli. Aku menyingkir ke tepi pantai menunggu tyas dkk datang..



aminah, itu namanya. Perempuan berhati baja itu tetap tinggal di atas tanahnya. “semoga Tuhan tetap melindungi perempuan itu yang beriman kepada-Nya”



bersabarlah bu “ Tuhan maha tahu, tapi Dia menungu. ya, dia menunggu. Dia masih menunggu”.



”sampai kapan dia menunggu?”





to be continued...........





all photo taken by : NIKON F-60, FILM KODAK COLORPLUS ASA 200

Comments

  1. Kalo ceritanya the end...kan msh 2 be continued kan???

    ReplyDelete
  2. oke, saya jadi terharu baca tulisan ini,, hiks,, :')

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

kenapa saya keluar seminari ?