semeru journey part.3 --ranu kumbolo, apa masih seperti dulu?--



Pagi ini hangat, berbeda sekali dengan apa yang aku bayangkan selama ini tentang ranu kumbolo. Menurut cerita temanku, ranu kumbolo adalah salah satu tempat terdingin di sepanjang trek taman nasional bromo-tengger-semeru, pada pagi-pagi tertentu malahan sering ditemui butiran es di rerumputan dan di bagian terluar tenda. Memang sekarang pagi musim hujan yang biasanya tidak sedingin pagi-pagi di musim kemarau. Tapi pagi ini hangat, tidak biasa untuk tempat-tempat di ketinggian, apalagi di lembah seperti ini.

Kuamati tempatku mendirikan tenda, cukup mengejutkan karena tanahnya berbeda dengan sekitarnya. Tanah di bawahku lebih hitam dan lembek karena lebih dekat dengan danau. Sedangkan tanah yang lebih tinggi penuh dengan rerumputan yang menghijau dan bunga-bunga kuning yang mekar. Di sisi padang rumput terdapat cekungan yang aneh mengelilingi danau setinggi kira-kira 2 kaki. Tidak salah lagi, cukup tak percaya untuk sadar danau ini surut di musim penghujan.



Apa ini benar-benar tanda bumi semakin panas sehingga danau abadi di tengah hutan hjan basah yang tak pernah absen ditimpa hujan bisa juga surut. Tidak ada burung-burung belibis yang biasa menghiasi danau seperti yang diceritakan pendaki-pendaki yang belasan tahun dulu mendaki gunung ini. Danau ini sepi, dengan airnya yang tenang dan tak bosan memantulkan refleksi perbukitan di sekitarnya.



Sekarang tepat jam lima pagi, tapi langit sudah mulai terang walaupun matahari belum muncul. Hal yang biasa di musim hujan. Kabut putih masih menghiasai pucuk-pucuk bukit di sekeliling danau. Kunyalakan api untuk membuat segelas besar susu panas. Cukup untuk 2 orang di dalam tenda yang masih terbius mimpi.

Kuperhatikan tangan dan kaki, tergores-gores tak karuan, selalu ada duri bersembunyi dalam semak yang kusibak, semalam benar-benar tak bisa lagi kurasakan perihnya, dingin telah membuat sebagian pengindraan mati rasa, bahkan dingin itu sendiri yang menusuk-nusuk perih ujung-ujung jari, membuat nyeri setiap otot yang dipaksa bergerak.

Memang kemarin kami tak punya banyak pilihan, berjalan di tengah hujan atau menunggu malam, keduanya adalah pilihan yang sulit karena hujan tidak pernah bisa diprediksi di tengah hutan. Mungkin saja memang langit tidak menumpahkan hujan tapi kabut jenuh tebal bisa saja tiba-tiba berubah menjadi badai yang mencekam. Maka kami memilih untuk menerobos hutan di tengah hujan.

Menerobos trek awal semeru bukan hal yang mudah, sepanjang jalan menanjak dipenuhi ilalang setinggi pinggang yang menghalangi jalan sehingga tangan dan kaki harus bekerja ekstra terus membuka jalan. Diperparah hari itu hujan, tanah menjadi lembek dan becek sehinga menempel di sepatu yang membuat tiap langkah menjadi berat.



Belum lama berjalan, sore itu berubah remang tanda sore mulai menua. Dengan senter yang bekerja kami terus berjalan memutari bukit demi bukit dengan jurang terbuka di sisi kiri. Gelap datang tidak sendirian, tapi diboncengi kabut dingin yang tenang. bernafas perlahan-lahan menjadi sakit karena udara bercampur kabut dingin yang notabene adalah uap air.
Air meresap di carrier-carrier tinggi dan berat, menambah beban hingga sepertiganya. Sepatu basah dan air sudah menggenangi kaos kaki, perlahan satu demi satu dari kami mulai jatuh terserang kram. Seringkali berhenti sekedar untuk merenggangkan lagi urat-urat yang kaku. Hujan deras disertai kabut dingin sedikit demi sedikit menembus rain coat alhasil baju mulai basah oleh karena itu kami tidak boleh berhenti terlalu lama, kami harus terus bergerak menjaga tubuh tetap hangat, mengindari hypothermia, hantu yang paling sering membunuh pendaki.

Bila keadaan normal, dari ranu pani menuju ranu kumbolo hanya memakan waktu empat jam pendakian. Namun malam kemaren kami harus menempuh waktu hampir enam jam, nampaknya semeru sedang enggan bersikap ramah sehingga angin dingin terus berputar ketika kami mendirikan tenda, tubuhku sudah mulai menggigil tak terkendali karena dingin benar-benar berkuasa di baju yang basah kuyup. Namun aku beruntung pergi bersama mereka yang masih bisa bertindak tenang dan berpikir jernih sehingga tenda bisa berdiri dan api berkobar dalam waktu yang singkat.

Sudah jam tujuh pagi Matahari mulai terbit meninggi, bermain di alam mengajarkan aku untuk mencintai matahari, untuk tidak pernah menghindari panasnya, agar tidak pernah takut hitam karenanya, saat aku menemukan bahwa dingin dan gelap itu mengerikan juga terkadang mematikan, aku sadar bahwa sudah selayaknya berterima kasih dan tidak pernah menggerutu saat-saat ia setia menemani perjalananku.



Burung-burung mulai ramai berkicau, muncul dan kemudian lari di antara ilalang yang kuning berbunga, awan-awan mulai naik dari balik lembah, wangi khas tanah basah muncul dari padang rumput yang berembun kehijauan, alam mulai mengeluarkan rasa saat matahari terjaga, angin mulai menari menimbulkan riak-riak seirama di danau dan aku menengadah membiarkan kehangatan sinar pagi membilas wajah…

Alam sebenarnya cukup untuk menghidupi semua orang, tapi tak pernah cukup untuk memuaskan manusia rakus……

Dan nanti saat pucuk-pucuk tanaman berhenti bersemi dan sumber mata air yang terakhir mengering.. manusia akan sadar kalau uang tidak bisa dimakan….


To be continued………………….

Comments

  1. Sukaaaa sama foto-fotonya. Ajarin dooong ;)
    dan suka banget sama kalimat penutupnya :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati