telusur lombok part.4 ---rinjani, pendakian yang 4,5 tahun tertunda---



tanjakan penyesalan 04.00

nafasku tersengal-sengal bersusah payah menangkap langkanya oksigen di udara. Aku tak tahu sekarang berada di ketinggian berapa. Yang aku tahu pasti adalah sudah 4 jam lamanya aku berjalan dari pos terakhir plawangan sembalun namun belum ada setengah jalan terlewati.

Jantungku memburu berbanding terbalik dengan semangatku yang menurun lesu. Aku frustasi, trek ini memang sengaja mempermainkan titik terendah batas-batas kesabaran. Rasanya ingin berhenti berjalan lalu menyerah kalah bersama kesombonganku.

Aku duduk, merenung, menghayati dan meresapi angin-angin ini. Hilir mudik di sekitar. Sesekali berbisik-bisik halus melintasi kawasan terlindung jaketku. Seringkali juga mereka tertawa, mungkin menyaksikan aku yang berusaha bermain-main di tempat mereka biasa tinggal.

Datang lagi orang yang kesekian dan dengan kejadian yang serupa, mereka menyapa lalu mendahului. Mencoba bersimpati dan memberi semangat padaku yang terduduk lesu di atas batuan rapuh. Sejujurnya, setiap ucapan semangat yang mereka berikan membuat semakin jatuh karena lalu menyadari betapa sombongnya aku selama ini.




05.30
Perlahan, langit timur mulai bergradasi, kegelapan itu memudar diganti dengan langit biru kekuningan. Awan-awan berpencar dan kabutpun menipis. Matahari hamper terbit, Aku selalu bahagia setiap matahari datang karena dialah sumber harapan dan kehangatan.

Aku lanjutkan berjalan di trek terkutuk ini. Setiap 3 langkah maju pasir-pasir rapuh itu akan membawa turun 1 langkah. Aku mengerti sekarang kenapa trek ini disebut tanjakan penyesalan, karena tidak ada lagi kata untuk turun mundur setelah habis 2 malam mencapai tempat ini tetapi tubuh harus mengeruk sisa-sisa tenaga dan mental untuk terus melangkah. naik.

Hari mulai terang, tinggal 1 tanjakan berbelok terakhir untuk mencapai puncak. Tapi inilah episode terberat, pasir semakin rapuh dan halus dengan keterjalan yang bertambah. Dari atas bang john sudah berteriak-teriak memberi tahu puncak sudah dekat. Ingin rasanya aku berhenti disini….




11 jam sebeliumnya (plawangan sembalun)


Danau segara anak sudah bersiap-siap tidur, kabut tebal itu perlahan menutupi permukaannya. Seperti kelelahan karena sepanjang waktu harus terus menjaga sang anak gunung baru jari yang setiap saat mengeluarkan lavanya.

Langit merah bergradasi kuning kehijauan, matahari perlahan tenggelam menghilang di balik punggungan senaru dengan latar puncak gunung agung bali yang seakan mengawasi kami.

Kehangatn matahari berganti cepat dengan dingin yang menggigit, suhu sesegera mungkin turun sampai 12”C.. kami bergegas masuk tenda untuk mempersiapkan fisik nanti malam. Kami harus cukup tidur dan beristirahat karena jam 00.00 summit attack akan dimulai.




1 hari sebelumnya

Rumput-rumput kering itu keemasan disiram cahaya matahari, angin sejuk tanpa henti berhembus, dari kejauhan puncak terlihat selalu tertutup asap dengan langitnya yang biru pekat. Jalan ini masih sangat panjang, sudah 1 malam aku lewati, hanya menyapa rumput-rumput dan pohon kering serta bergumul dengan puluhan bukit kecil.

Entah kenapa walau perjalanan ini panjang, mungkin terpanjang yang pernah aku lakukan. Aku tak merasa lelah. Mungkin karena sudah sekian lama aku ingin ke tempat ini. Seingatku sejak pertama kali aku mendaki gunung kelas 1 SMA aku sudah bermimpi mendaki rinjani the higher volcano in Indonesia . impian itu akan terwujud sesegera mungkin setelah 4,5 tahun menunggu.




2 hari sebelumnya (porter-porter itu)

Aneh, itulah kesan pertamaku. untuk pertama kalinya aku mendaki gunung dan mulai berjalan tengah hari. Idealnya untukku adalah sekitar jam 6 pagi atau jam 7 malam. Tapi kali ini dengan carrier tinggi jauh di atas kepala dengan perlengkapan pendakian yang lengkap dan berat kami berangkat jam 12.30 WITA.

Logisitik pendakian kali ini benar-benar di luar kebiasaanku. Selain membawa bahan-bahan makanan pokok kami juga membawa sesisir pisang, bermacam-macam biscuit dan permen, bumbu dapur yang sangat lengkap, malah sempat berniat membawa seekor ayam hidup untuk dibuat ayam bakar cakalang di atas.

