semeru journey part.5 -- mahameru, atap jawa--




(Tapi aku, begitu juga kami, terus melangkah, sejak di pos ranu pani kami sudah diperingatkan oleh ranger bahwa cuaca buruk sedang menaungi semeru, sejak awal mendakipun hujan lebat dan tanah berlumpur sudah merintangi kami, semua sudah tahu itu , dan saat kami terus melangkah melawan ketakutan-ketakutan dalam diri, kami bisa melewatinya. Dan sedari sore hari di kalimati kami sudah memperkirakan situasi ini. Kami hanya harus mengalahkan diri kami sendiri. Itu saja.) -- (Dan ketika para ranger khawatir akan hujan badai, pohon tumbang dan keselamatan pendaki, kami tim terakhir ada disana, sedang berjuang hidup di tengah alam yang mengganas untuk mengalahkan diri sendiri………..untuk berdri di puncak tertinggi jawa……..mahameru……)


Jam. 01,00 tim bergerak menuju mahameru, dataran tertinggi jawa, puncak para dewa, tempat banyak petualang beku meregang nyawa dalam senyum kemenangan. Tim sudah siap dengan segenap peralatan. Begitupun aku, dengan jaket wind proof, sarung tangan , headlamp , jas hujan, daypack

dengan logistik secukupnya. Kaos kaki basah yang selalu dipakai di hari-hari sebelumnya telah diganti dengan yang baru dan lembut . Sepatu trekking yang terbalut lumpur kering dan yang tidak kalah penting, SLR Nikon F-60 dengan 2 lensanya yang cukup berat. Persiapan peralatan sudah memadai, tapi tidak hatiku, ia bergemuruh, campur aduk perasaan senang, tegang, dan mental untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Karena beberapa hari lalu semeru aktif dan jalur pendakian ditutup, dan siapa yang bisa memprediksi alam dengan tepat? Selain itu belum lama ini ada beberapa pendaki yang meninggal di trek ini, karena kelelahan serta kedinginan menyebabkan konsentrasi menurun sehingga mereka menginjak trek yang salah dan terperosok ke jurang berbatu tajam.

Kami menembus hutan lebat dengan jalan berputar dan menanjak, menginjak tanah-tanah berundak yang terbentuk dari akar-akar besar pepohonan raksasa di sekitar kami. Nafas tersengal-sengal , karena harus berebut oksigen dengan pepohonan raksasa yang mengepung, selain itu udara yang terhirup masih harus bercampur dengan uap air dari embun yang menjerat. Kami sudah kepayahan di awal.

Dan kami tidak kepayahan sendirian, perjalanan kami terhambat karena rombongan besar yang sudah lebih awal mendaki berhenti lama, sebagian anggotanya tidak mampu lagi berjalan, selain fisiknya yang berontak, mentalnya sudah lebih dulu patah menghadapi alam semeru yang sedang benar-benar tidak bersahabat.

Pukul 02.30 kami tiba di arcopodo, tanah lapang kecil di antara hutan belantara, tempat pendaki bisa beristirahat sejenak bersama pendaki-pendaki terdahulu yang telah atau terpaksa memilih beristirahat selamanya disini. Sejenak aku senteri sekitar,dan beberapa saat tercekam karena di tempat ini berdiri cukup banyak batu nisan.

Semakin lama alam semakin tidak bersahabat, badai kabut menghadang, dan seperti biasa, ia tidak pernah datang sendirian, teman setianya hujan rintik ikut menerjang. Cuaca semakin dingin di tengah udara yang menipis. Kabut perlahan menembus jaket kami membuat lapisan terdalam menjadi lembab, sarung tangan mulai basah sehingga dingin dengan leluasa menusuk-nusuk ujung jari.
Ketakutan-ketakutan dan bayangan mengerikan mulai merembesi mental, bayang-bayang penderitaan pendaki karena frozzbite, hipotermia, hipoksia, dehidrasi, yang banyak aku baca di buku-buku petualangan perlahan meruntuhkan semangat.

Tapi aku, begitu juga kami, terus melangkah, sejak di pos ranu pani kami sudah diperingatkan oleh ranger bahwa cuaca buruk sedang menaungi semeru, sejak awal mendakipun hujan lebat dan tanah berlumpur sudah merintangi kami, semua sudah tahu itu , dan saat kami terus melangkah melawan ketakutan-ketakutan dalam diri, kami bisa melewatinya. Dan sedari sore hari di kalimati kami sudah memperkirakan situasi ini. Kami hanya harus mengalahkan diri kami sendiri. Itu saja.

Langit masih gelap waktu kami akhirnya berhasil keluar dari hutan, walaupun langit masih gelap kami masuk dalam hitungan terlambat. Babak ini bukan akhir, tapi awal dari tantangan terberat,Karena semeru sebenar-benarnya baru kami hadapi, sekarang pemandangannya saja sudah cukup membuat hati menyerah sebelum berjalan. Trek terakhir menuju puncak mahameru adalah gunung botak tanpa tumbuhan, tempat puncak terlihat begitu dekat dan senter-senter pendaki menyala begitu kecil dan redup berjejer dari kejauhan yang terjauh . Tempat hanya ada warna hitam tanah basah dan batu-batu pecah berwarna abu-abu keputihan di sepanjang tebing yang mengapit jurang-jurang dimana kematian terasa sangat dekat. Tempat dimana hembusan angin terasa seperti teriakan kelaparan hantu-hantu yang selalu siap menerkam. pusat dingin yang mematikan bersatu untuk memeluk serta membelai seluruh badan. Dan terlihat satu-satunya trek menuju puncak adalah punggungan sempit berkelok-kelok dan curam.

Tanah-tanah hitam yang terlihat padat ternyata lebih rapuh dari tanah gambut, setiap kami berhasil maju 3 langkah, pasir akan menurunkan kami 1 hingga 2 langkah ke belakang, terus dan terus begitu. Sudah tidak ada lagi sendau gurau dalam tim, tidak ada yang namanya saling menguatkan antar pendaki, setiap orang menghemat energi , menghimpunnya dan mengeluarkan seefisien mungkin untuk langkah-langkah yang kadang terlihat sia-sia. Jari-jari tangan semakin perih kedinginan karena sarung tangan yang basah, semakin menyakitkan bila sampai harus merayap dan menekan pasir-pasir berkerikil tajam.

Beruntunglah orang yang bertubuh ringan, karena mereka bisa lebih gesit dan usaha pasir-pasir menjadi sia-sia untuk memperlambat mereka. Tapi celakalah orang-orang dengan berat di atas rata-rata. Karena pasir-pasir itu bisa tertawa puas mempermainkan mereka yang berjuang ekstra keras untuk naik. Seperti orang di bawahku dengan tubuh tinggi besar ia harus merayap total di tempat aku hanya perlu menggunakan kedua kaki untuk melangkah.



Hari semakin terang dan matahari mulai terbit , ini bukan kabar gembira untuk orang yang belum sampai puncak. Karena langit cerah adalah tanda waktu mereka semakin pendek untuk sesegera mungkin mencapai puncak. Semeru tidak mengizinkan manusia-manusia untuk menginjakan kaki saat matahari mulai naik meninggi. Hanya ada kematian yang datang perlahan tapi pasti menarik nyawa-nyawa orang yang nekad berdiri di sana siang hari. Seperti yang Soe hok gie alami, kekuatan fisik dan mentalnya tidak sanggup menaklukan gas racun yang membuncah dari tanah di siang hari.

Sudah ¾ jalan kulalui, dan dari kejauhan samar-samar kudengar teriakan kegembiraan seorang temanku yang sudah sampai puncak. Tidak lama lagi sepertinya, tapi ini adalah bagian terberat dari pendakian ini. Kelelahan, kedinginan dan udara yang menipis semakin membuat kaki berat melangkah, perlu berdiam mengatur nafas beberapa saat sebelum melangkah lagi, selain melangkah kaki harus lebih jeli mengatur kuda-kuda, untuk menemukan posisi yang pas agar tidak merosot. Trek sudah dekat, tapi terasa semakin jauh.

Rasa perih di tangan sudah tidak terasa, berganti dengan mati rasa, jar-jari semakin kaku tak bisa digerakkan. Walaupun pemandangan ke bawah sudah terlihat sangat menakjubkan, bukit-bukit hijau berawan menjadi kemerahan tertimpa matahari pagi, dan biru langit bercampur abu-abu kabut. Tidak ada niat untuk mengambil kamera, pikiranku terpusat pada bagaimana secepat mungkin mencapai puncak, tidak ada waktu berlama-lama mengambil gambar.

puncak mahameru, mendung dan berkabut...


Pukul 08.00 lebih sedikit, akhirnya kaki mencapai puncak tertingginya, dan ternyata sekarang puncaknya tidak seluas dulu ( seperti aku lihat di foto-foto lama) karena sebagian longsor , masi terlihat bekas reruntuhannya di dekat kawah. Sudah tidak ada pemandangan menakjubkan letupan pasir terlihat, karena kabut lebih cepat mengepung kami, di tengah trek terdapat batu nisan soe hok gie, alam telah membantu mewujudkan cita-citanya untuk mati muda.

kamera berat ini, yang aku seret dari bawah, tidak mampu berbuat banyak, bagian-bagian dalam lensa sudah berembun hebat, dan untuk pertama kalinya aku mengkhianati idealismeku untuk selalu mengambil gambar menggunakan program manual , menekan shutterpun jempol yang aku gunakan, jari sudah terlalu kaku untuk mengatur speed dan diafragma.

Ranu pane 2 hari setelahnya..
Kami keluar taman nasional gunung semeru, dengan kaki dan tangan berbalut lumpur, kelelahan, tapi dengan senyum kepuasan tak terhingga. Di sepanjang jalan menuju pos banyak rombongan pendaki-pendaki yang belum sempat naik bersiap untuk pulang. Semeru ditutup bagi pendakian. Semeru sudah ditutup sehari setelah kami masuk, kami adalah rombongan terakhir yang melakukan pendakian saat itu. Karena tidak lama setelah kami mendaki hujan badai menerpa ranu pane, banyak pohon yang tumbang. Dan pos pantau melihat aktivitas semeru yang meningkat tajam serta kabut hitam tebal yang selalu menyelimuti semeru.

Dan ketika para ranger khawatir akan hujan badai, pohon tumbang dan keselamatan pendaki, kami tim terakhir ada disana, sedang berjuang hidup di tengah alam yang mengganas untuk mengalahkan diri sendiri………..untuk berdri di puncak tertinggi jawa……..mahameru……

Comments

  1. Ak bs bygin apa yg mas rasain...wlw mgkn bkn disemeru penglaman mendaki gunung sebuah hal yg bakal terkenang seumur hidup...baca ini jadi teringat pertama kali ak naek gunung betapa keagungan dan perjuangan seorang manusia yg kecil menghadapi kebesaran alam gk akan pernah terucapkan oleh kata2..hanya perasaan takjub dan kesadaran diri yg bs membwt kita berdiri dipuncak setelah berjuang mengalahkan diri sendiri dari semua rasa...kita semakin bs bersyukur setelah bs merasakannya...semoga kamipun bs merasakannya ya mas

    ReplyDelete
  2. bergerak menuju mahameru, dataran tertinggi jawa, puncak para dewa, tempat banyak petualang beku meregang nyawa dalam senyum kemenangan

    terima kasih atas speenggal kisah petualanganmu yang dibalut kata-kata apik ini. saya sekejap berubah menjadi nafsu untuk menentukan jadwal perjalananku ke sisi lain tanah jawa untuk mendaki mahameru.

    salam kenal! :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. salam kenal.... mahameru adalah tempat paling keren di tanah jawa ini... patut dicoba sekali seumur hidup.. lebih sering lebih baik..

      Delete
  3. mantap...da q termasuk org yang gagal untk mencembe puncaknya...hiks

    ReplyDelete
  4. tambah nafsu pengen ke mahameru kalo baca ceritanya. sayang, gak diijinin ama bini.sabar..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati