hei Bono !!!!

(‘ada saat-saat dalam hidup dimana kita harus percaya buta pada intuisi’ itu yang selalu kuyakini, nanti kamu juga harus begitu, ada saat-saat dimana semua ketajaman perhitungan tidak lagi mampu menembus batas-batas kemungkinan, dan disana intuisi buta adalah senjata terakhir. Dan saat aku memilihmu, aku menggunakan intuisi itu, dan ternyata intuisiku sesat.)






Hei bono….. tidak terasa umurmu sekarang sudah mencapai sepertiga tahun, dan perkembangan tubuhmu sangat pesat, sampai saat ini aku masih merasa kamu sebesar sepatuku, sama seperti saat aku membawamu dari dongkelan, tapi sekarang sudah hampir mencapai setengah meter tinggimu.



Dan kamu masih saja tidur, ya aku mengerti bagaimana nikmatnya tidur setelah lari sekian jauh dan sekian lama, lalu minum susu hangat dan makan sampai kenyang, akupun akan melakukan hal yang sama, seperti kamu, tidur telentang sampai mulut terbuka dan liur membuncah kemana-mana. Walaupun bila aku menjadi kamu, aku akan merasa sangat dicurangi saat aku berlari tapi orang di sebelahku berlari kencang dengan sepeda, tapi kamu tidak pernah mengeluh dan terus berlari menyesuaikan kecepatan sepedaku, ya terkadang lehermu juga tercekik karena aku mengayuh terlalu kuat. Untuk itu semua, maafkan yah..aku Cuma tidak mau kamu obesitas karena kebanyakan tidur.



Kamu tidak tahu kalau sebenarnya bukan anjing sepertimu yang kuharapkan, yang selalu kuimpikan adalah german shepherd yang besar dan cerdas, malinoise yang brilliant, rotweiller yang kuat dan ganas, atau Doberman yang ramping dan buas, mungkin juga Siberian husky yang anggun dan misterius. Bukan anjing kecil, kurus, hiperaktif dan tak mau menurut sepertimu. Bukan anjing dengan ras tidak jelas sepertimu. Bukan anjing yang ramah dan baik kepada siapa saja sepertimu. Bukan anjing yang suka sekali bermain di tanah berdebu sepertimu. Yang pasti kamu tidak pernah ada dalam bayanganku.



Karena aku mahasiswa miskin kota Yogyakarta, yang keinginannya luas tapi kantongnya sempit. Memelihara anjing tidak pernah menjadi prioritas ke 99pun dari 100. Dan saat ini aku baru mulai berpikir kenapa aku bisa sampai memeliharamu.



Mungkin karena Dulu aku hanya menemani temanku ke pasar binatang baru di dongkelan waktu dia membeli kage, temanmu, si ras Iceland shepherd , ---yang sekarang nasibnya sama sepertimu, diungsikan dari kos itu karena bapak kos percaya kamu dan teman sebangsamu adalah najis---. Disana aku melihat teman-teman kecil yang senasib denganmu. Lucu dan menggemaskan. Sampai saat itu aku berpikir untuk memiliki satu, tapi kantongku sudah lebih dulu bicara kalau ia tidak mampu.



Mungkin juga waktu Suatu malam bertemu temanku, ya kamu belum pernah melihat dia, karena dia sering ke rumah lama tapi belum pernah ke rumah baru kita. Dia sahabatku, saat kami sedang ngupi2 dia berpendapat menurutnya aku berbagi hampir semua hal dengan teman-temanku tapi tidak pernah berbagi “hidup”, afeksiku tidak terlatih dan lain-lain dan lain sebagainya, walaupun aku sekuat tenaga menyangkalnya, dan kamu tahu apa sarannya??? “rawatlah hewan peliharaan dari kecil, supaya kamu mengerti” sampai saat itu aku hanya tertawa, itu konyol, buatku yang selalu mengagungkan logika tak ada hubungan afeksi dengan binatang peliharaan. Malam itu aku tertawa, tapi juga tertantang untuk membuktikannya.



Untuk kesekian kalinya aku mengunjungi pasar itu, tanpa uang di kantong, dan aku melihat temanmu anjing yang berumur kira-kira 3 bulan, sudah agak besar, dan tinggi, dan walaupun si penjual sudah omong besar segala hal, aku tahu temanmu adalah anjing ras campur, aku melihat ciri-ciri german shepherd di dirinya, dengan moncong panjang dan hitam, kuping lebar berdiri, bulu lebat coklat-hitam-abu, dengan cacat warna putih di kakinya seperti memakai kaos kaki – hal yang diharamkan dalam diri german shepherd menurut mbah goggle-- . Walaupun ia bukan ras asli ---dan sepertinya tidak ada ras asli di pasar itu---, tapi aku sangat tertarik memilikinya



Aku bergegas pulang, meminjam uang temanku dengan tekad akan kuboyong pulang temanmu itu, keesokan harinya dengan semangat membara aku kembali ke tempat itu, rasanya seperti nyala batu arang tersiram air, lemas seketika. Temanmu itu sudah tidak ada, kandangnya kosong, rasa-rasanya aku masih meihat dia disitu, seakan-akan dia masih menjilati jariku waktu kumasukan dalam kandang, sepertinya aku masih menyaksikan dia meloncat-loncat ke kakiku waktu kulepaskan. Sudah sedari di jalan aku begitu girang akan membawa satu anak anjing pulang, dan aku tidak mau pulang dengan tangan kosong.



Dan aku melihat kamu dengan saudarimu, kalian berdua gendut lucu. Dan aku tahu itu hari pertama kamu tiba disitu, hari kemarin aku tidak melihat kamu, kamu masih lembut dan hiperaktif, loncat kesana-kemari, menguik-nguik tanpa henti. “kamu sehat” itu kalimat pertama ada dalam pikiranku, karena sepengalaman teman-temanku, banyak teman-temanmu sebelumnya yang terserang virus parpo dan mati tak lama setelah dibawa pulang.



‘ada saat-saat dalam hidup dimana kita harus percaya buta pada intuisi’ itu yang selalu kuyakini, nanti kamu juga harus begitu, ada saat-saat dimana semua ketajaman perhitungan tidak lagi mampu menembus batas-batas kemungkinan, dan disana intuisi buta adalah senjata terakhir. Dan saat aku memilihmu, aku menggunakan intuisi itu, dan ternyata intuisiku sesat.



Kamu tahu apa yang dikatakan penjualmu waktu itu??? Dia bilang bapakmu ras saint-bernard dan ibumu german shepherd, oleh karena itu kamu dibandrol tinggi sampai 650 K, aku memang tidak tahu banyak tentang anjing, tapi aku tidak bodoh, aku tidak melihat ada tanda-tanda german shepherd dalam dirimu, seharusnya ciri-ciri ibu muncul paling kuat di dalam setiap anak anjing, malahan awalnya aku pikir kamu masih memiliki darah retriever. Karena aku hanya membawa 250K maka aku tawar saja 160K, awalnya ia keberatan, tapi setelah aku tinggal karena harga tidak sesuai , akhirnya ia setuju dan memanggilku kembali. Dia memang terlatih untuk tawar menawar dengan orang berduit, tapi tidak berpengalaman adu ngotot harga dengan mahasiswa miskin. Mungkin itu awal kenapa kamu ada disini, saat ini.



Menyebalkan sekali kamu saat hari-hari pertama aku bawa pulang , aku belikan dogfood kualitas terbaik yang menghabiskan sepertiga uang sakuku selama seminggu, tapi kamu malah memilih makan nasi dengan kaldu daging. Aku belikan susu bubuk, yang tentu tanpa gula, supaya kamu sehat, malah kamu lebih memilih susu kental manis punya kage temanmu. Dan aku sangat kuatir waktu kamu selalu memuntahkan lagi makanan yang sudah ditelan. Akhirnya kamu kucekoki minyak ikan yang membuat nafsu makanmu berlipat ganda, dan memakan semua, sampai-sampai kabel-kabel komputerkupun kamu makan. Kamu saat itu tidak tahu aku begitu khawatir saat muntah-muntahmu bertambah sering, awalnya aku kira kamu muntah bihun, padahal aku tidak pernah memberi makan bihun,saat aku pegang-pegang bihun itu malah bergoyang-goyang, ternyata itu cacing gelang. Langsung saja aku beli obat cacing cair untuk anak-anak, kamu aku suapi sedikit demi sedikit, tanpa aku sadari isi satu botol kecil itu habis, dan setelah itu kamu tertidur lemas, “oohh tidak… kamu overdosis…….” Untung saja esoknya kamu selamat dan sehat.



Teman yang berkunjung ke rumah lama kita dan belum tahu kamu, pernah bertanya sinis “ini kandang anjing apa kamar orang??” aku jawab “kandang anjing sekaligus kamar orang “, bagaimana tidak kamu kencing sembarangan saat aku tidak ada. Kamu kencingi spreiku sampai-sampai ganti empat kali dalam seminggu, kamu kencing di bawah meja, karpet, dekat dispenser di semua sudut yang akupun tidak sadar, sampai-sampai saat kubawa kamu ke kost temanku, dengan seenaknya kamu pipis di karpet temannya di sebelah kamar, untung saja kamu kencingnya pilih-piih di kamar orang cantik, jadi menyenangkan juga bisa “sok-sokan” bertanggung jawab untuk laundry karpetnya.



Mungkin kamu juga pernah bertanya-tanya kenapa kita harus pindah ke rumah baru. Kamu harus tahu bahwa aku sudah sekuat tenaga mempertahankan kamu di rumah lama. Tapi mau apa dikata logika tak berdaya dibenturkan dengan fanatisme.



Masih terngiang di telingaku apa kata-kata pamungkas bapak kos kita



“mas rio lebih sayang mana ?? diri sendiri apa anjingnya?? Kalau sayang diri sendiri tolong anjingnya diungsikan, tapi kalau lebih sayang anjingnya tolong mas rio dan anjingnya mengungsi sesegera mungkin dari tempat ini” mungkin buat telingaku itu terdengar seperi teguran biasa, tapi buat orang jawa asli yang menjunjung tinggi kehalusan berbicara dan berperilaku, kata-kata tersebut sudah sangat kasar maknanya. Oleh karena itu kita ada disini, saat ini. Daripada dia menggunakan segenap kampong untuk mengusir kita. Atau tiba-tiba alm.bapak kos senior kita bangkit dari kubur untuk menghantui seisi kos karena diapun sangat membenci bangsamu



Okey bono, hari sudah malam, aku harap tadi kamu tidak minum banyak-banyak, besok aku sedang malas bangun pagi untuk membawamu kencing di depan, tapi itu bukan berarti alasan kamu boleh kencing di dalam kamar. Tidurlah, masih ada makanan buat besok pagi, untuk siangnya nanti kita pikir lagi. Bermimpilah, tapi jangan memimpikan aku, karena untuk bersamaku kamu tidak perlu bermimpi. Oia satu lagi, kamu harus berdoa , agar aku diberi rezeki yang cukup supaya tiap hari kamu tidak makan dogfood murah tapi bisa makan nasi telor atau nasi usus. Kamu juga harus bersyukur karena diadopsi oleh orang yang baik sepertiku, karena mau kamu menyesalpun tidak akan merubah keadaan. Hahahhahhaha…..

Comments

  1. membaca postingan ini memang kalian seperti berjodoh,moga anjingnya tetap ada rezki buat makan ya^^...

    ReplyDelete
  2. mahasiswa sekarang memang luar biasa. Kadang saya berpikir, di mana saya dulu? saat banyak kata dan kalimat berserak, saya asyik bermain hal lain. Dan kamu, seekor anjing menjadi energi luar biasa untuk menulis banyak paragraf...hahahaha.

    Postingan yang renyah. Nikmat dibaca saat malem2. Keep up the good work :)

    ReplyDelete
  3. jodoh.. sesuatu di luar akal sehat

    ReplyDelete
  4. ha....xxxx love u bono but i don,t like u

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati