merbabu --pelajaran orang tinggi hati---





Dan di tempat itu, saya menyadari , bahwa dari semula saya terlalu tinggi hati…..


Seumur-umur saya kuliah di jogja, saya baru kemarin mendaki gunung merbabu, karena diajak oleh teman-teman dari P.A.T (psychology adventure team). Dan walaupun gunung ini dekat dari jogja, tidak butuh banyak pengorbanan biaya dan tenaga, treknya tidak terlalu sulit, tapi memberi saya pelajaran yang sangat berharga tentang kerendahan hati.

Setelah kami mendaki selama lima jam dari basecamp dan sampai di pos 2 bak pecah (sebutan dari anak-anak PAT) mendekati maghrib. kami mendirikan camp untuk bermalam, dengan rencana nanti sekitar jam dua atau tiga pagi kami akan melakukan summit attack.

Malam itu adalah malam-malam puncak musim kemarau, sesuatu yang sangat tidak saya perhitungkan, saya hanya membawa satu jaket windproof, tanpa baju hangat, tanpa kaos kaki tebal, tanpa kupluk, tanpa sarung tangan hangat, tanpa celana panjang. Dan pakaian yang melekat di tubuh saya (celana pendek kargo, baju tipis, sepatu trekking, kaos kaki tipis dan celana dalam)



Kalian tahu? Malam-malam puncak musim kemarau adalah malam-malam yang paling dingin di dataran tinggi. Angin kering berhembus kencang membuat darah mengental, suhu bisa turun sampai 4 derajat celcius saat malam semakin larut, dan terkadang di sebagian gunung bisa ditemukan butiran es di sela-sela rerumputan, debu-debu juga terasa begitu jahil di malam hari. Kalau kamu tidak terlalu kuat menghadapi dingin jangan mendaki di saat-saat seperti ini.

Lalu kenapa saya bisa begitu bodoh mendaki tanpa persiapan berarti? Karena sejak persiapan di kamar kos saya sudah sangat takabur. Dalam hati saya sudah sesumbar “saya sudah mencapai mahameru yang alamnya ganas, dua kali mencapai rinjani gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia, argopuro salah satu trek terpanjang di indonesia sudah saya lintasi, hampir semua gunung di jawa sudah saya rasakan, berapa macam hujan badai sudah saya tembus, tentu merbabu, gunung yang biasa didaki oleh pemula bukan apa-apa”

Sehingga saya membawa persiapan ala kadarnya seperti mau camping di pantai. Dan itu sekali lagi saudara-saudara!!!!! tindakan paling bodoh yang bisa dilakukan oleh pendaki gunung.

Tapi walaupun kedinginan amat sangat, saya masih bisa menahan, saya masih sombong, saya masih tinggi hati. Saat yang lain tidur duluan untuk persiapan fisik esok pagi, saya malah begadang membakar kentang, mengobrol dengan senior-senior P.A.T yang tidak berniat summit attack esok pagi. dan beberapa jam kemudian, saat yang lain masih tidur pulas, saya sudah bangun untuk menangkap foto momen bulan purnama .

Keesokan paginya, packing terakhir sebelum summit attack, kami berenam, meninggalkan carrier di tenda, dan hanya membawa daypack ke atas. Di dalam daypack teman-teman berisi air yang cukup, snack, slayer dan tentu saja kamera. Semua membawa jaket agar kulitnya tidak terbakar, beberapa membawa masker.


Langit sangat cerah saat itu, awan seperti enggan bercinta dengan langit biru, landscape di seluruh penjuru tampak jelas walaupun hanya dilihat dengan mata telanjang.

“tentu sangat tidak mungkin untuk hujan” pikir saya



Lalu apa yang saya bawa dalam daypack.. oopppsss.. saya malah tidak membawa daypack.. saya hanya membawa tas kamera (yang berisi SLR dan 3 lensa) dan air yang sangat sedikit di dalam botol pocari sweat 500 ml. dan tripod terselempang.
Saat yang lain sarapan pagi, saya malah hanya minum kopi

Saat itu kesombongan saya semakin tinggi kembali kalimat itu muncul di hati saya
“saya sudah mencapai mahameru yang alamnya ganas, dua kali mencapai rinjani gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia, argopuro salah satu trek terpanjang di indonesia sudah saya lintasi, hampir semua gunung di jawa sudah saya rasakan, berapa macam hujan badai sudah saya tembus, tentu merbabu, gunung yang biasa didaki oleh pemula bukan apa-apa”

Tanpa slayer untuk menahan panas di kepala, tanpa masker untuk menahan debu , tanpa jaket dan sun block untuk mencegah kulit terbakar, tanpa air yang cukup untuk pulang pergi (jangankan untuk pulang pergi, untuk naikpun tidak cukup) dengan segala kesombongan saya terus berlari naik.