Untung saja kami membawa 2 orang porter yang khusus membawa logistic-logistik yang tidak masuk akal (buatku) dibawa dalam pendakian. Porter pertama namanya umardi, tinggi rata-rata agak gempal umur 17 tahun. Perlengkapannya sungguh tidak meyakinkan untuk mendaki gunung sekelas rinjani karena dia hanya menggunakan kaos oblong tipis dan lusuh serta sandal jepit. Lalu Porter kedua bernama hanif, berperawakan tinggi tegap dengan tas dan celana loreng serta sandal gunung, orang ini lebih meyakinkan dari partnernya.




Aku berjalan cepat di depan, dengan 2 porter di sampingku dan meninggalkan rombongan jauh di belakang. 20 menit pertama, kedua porter masih sehat tapi 1 jam kemudian porter hanif sudah meringis kecapean. Dan berulang kali minta berhenti. Berbeda dengan porter sumardi yang tenang-tenang saja terus memikul barang. Kurang ajar juga porter ini aku pikir, dia yang seharusnya menungguiku saat kecapen bukan sebaliknya. Padahal dari penampilan dan perlengkapan sangat meyakinkan dan menjual.

35 menit kemudian porter hanif mencapai batas-batas ketahanannya. Begitu lelahnya sampai tidak bisa membedakan air putih dengan minyak tanah sehingga bisa salah minum.

Dia mundur, lebih tepatnya memaksa mundur. Rombongan tidak terima karena ini sama saja dengan melanggar perjanjian. Lagipula Tyas dan angie yang barangnya dibawakan oleh porter tidak akan sanggup membawa sendiri ke atas. Akupun tidak terima bila harus membawa lebih banyak lagi barang-barang mereka . Wajahku memang masih segar dan meyakinkan tapi tidak nafas dan mental ini.

beruntung dia bisa menemukan pengganti, Tanul,yang dari penampilannya lebih tidak meyakinkan dari hanif, perawakannya kurus pendek. tapi bagaimanapun dia the best from the worst. Daripada tidak ada, mau apa lagi.

4 jam kemudian, kami tiba di pos.2 dan mendirikan camp disini. Langit senja begitu cerah yang buatku sangat menakutkan. Karena dari pengalaman mendaki sumbing, lawu dan ciremai saat langit sore cerah selalu diikuti munculnya badai di tengah malam.



Tanjakan penyesalan 07.30

Perutku mulas, sepertinya tadi pagi terlalu banyak makan coklat. Tapi tidak mungkin pup di tempat ini. Aku hanya menjejakan kaki di tanjakan berpasir. Kalau tetap dipaksakan aku bisa jatuh berguling-guling mesra dengan tinja-tinja. Tak ada semak belukar hanya tanah sempit terbuka dan berangin yang kiri-kanannya jurang.

Aku lihat ke atas, puncak sudah terlihat semakin jelas dan sorak-sorai orang-orangpun samara-samar terdengar. Ada celah batu-bati besar 10 meter sebelum ke puncak. Sekarang tujuanku bukan puncak tapi celah itu, hanya celah itu yang ada dalam pengawasan mataku.

Semangatku yang lesu dan hampir mati kembali membara karena aku tak mau pup di celana. Aku tak peduli nafas berontak atau kaki gemetar. Aku mendaki setengah berlari, kupusatkan pikiran pada celah batu itu, seakan semua tempat menjadi gelap dan hanya celah batu itu yang bertaburan cahaya.

5 menit kemudian, lebih cepat dari yang kuperkirakan. Aku sampai di celah tersebut. Langsung kugali tanah dengan tangan dan kutumpahkan semua hasrat yang ada. Aku berjongkok sambil menikmati semilir angin dan menikmati keindahan danau segara anakan dari ketinggian yang permukaannya hijau kebiruan di siis barat. Saat aku melihat ke sisi timur, gunung tambora di sumbawa terlihat begitu pendek dengan puncaknya yang patah. Inilah tempat pup tertinggi dalam hidupku, di ketinggian 3716 mdpl. Keharuman eddeweish kering yang seperti wangi teh melati sesekali terbawa angin menyamarkan sumber bau di dekatku.

Aku menghela nafas……………………..

Huuufff………….

Huuuuufff………..

Sungguh indahnya hidup ini!!!!!!!!!

(To be continued……….)

Comments

  1. wah.. tempat pup paling tinggiku baru sekitar ketinggian 3300 m, di sumbing. tapi kalo kencing sih udah pernah di atas 20000 kaki, di atas pesawat. hehehe..

    suatu saat aku pengen ke rinjani juga.. abis itu ke kerinci yang lebih tinggi sekitar 50 meter dari rinjani, mengikuti jejak carrierku yang lebih dulu ke sana. :)

    ReplyDelete
  2. Ha..xx asiknya bertoilet sambil menikmati view dan kebaikan alam hmmm....

    ReplyDelete
  3. wah kalo aku waktu itu di semak2 dengan background gunung baru jari di segara anak lagi sunrise. Epic.

    ReplyDelete
  4. mwahaha, epic sekali, pup di 3710 mdpal.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati