telusur Lombok part.1---- inilah kesaksianku ----------


18-09-09

“akhirnya hari ini perjalanan yang telah dinanti sekian tahun dimulai” bisikku perlahan sambil memandang keluar dari dalam Kereta ekonomi sri tanjung tujuan Yogyakarta-banyuwangi dengan tiket harga rakyat ( rp.35.000). perjalanan kali ini tidak berbeda dari yang lalu-lalu, tetap kujalani sendirian. Jam 07.30 kereta ini bergerak dari jogja , namun sampai saat ini pukul 19.00 belum juga sampai ketapang. Sudah dua kali kereta ini penuh lalu kosong kembali. Habis 3 orang yang bergantian duduk dI kursi depanku. Yang pertama turun di jombang, orang kedua turun di Surabaya dan yang terakhir ini aku sudah tak peduli dia siapa dan mau turun dimana.


Banyuwangi (23.00 WIB)

‘sialan, hari begini masih saja kereta telat” aku bergegas menggotong carrier berat ini keluar stasiun, cukup muak juga aku 14 jam duduk di kursi keras kereta itu, lelah aku berdebat dan bermain dengan pikiranku.

Karena aku tidak tahu medan ketapang maka memilih untuk naik becak saja menuju pelabuhan. Saat tukang becak menawarkan tarif rp.5000 aku tak banyak menawar.

Sampai di pelabuhan, calo-calo bus sudah berkerumun menawarkan tiket langsung. Harga yang ditawarkan sangat tidak masuk akal. Alas an mereka karena hari itu adalah H-2 lebaran jadi tiket naik karena banyak peminat. Mereka pikir aku bodoh, kalau tiket itu banyak peminatnya untuk apa mereka berebutan menawarkan tiket kepada penumpang. jika bukan karena tidak laku.

Hari ini kedua kalinya aku masuk pelabuhan besar, yang pertama di pelabuhan merak dulu sekali saat menyebrang ke lampung. Setelah membeli tiket yang juga harga rakyat ( rp.6.000) aku bergegas menuju pelabuhan. Dengan niat tidak mau terlihat kebingungan dan asas ‘banyak tanya memalukan” akhirnya aku tersesat di pelabuhan. Sehingga mau tak mau bertanya juga.







20/19/09

Gilimanuk (01.20 WITA)

“bali…bali…bali….” Seperti orang kampung aku menggumam keras sembari setengah berlari turun dari kapal. Tapi ini bukan akhir penderitaan tapi awal baru dari semua rintangan

Cobaan kedua datang, untuk keluar pelabuhan harus melalui pemeriksaan KTP dan celakanya aku belum membuat KTP walaupun umur baru / sudah 20 tahun.

“mas.. yang saya minta tunjukan itu KTP bukan kartu mahasiswa ini” nada kasar dengan logat bali yang kental dan suara serak-serak basah dari satpol PP item,gendut jelek dan berambut gondrong itu keluar.

“ maaf pak, KTP saya belum jadi.. kemaren habis kecopetan di terminal jadi hilang semua surat-surat”jawabku. ‘ petugasnya belum bisa bikin pak, orang dianya cuti lebaran” lanjutku dengan nada dinaikkan walaupun hati ciut juga. Sialnya lagi di dompetku Cuma ada kartu OSIS jaman SMA, KTM English ekstension course dan surat baptis.

Setelah birokrasi yang berbelit-belit, diinterogasi sana-sini dan mengurus surat keterangan bisa juga aku keluar dari kantor itu. Untung dia tidak minta duit, lagipula apa yang bisa diharapkan dari gembel bermuka china ini. Dengan baju bau keringat dan celana pendek belel di atas lutut serta carrier penuh tanah dimana-mana tentunya dia beranggapan aku tidak punya banyak uang. (dan memang aku tidak membawa uang banyak).

Menunggu beberapa jam di terminal, datang juga bus yang dinanti. Kaleng beroda 4 dengan label gilimanuk- padang bai mengantarku perlahan. di dalam bus aku berkenalan dengan wawan dan adiknya, mereka adalah mahasiswa asli Lombok yang kuliah di UGM angkatan 2007.


Padang bai (11.00 WITA)

Begini resiko naik bus rute panjang satu kali jalan dengan tarif rakyat (rp.40.000). sekitar enam jam baru sampai tujuan karena lama berhenti di terminal ubung. Aku bergegas naik kapal setelah membeli tiket di loket yang setengah jadi. Tetapi sebelum itu, karena mendengar laut sedang pasang tidak lupa aku membeli tablet ajaib anti mabok di warung terdekat ( trauma mabok laut yang membuat jackpot belasan kali waktu menyebrang ke karimun jawa dari jepara).


Lembar (16.00 WITA)

32 jam habis dalam perjalanan hanya untuk sampai ke tempat ini. Fisik sudah cukup segar karena tidur pulas di ruang ber-AC dengan bantuan tablet ajaib. Tidak terlalu menyesal juga menghabiskan rp.35.000 untuk perjalanan selama 4 jam di kapal yang bersih, terawat dan nyaman itu.

seKeluarnya dari pelabuhan datang supir L-300 datang menawarkan jasa mengantar ke terminal. “sialan, dia ambil kesempatan “pikirku. Hari itu adalah H-1 lebaran oleh Karena itu pelabuhan sangat sepi dan tidak ada angkot yang beroperasi. Supir itu dengan semena-mena meminta tarif rp.25.000, untung ada wawan yang dengan bahasa daerah menawar harga sehingga bisa turun sampai rp.15.000. padahal jaraknya tidak jauh mungkin hanya sejauh trayek angkot 02 bogor dari kapten muslihat ke sukasari.

Kondisi terminal tidak jauh berbeda, sepi melompong dan hanya diisi segelintir supir L300 yang siap menerkam mangsanya yang tidak punya banyak pilihan. Tapi takkan kubiarkan mereka merasa menang, sudah cukup seekor serigala L-300 memerasku dan takkan kubiarkan yang lainnya melakukan hal yang sama. Aku memilih naik ojek untuk menuju bangsal. Walupun tarif yang diminta mahal juga, rp.50.000. tapi aku lebih puas karena ojek itu one-man service dan langsung ke tempat tujuan. Selain itu, jaraknya cukup panjang dan berat karena berkelok naik turun.


Bangsal (17.30)

“sepertinya sleeping bag harus keluar lebih awal” aku berucap lesu dan memandang marah pada ketiga pulau itu yang Seakan mentertawakanku.

Bangsal adalah pelabuhan kecil namun satu-satunya tempat umum untuk menyebrang ke tiga pulau mutiara Lombok yang paling termasyur: gili trawangan, gili meno dan gili air. Kapal terakhir telah menyebrang 10 menit sebelum aku datang. Padahal aku sudah ingin tidur di kasur empuk tempat tyas dkk menginap.

Oia, tyas ialah orang yang mengundangku ikut dalam perjalanan ini. Aku bertemu dengan cewek item mungil idola para bule ini dulu di karimun jawa sekitar bulan april. Dia dan rombongan sudah menunggu di bungalow nyaman di gili meno.

Senja keunguan di langit yang mendung sedikit menghiburku namun dibalik itu muncul ketakutan baru pada hari yang mulai gelap. Aku duduk di dermaga yang baru dibangun setengahnya, berpikir keras harus apa malam ini.

Saat aku berlagak seperti filsuf yang diam berdiskusi dengan alam, datang beberapa nelayan dengan anaknya yang masih kecil ke dermaga itu. Pandangan pertamaku pada mereka adalah sangat bersahabat, mereka yang memulai pembicaraan denganku dan bercerita banyak hal tentang tempat ini.

Dari mereka aku mengenal hadi, porter kapal yang biasa berkeliaran di daerah ini. Dia memberi saran agar aku menginap di konter. Konter adalah ruangan seperti aula tempat penjualan tiket yang dijaga oleh seorang nenek tua yang juga berjualan makanan kecil di depannya.

“nek, malam ini saya bisa menumpang tidur di dalam tidak?” tanyaku pada nenek itu dengan muka memelas penuh harap

“bukannya tidak boleh, tapi saya tinggal sendiri di dalam….. tidak enak sama orang, tapi kalau mau tidur saja di depan.. disini aman” jawabnya.

“pede banget ini nenek, dia pikir gua bakal perkosa dia apa…. Dia telanjang depan gua juga ga bakal nafsu. Seenaknya ngomong sembarang” makiku padanya dalam hati.

Malam itu adalah malam takbiran, pantai tidak sesepi yang kubayangkan tadi sore. Sambil duduk di atas kardus kulkas sebagai alas yang diberikan nenek itu dan ditemani hadi aku menonton kembang api yang dinyalakan pemuda-pemudi Lombok. Dari kejauhan juga terlihat kembang api raksasa meledak menyala-nyala di langit dari gili trawangan.

Hadi, walaupun miskin dan penghasilan hari itu tidak terlalu banyak namun dia tetap peduli dengan orang lain. Malam itu aku hanya makan roti tawar sisa-sisa dari Yogyakarta. Sekitar jam 20.30 dia datang membawa dua nasi bungkus ayam karena tahu aku belum makan nasi. Awalnya aku khawatir untuk memakannya, takut terdapat obat tidur atau semacamnya. Tapi karena tidak enak untuk menolak akhirnya aku makan juga. Ternyata makanan itu sehat dan enak. Aku jadi malu dan terharu, ternyata orang miskinpun masih mau berbagi, berbeda denganku yang memiliki banyak rezeki namun jarang sekali membagikan pada yang lebih membutuhkan. Selain itu aku masih sempat-sempatnya mencurigai dia.



Belum habis nasi itu, datang kapten-kapten kapal dengan motornya yang berisik lalu duduk dI dekat kami. Hadi langsung mengenalkanku pada mereka. Malam itu Tuhan berkarya lain untuk menolongku. Walaupun tidak bisa tidur di bungalow gili meno, namun aku bisa menikmati berbotol-botol bir dingin gratis sambil berbagi cerita dengan kapten-kapten itu. Setelah itu aku bisa tidur dengan nyenyak dengan setengah mabuk……

Comments

  1. Nice story...,

    kalau boleh masukan, kalau ditambahi read more, pasti lebi bagus...,

    lam kenal...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati