pendakian pertama saya?

Setelah saya membaca UMU magazine, yang membahas semua tentang mountaineering, dan di edisi yang pertamanya itu mengulas semua hal dari yang pertama mulai mapala pertama di indonesia, produsen alat-alat outdoor pertama di Indonesia, anak kecil umur 6,5 tahun pertama yang mendaki 10 gunung di jawa dan pengalaman para pendaki saat pertama kali naik gunung.

Nah, saat saya membaca artikel yang berisi kisah-kisah lucu saat orang-orang pertama kali naik gunung. Saya jadi bernosltalgia dengan pendakian pertama saya dulu, sekitar 7,5 tahun yang lalu, waktu masih kelas 1 SMA di bogor.

Dulu saat saya diajak naik gunung oleh kakak kelas di asrama, saya tidak terlalu berminat, karena saya tahu begitu melelahkannya harus berjalan kaki jauh di tengah alam dan mesti tidur di tenda. Hal itu bukannya tanpa alasan, saat SMP saya pernah masuk ke baduy daleum dan ujung kulon sampai posko menara, dan begitu menyebalkan di tengah hutan tanpa pemandangan yang bagus sama sekali.

Tapi setelah saya melihat di foto betapa gagahnya orang-orang bercarrier besar di punggungnya dan memandang matahari terbit, saya jadi termotivasi. Bukan termotivasi untuk melihat sunrise. Tapi termotivasi untuk berpose seperti di foto-foto pendaki tersebut, dan tentu saja tujuan utamanya adalah memasang foto tersebut sebagai profile picture di Friendster, yang saat itu sedang tenar-tenarnya. (Dalam bayangan saya tentu banyak perempuan yang akan meng-add account saya setelah melihat foto itu.)

Setelah saya menyanggupi untuk ikut, masalah kedua muncul, apa itu? Ya, saya tidak punya peralatan yang menunjang. Tapi saya tak kehabisan akal. Karena di asrama banyak anak-anak perantau maka tentu saja banyak backpack besar yang menganggur, maka saya pinjam carrier size 65 liter punya John teman sekelas saya, untuk pengganti sleeping bag saya bawa selimut tebal milik asrama, sandal gunung saya temukan di tumpukan bawah loker yang saya tidak tahu milik siapa, sehingga saya pinjam diam-diam. Kaos kaki tebal saya temukan juga di bawah loker baju (yang sekali lagi tdak tahu milik siapa) itupun kembali saya pinjam diam-diam, kupluk dan sarung tangan saya pinjam diam-diam dari dormit besar milik kakak kelas yang setelah beberapa tahun tinggal di bogor masih sering merasa kedinginan saat malam. Untuk logistic saya minta diam-diam mie instant dari dapur yang lupa dikunci oleh tukang masak. Dan lengkaplah semua.

Gunung pertama yang saya daki adalah gede-pangrango, waktu itu kami berenam mendaki lewat gunung putri, dengan niat mendaki malam untuk mengejar sunrise, dan tentu saja berfoto. Dan memang mendaki gunung itu sangat melelahkan, rasa kantuk yang menyerang adalah musuh terbesar, belum lagi dingin yang semakin menghimpit seiring kami jauh mendaki, kaki sudah gemetaran karena harus menopang carrier yang besar dan beratnya minta ampun.

Note : carrier saya termasuk yang paling berat, kenapa pemula seperti saya bisa membawa beban begitu berat? Itu karena kebodohan saya sendiri, karena ingin carrier terlihat besar dan penuh sehingga tampak seperti pendaki pro saat nanti di dalam foto, maka saya menawarkan diri untuk membawa tenda dan air. Hal itu membuat saya menyumpahi diri sendiri sepanjang perjalanan.

Saat itu saya berjanji pada diri sendiri sesampainya di puncak dan (lagi-lagi) berfoto, saya tidak akan pernah mau mendaki gunung lagi, tidak akan, tidak lagi - lagi. Emosi jiwa raga menaungi saya sepanjang perjalanan. Konflik dengan tim tidak bisa dihindari karena saat lelah masing-masing dari kami tidak lagi bisa mengontrol ego.

Apalagi saat harus melintasi alun-alun suryakencana di malam hari, yang dinginnya benar-benar kejam, sampai-sampai saya menemukan butiran es di rumputnya, rasanya semua ujung jari-jari tertusuk sembilu, untuk berjalan sangat sakit, namun tidak lagi mungkin untuk berhenti, control tubuh sudah hilang, kami menggigil hebat.

Tapi benar kata orang “malam-malam paling dingin dan gelap adalah malam-malam menjelang fajar”, semua terbayar saat berada di puncak, melihat matahari keemasan muncul dari balik awan yang putih, mirip telor mata sapi dengan bagian tengahnya masih setengah matang. Hangat memeluk sekujur tubuh. Saat itu, untuk pertama kalinya saya menyadari betapa nyamannya hangat mentari.

Tak berlama-lama saya segera mengambil pose untuk difoto sambil melihat matahari terbit, saya yang pertama saat matahari belum sepenuhnya muncul dari balik awan dan punggung gunung. Sehingga puas dan bahagialah saya.

ini pendakian pertama saya..bagaimana dengan kamu????

The end

(eiitsss.. tunggu sebentar, beberapa hari kemudian saat fotonya dicetak –tahun itu kamera film masi populer, kamera digital masih barang mahal dan gambarnya jelek--- saya mengalami kekecewaan yang lebih besar daripada saat saya mendaki gunung. Seluruh sumpah serapah yang pernah saya tahu keluar semua dari mulut. Fotonya ada, tidak terbakar, tapi karena saya foto terlalu pagi, dan teman saya menggunakan blitz, maka yang tampak adalah saya dengan background hitam. Malah tampak seperti foto di rel kereta api paledang tempat banyak pelacur mangkal. Ditambah dengan saya dalam komposisi death center, benar- benar jauh dari apa yang saya bayangkan saat berpose di puncak. Selama beberapa hari, setiap melihat foto itu, rasanya seperti menghisap empedu)

Mulai saat itu saya berjanji pada diri sendiri, akan naik gunung terus sampai saya bisa mendapatkan foto seperti yang saya mau, dan suatu saat nanti saya akan remedial di gunung gede-pangrango.

Comments

  1. aha! jadi, awalnya daki gunung itu krn narsis yaaaaah....

    ReplyDelete
  2. berarti aku beruntung dong fotoku di sana backgroundnya sunrisenya lmyn keren kl di upload ke... ha..xx n surya kencana bersahabat dgnku aku malah dikasih bonus taburan bintang yang penuh memenuhi langit malamku, bukan butiran es ha..xx unforgetable

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati