borobudur ----masih adakah sedikit tempat hidup tersisa bagi tukang foto keliling???-----




Borobudur telah menjadi warisan budaya bangsa dan symbol Indonesia sebagai bangsa besar yang memiliki keagungan budaya masa lalu. Tapi yang tidak kalah penting adalah tempat ini telah menjadi sandaran hidup dari ribuan penduduk sekitar . mereka mengais rezeki para pengunjung dengan menawarkan penginapan, rumah makan, jasa parkir, souvenir dan satu yang hampir tergusur eksistensinya, fotografer keliling.

Hari itu, langit borobudur biru cerah dan awan seakan berdamai dengan matahari sehingga panas dapat dengan leluasa menimpa kami. Haripun panas tak berangin , nampaknya angin sedang terlelap setelah tadi malam kelelahan bermain di bawah cahaya bulan. aku untuk yang kesekian kalinya berkunjung, mengantar teman-teman dari belanda.

Ada yang menarik saat aku menuju kompleks candi .Di gerbang tangga candi duduk lelaki itu yang hitam legam berompi coklat layaknya wartawan , bergantung SLR analog di lehernya dan tangan penuh foto-foto keluarga dengan background candi borobudur dan langit yang over-exposure berukuran 10R. dialah fotografer keliling yang hampir tersingkir dari peta persaingan bisnis di candi borobudur.

Dia terus tanpa henti menawarkan jasanya ke setiap pengunjung, entah orang-orang itu menganggapnya ada atau tidak. Sebagian dengan halus menolak, sebagian pura-pura tidak melihat dan sebagian besar lagi mentertawakannya

ada raut keputus-asaan terbersit sekilas di wajah sang fotografrer keliling, aku perhatikan satu-satu pengunjung borobudur yang seharusnya menjadi konsumen, ternyata hampir setiap kelompok atau individu sudah membawa kamera sendiri entah camera handphone, digital pocket camera atau digital SLR. lalu keluarga-keluarga yang tak membawa kamerapun belum tentu mau menggunakan jasanya.

tiga jam aku berpisah dari rombongan hanya untuk terus memperhatikannya dan dengan mirisnya perasaan aku melihat tak satupun konsumen dia peroleh. matahari semakin panas di atas dan dia tetap bertahan dengan perjuangannya menunggu seseorang yang membutuhkan jasanya atau tergerak hati menggunakan jasanya hanya untuk sekedar membantu. keluarganya mungkin menunggu, menantikan sang ayah membawa rezeki yang cukup untuk membeli hidangan yang nikmat di meja makan, atau membayar uang sekolah yang menunggak berbulan-bulan.

culture shock bangsa ini

inikah bukti kalau zaman berganti terlalu cepat dan sebagian besar rakyat indonesia terlambat menyesuaikan diri?

mungkin saja begitu. sekitar 40 tahun aku menerka umurnya terlihat dari guratan wajah dan perwakannya lalu orang-orang yang berada di foto-foto yang dia pegang berpakain dengan mode di era 90an. aku bisa menarik kesimpulan sementara kalau dia telah berprofesi sebagai fotografer keliling cukup lama. sekian tahun atau mungkin belasan tahun dia bekerja di sekitar borobudur dengan kameranya. tentu dia telah hapal segala sisi borobudur sebagai background foto. keahlian itu yang pada akhirnya menjadi tempat dia menggantungkan nasibnya. sekarang saat era digital menggeser pekerjaannya. dia tak mampu berbuat banyak. karena tanpa memilki spesialisasi keahlian dan pendidikan yang memadai sangat sulit bersaing di lapangan kerja yang baru.



fotografi, seni yang diubah menjadi status sosial dan gaya hidup.

Saat ini semua orang bisa menjadi fotografer untuk dirinya sendiri, dengan kamera built-in di hand phone mereka bisa mengabadikan citra dirinya. Memang kualitas cetakan foto dari hand phone tdak sebagus dengan film. Namun , mereka memang tidak mencari itu, mereka hanya ingin melihat dirinya tampil menarik dalam gambar sesuai yang diinginkan. Bila jelek, hapus dan coba lagi. Begitu terus berulang-ulang. Mencoba untuk memuaskan nafsu kenarsisannya.

Selain itu, kamera pocket dan slr yang semuanya bermedia digital telah hampir menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat perkotaan. Cepat dan sesegera mungkin menyingkirkan fotografi analog dengan media film yang mahal dan sangat tak praktis. Hal itu perlahan tapi pasti mengubah paradigma masyarakat kelas menengah yang memandang hobi fotografi sebagai hobi mahal dan hanya untuk masyarakat kelas atas.

fotografi bukan lagi hanya menjadi suatu hobi atau pekerjaan. tapi telah merasuk dalam gaya hidup serta status sosial banyak orang di indonesia. aku pernah ikut nongkrong dalam komunitas fotografi yang berpusat di jogja dan dibuat oleh seorang dosen fotografi di salah satu universitas swasta terkemuka di yogyakarta. yang kutemui sungguh mengejutkan karena hal yang sering dibicarakan bukan lagi kualitas suatu foto, atau bagaimana proses atau cerita di baliknya. namun, yang lebih dibanggakan dan diceritakan adalah gear yang dipakai dengan bandrol harga yang mencengangkan bagi mahasiswa pas-pasan sepertiku.

hal itu sebagai sinyalemen bahwa BAGI SEBAGIAN ORANG ATAU KOMUNITAS TERTENTU menenteng kamera mahal dengan lensa panjang (apalagi belang) adalah kebanggaan, sebagai status sosial, lambang tingkat ekonomi, bentuk profesionalitas, dan lain sebagainya. hasil foto dari hasil kesabaran dan kecermatan melihat obyek,peristiwa , pesan, atau moment sudah menjadi nomor kesekian karena dengan kapasitas shutter account yang tak terhingga dan continues shoot tentunya ada foto yang bagus terselip diantara sekian ratusan mungkin juga ribuan foto yang dihasilkan.

aku tak tahu apakah ini sebagai bentuk keprihatinan, kritik sosial atau bentuk iri hatiku yang tak mampu. aku tak memaksakan pandangan atau pemahamanku. ini semua tergantung bagaimana anda memandangnya?

Comments

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

kenapa saya keluar seminari ?