gunung lawu (pendakian umum mapasadha 2007)



Setelah memeriksa dan menyiapkan kembali segala perlengkapan yang pasti akan dibutuhkan selama pendakian. Sekitar jam.13.30 kami berangkat menuju tawang mangu menaiki bis yang sampai disana sekitar pukul 15.30. kami berhenti sejenak di terminal untuk mengisi perut yang mulai berbunyi karena lapar dan udara dingin yang mulai terasa menelusup ke dalam jaket.

Setelah perut terisi, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang truk yang menuju cemoro sewu. Hari sudah mulai gelap dan kabu tebal turun beriringan ditambah angin yang berhembus kencang, membuat kami semua yang berada di atas truk menggigil
Kalau di sepanjang tepi jalan puncak pass bogor – cianjur dipenuhi dengan pedagang jagung bakar maka di “puncak pass” cemoro sewu ini dipenuhi dengan para pedagang sate kelinci dan sate “jamu” yang berjajar di sepanjang tepian jalan.

Setelah kami sampai di pos cemoro sewu,kami beristirahat sejenak, sebagai persiapan terakhir sebelum pendakian. Disana datang juga para anggota mapasadha yang berniat sama mendaki untuk memperingati Hut mapasadha..

Suasana terasa begitu hangat karena keakraban antar peserta, panitia dan alumni begitu cepat tercipta.

Di cemoro sewu terdapat pemancar TVRI yang mengarah ke jawa tengah dan jawa timur. Cemoro sewu berada pada ketinggian 1600 mdpl, sore hari udara di tempat ini sudah terasa dingin sekali. Para pendaki biasanya beristirahat di pos cemoro sewu untuk menunggu malam hari tiba, karena pendakian terbaik pada malam hari (21.0-23.00) dan kita sampai di puncak menjelang pagi untuk menyaksikan sunrise. Terdapat sebuah mushola dan MCk yang memiliki enam buah kamar mandi.

Tepat pukul 20.00 kami mulai mendaki namun sebelum itu kami berdoa agar diberi keselamatan dalam pendakian. Lalu membagi peserta menjadi 2 kelompok karena begitu banyaknya peserta yang antusias mengikuti kegiatan ini.

Perjalanan pertama kami melewati jalan menanjak setapak berbatu menembus hutan cemara yang tumbuh dengan lebatnya. Mungkin karena inilah daerah ini dinamakan cemoro sewu (seribu cemara). Tak lama berjalan kami menemui perkebunan sayur yang hampir panen. Sementara di sela-sela kebun sayuran pohon-pohon sisa kebakaran Nampak kering, menunggu untuk roboh. Dengan bantuan cahaya bulan purnama pemandangan lebih dapat terlihat jelas sehingga kami masih bisa menikmati keindahan tempat itu walaupun malam hari.

Setelah sampai di pos 1 kami beristirahat sejenak, lalu bergerak kembali menuju pos.2 dengan medan bebatuan yang memiliki kemiringan tajam, perjalanan mulai terasa berat. Namun jalan lebih terang karena pepohonan tinggi sudah mulai jarang.

Setelah sampai di pos.2 kami mendirikan tenda. Pos.2 berupa dataran yang agak luas , banyak ditumbuhi pohon-pohon besar dan banyak batu besar, sehingga pendaki dapat membuat tenda di tempat ini dengan nyaman karena terlindung dari hempasan angin. Kami juga menemui pendaki lainnya yang sedang membuat api unggun. Disini kami beristirahat, ada yang membuat api unggun, memasak makanan, membagi-bagi snack, setelah itu kami mengobrol bersama mengelilingi api ungun. Sekitar jam.03.00 kami bangun dan tak berlama-lama segera membereskan segala perlengkapan dan kembali bergerak menuju pos.3, mulai dari sinilah terasa pendakian yang sesungguhnya. Jalur menanjak dan curam terasa tak ada habis-habisnya. Di tambah pepohonan lebat yang menghalangi jatuhnya sinar bulan, sehingga kami harus menggunakan senter untuk menerangi jalan. Seiring waktu bergerak, peserta mulai kelelahan karena bernafas di udara yang menipis, terutama bagi yang belum pernah mendaki gunung. Namun mereka tetap semangat mendaki.

Pos 3 akhirnya sampai, ada rasa lega di hati setiap peserta. Kami beristirahat dan meregangkan kaki yang pegal. Setelah cukup beristirahat kami bergerak lagi, karena tujuan kami adalah melihat sunrise dari puncak gunung. Selama perjalanan ini tercium sedikit bau belerang. Namun tidak semua peserta menaydarinya.

Perjalanan dari pos 3 ke pos 4 tidak lebih baik dari sebelumnya. Peserta kebanyakan sudah mencapai batas – batas ketahanan fisiknya. Kantuk yang menyerang karena kurang tidur, udara yang semakin tipis, kelelahan dan dinginnya embun menjadikan ketahanan fisik menurun. Hanya anggota mapasadha dan penulis sendiri yang dirasa masih memiliki sisa-sisa tenaga untuk terus melanjutkan pendakian.

Selama perjalanan ini, kami sering sekali beristirahat, entah untuk mengatur nafas,minum, meregangkan kaki, membetulkan posisi kerir, menyantap makanan. akhirnya 3 orang tidak sanggup melanjutkan perjalanan dan lebih memilih untuk beristirahat lalu turun menuju pos 3. Setelah itu peserta yang tersisa terus merangkak naik, hingga akhirnya sampai di pos 4.

Di pos tersebut kami beristirahat cukup lama, sudah tak ada lagi keramaian seperti di awal. Setiap peserta terdiam mengumpulkan tenaga sebaik-baiknya. Uap udarapun terlihat dari hidung saat bernafas. Tempat itu begitu dingin. Beberapa peserta memasang koyo di hidungnya agar saat bernafas tidak mampat.

Sesudah semua merasa cukup kuat untuk berjalan, kami mendaki kembali. Jalur sangat curam, kami menyusuri lereng gunung dan di pinggir kami terlihat jurang menganga. Angin berhembus sangat kencang sehingga para peserta tambah kedinginan jalurnya juga semakin sempit menanjak.

Karena terlalu banyak beristirahat, kami terlambat sampai puncak saat sunrise. Tapi pemandangan sunrise daripertengahan pos 4 dan 5 ini tak kalah bagusnya. Tebing tempat kami berhenti menghadap timur. Sehingga kami dapat melihat dengan jelas hamparan awan di bawah kami dan matahari mengintip malu dari balik awan.

Pemandangan ini begitu indahnya sehingga tidak ada seorangpun yang menyesal telah melakukan pendakian ini. Lalu kami putuskan untuk beristirahat dan berfoto-foto disini.

Kami beristirahat cukup lama untuk menikmati pemandangan tersebut. Tak lupa kami mensyukuri karunia Tuhan yang begitu indah ini. Sesudah tenaga terkumpul, kami tak berlama-lama dan segera berangkat. Walaupun fisik sudah kepayahan, tapi semangat tetap kuat. Kami mendaki terus melintasi bukit kapur dengan padang edelweiss di kanan dan kiri kami. Matahari juga sudah semakin sombong di atas kami. Angin semakin kuat menerpa membuat kami menggigil dalam teriknya matahari. Sekian lama kami berjalan naik hingga tak kami sadari telah mencapai pos 5. Disini banyak pendaki mendirikan tenda. Namun kami tidak beristirahat. Karena puncak sudah terlihat dengan bendera putih berkibar-kibar di atasnya.

Melihat itu hilanglah rasa lelah kami, bergegas jalan, berlomba-lomba menjadi yang pertama sampai puncak. Setelah kami mengitari bukit untuk mencapai jalan setapak menanjak terakhir menuju puncak,walaupun pegal terasa menyiksa, kami menaiki jalur itu setengah berlari.

Dan sampailah kami di PUNCAK!! Tepat pukul 07.30. senyum kepuasan terkembang menghiasi wajah kami semua. Kami tertawa sepuas-puasnya, bersalam-salaman, foto-foto dan yang paling penting kami semua melakukan upacara singkat kirab lawu untuk memperingati HUT MAPASADHA yang dulu oleh para pendahulunya diresmikan di gunung lawu.

Puncak gunung lawu udaranya sangat bersih, kami dapat melihat pantulan matahari di samudera Indonesia, deburan dan riak ombak laut selatan sepertinya sangat dekat. Sangat jelas terlihat kota wonogiri juga kota-kota lain di jawa timur. Tampak waduk gajah mungkur di wonogiri, juga dapat terlihat dengan jelas sekali telaga sarangan yang dikelilingi tempat penginapan.

Sayang sekali kami tidak bisa lama tinggal di puncak karena udara sangat dingin dan angina bertiup sangat kencang,padahal tidak ada awan maupun kabut. Setelah makan dan beristirahat seejnak,kami turunkembali pada jam.10.00.

Dalam perjalanan saya baru berpikir dan menyadari, bahwa mendaki gunung itu tidak semudah yang dibayangkan oleh orang-orang kebanyakan. Saya juga yakin para pencinta alam adalah orang-orang yang telah melewati batas-batas normal manusia modern”. Karena mereka mampu sampai ke tempat-tempat yang di luar jangkauan manusia pada umumnya. Dan mendaki gunung itu bukan pekerjaan yang sia-sia. Karena dengan mendaki gunung kita akan melihat banyak ciptaan yang maha esa yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Selain itu dengan mendaki gunung kita akan semakin mengenal alam dan mencintainya.

Mari mendaki gunung!!!

(masuk di bulletin NATAS bulan oktober 2007)

Comments

  1. Saya yang orang Solo belum sempat naik gunung Lawu...baca artikel ini jadi makin semangat cari semangat buat menahlukkan gunung Lawu hehehe....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

kenapa saya keluar seminari ?