Okey, beberapa jam kemudian kami semua sampai puncak mendekati tengah hari. Setelah puas berfoto-foto, kami mulai turun. Saya baru menyadari kondisi saya sudah tidak baik.

Langit tanpa awan membuat sinar matahari seperti tumpah dari langit, panasnya benar-benar tanpa ampun. Kepala seperti terpanggang, kulit perih terbakar, keringat terus mengucur deras, mata mulai berkunang-kunang. Dan haus, saya sangat haus, tapi air di botol tinggal tersisa sekali teguk, teman-teman yang lainpun airnya tinggal sedikir, tinggal cukup untuk turun, tidak etis kalau saya meminta punya mereka, karena saya sejak awal hanya membawa sangat sedikit air untuk diri sendiri.
Maka saya putuskan untuk turun duluan, dan terpisah dari rombongan, dengan pertimbangan untuk berlari turun sesegera mungkin ke pos 2. Sebelum semakin kepanasan dan dehidrasi harus sudah menemukan air dan makanan.

Tak berapa lama setelah berlari turun dan meninggalkan jauh tim, saya mulai sadar ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuh saya. Kaki saya gemetar hebat tak terkontrol, dan tentu saja mata semakin berkunang-kunang, perut mulai melilit, nafas menjadi agak sulit. Saya kelelahan dan kelaparan.

Sepanjang jalan saya sering berhalusinasi , beberapa kali saya melihat genangan air yang ternyata fatamorgana di tanah yang terpanggang matahari, berulang kali saya melihat batu-batu besar nampak seperti carrier-carrier besar para pendaki yang terselip air di kedua sisinya, belasan kali saya mengira batu-batu sebesar kepalan tangan di sepanjang jalan seperti kentang bakar yang saya makan di malam hari.
Tidak ada lagi liur yang tersisa, mulut sudah lengket tercekat, terlalu banyak kemasukan debu, karena hidung dan mulut bekerjasama terbuka menghisap oksigen yang tipis.

Halusinasi semakin parah saat menemui persimpangan untuk turun dan untuk naik ke puncak menara, saya tidak melihat jalan turun yang benar, malah saya terus naik, untung saja baru sampai setengah perjalanan, teman saya di belakang (yang tadi tertingal jauh) memanggil dan menunjukan jalan yang benar.



Dari persimpangan tersebut, hanya tinggal beberapa jam lagi sampai ke pos.2 tempat air begitu deras ada, tempat makanan menggunung di dalam tenda.

Saya semakin kepayahan, trek berpasir yang saat saya dalam kondisi fit bisa dilalui dengan berlari, saat itu, untuk menjaga keseimbangan untuk tidak tergelincir saja sangat sulit, berkali-kali saya jatuh tersungkur.

Dan di tempat itu, saya menyadari , bahwa dari semula saya terlalu tinggi hati…..

Comments

  1. aku minta tulisanmu yah om rio...boleh kan?

    ReplyDelete
  2. ck..ck..ck.. lain kali hati2, anak muda.

    ReplyDelete
  3. terima kasih mempollow, aku jg mempollow.

    ReplyDelete
  4. wow...
    nice writing, great experience.

    truly inspiring Rio...
    keep enjoying life, keep writing.

    ReplyDelete
  5. nanjak musim kemarau pas bulan purnama lagi, pasti dinginnya poool. :)

    saat manusia sedang merasa "di atas" memang butuh palu godam untuk membuatnya turun lagi. what an experience bro, what an experience...

    ReplyDelete
  6. Jangan pernah sombong terhadap ALAM lagi kawan :)

    ReplyDelete
  7. ahahha..... namanya gunung tetap aja dingin mas,
    gunung yang gak dingin ya gunung yang sedang meletus :D
    kemarin pas naik juga kehujanan, haduuhh...jadi lebih memilih naik lagi nanti pas musim kemarau aja,,
    edelweisnya kemarin belum mekar semua, tapi tetep indah untuk jadi foreground foto...
    .
    mampir ke blog saya ya mas
    salam celoteh backpacker :D

    ReplyDelete
  8. yo, kapan naik bareng yuk? kita blum pernah trip bareng. *cari temen naik* hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati