Nugal, Solidaritas Dalam Ladang


ladang padi di antara pepohonan mati. sejak dulu lalu masyarakat dayak mengenal ladang berpindah. setelah satu dua kali panen maka ladang tersebut akan ditinggalkan dan mereka kembali membuka ladang dengan cara membakar hutan. saat ini kebiasaan tersebut sudah mulai ditinggalkan.

Salah satu cara yang saya lakukan untuk mengenal dan diterima oleh masyarakat disini adalah ikut dalam aktivitas di dalamnya. Jujurlah jika kamu tidak tahu. Mereka tidak akan segan mengajarimu. Banyak-banyaklah mendengar dan bertanya maka informasi mengalir laksana bengawan solo.

Seperti pagi ini, saya mengikuti kegiatan nugal. Apa itu nugal? Nugal adalah saat menanam kembali bibit di ladang sehabis  didiamkan beberapa lama setelah panen.  Buat yang belum tahu, Masyarakat dayak selain mengumpulkan hasil hutan juga sudah mengenal pertanian. Namun, jangan dibayangkan seperti di jawa yang orang-orangnya bertani di sawah, mereka menanam padi gunung. Padi ini ditanam di tanah biasa, bukan di tanah basah. Selain itu jangka waktu yang dibutuhkan dari tanam sampai panen mencapai 11 bulan.

pembukaan ladang baru sekaligus mengumpulkan kayu untuk perapian.



Ladang yang kami garap kali ini adalah milik mamak Wa. Tetapi yang mengerjakan ladangnya mencapai belasan ibu-ibu. Nanti, saat  ibu-ibu tersebut juga nugal di ladang masing-masing maka mamak Wa juga akan ikut membantu. Budaya gotong royong masih kuat di antara masyarakat desa.

Saya selalu meninggikan perempuan, karena saya percaya perempuan memiliki kemampuan adaptasi, daya juang, afeksi, empati, multi-tasking  dan fleksibilitas  yang jauh melampaui laki-laki. Saya pernah mendengar, pergerakan sosial di Negara-negara dunia ketiga seperti Bangladesh, India, Negara-negara Afrika dan Amerika latin, semuanya dimotori oleh perempuan. Hal itu kembali saya saksikan di ladang. Ibu-ibu perkasa ini sangat terampil menggunakan Mandau. Mulai dari membersihkan ladang, membabat semak belukar, membuat perapian, sampai menebang pohon. 

Ibu-ibu ini selalu saja mampu untuk menghidupkan suasana.  Ada saja  yang diobrolkan mulai dari kisah sedih sampai lelucon dalam kehidupan sehari-hari. Ibu-ibu ini mampu bekerja dan berbicara sama  cepatnya. Bersama mereka waktu terasa cepat berlalu, walaupun terkadang saya tidak mengerti apa yang mereka ucapkan karena penggunaan bahasa dayak dalam pembicaraan. 

dengan berbekal kayu yang diruncingkan ibu ini membuat lubang di area yang akan ditanami padi. dikiukti oleh ibu-ibu lain di belakang yang menaruh bibit di dalam lubang tersebut.

 Tanpa banyak koordinasi, setiap ibu-ibu sudah tahu apa yang harus mereka kerjakan, pembagian tugas sudah berjalan alami, mereka sudah saling mengisi kekosongan satu sama lain di setiap area pekerjaan. Di bawah terik matahari yang tidak ramah mereka membakar semak, membabat hutan, menyiapkan makanan di pondok dan  membuat perapian . 

Seselesai semua kegiatan itu, kegiatan nugal yang sesungguh-sungguhnya baru dilakukan. Salah seorang ibu membawa kayu yang ujungnya telah diruncingkan lalu dia mulai berjalan menyusuri ladang sambil menghujam kayu itu ke tanah. Lubang yang ditinggalkan kayu itu akan menjadi tempat penanaman bibit padi. Ibu-ibu lainnya dengan kantung padi terselempang di pinggang menaruh padi-padi tersebut di dalam lubang. Setiap lubang diisi 5-8 butir bibit padi. Sekilas ibu-ibu tersebut Nampak seperti anak ayam yang membuntuti induknya.

“mak, kenapa tidak menanam padi di sawah saja?. Kita pakai bibit unggul. Hasilnya bisa lebih banyak, panen dalam setahun bisa dua sampai tiga kali”  Ungkap saya pada mamak Wa. 

 “kita tidak boleh mengakali tanah, biar semua berjalan seperti seharusnya, tidak usah panen banyak-banyakpun hasil ladang sudah lebih dari cukup untuk makan sehari-hari”  jawab mamak Wa sambil tersenyum. Saya jadi teringat perkataan Gandhi (kalau tidak salah) “Dunia ini cukup untuk memberi makan semua orang, tapi tidak cukup untuk memenuhi ego satu manusia.”

seraung, topi khas dayak, terbuat dari daun biru, semacam daun nipah, penggunaannya bervariai mulai untuk kegiatan sehari-hari, sampai untuk hiasan rumah.


Saat matahari semakin meninggi maka semua berteduh di pondok yang beratap kelapa sawit. Hari itu mamak Wa membuat daging celeng asap, ternyata  sementara kami sibuk nugal mamak juga sibuk menyiapkan makanan. Selain babi asap, mamak wa menyiapkan sayur pakis, tumis kacang panjang dan sambal tomat. Semuanya diambil langsung dari ladang itu.

Karena tidak ada sumber air di sekitar tempat tersebut saya jadi penasaran dimana mamak Wa mencuci semua sayur-sayurnya. Ternyata di balik semak   rimbun di timur ladang terdapat mata air. “tidak dicuci pun sebenarnya tidak masalah, kita tidak menggunakan pestisida, jadi aman-aman saja langsung dimakan” terang salah satu mamak yang saya lupa namanya.

Di sore kepulangan kami ke rumah, dalam sore yang ramai diiringi orkestra jangkrik dan permainan cahaya kunang-kunang.  saya belajar bahwa alam selalu memberikan yang terbaik untuk kita, tergantung bagaimana kita bisa bersinergi dengannya, tidak merusaknya, tidak memanipulasinya.

lubang, bibit padi dan tangan saya. ketidakterbiasaan kerja tangan membuat kulit saya memerah dan sedikit kapalan.. namun teringkat kata-kata Thomas Aquino "Ora est Labora" (kerja adalah doa)

Comments

  1. NIce post... saya suka cerita traveling yang isinya bukan hanya tempat yang dikunjungi saja akan tetapi tentang kebiasaan orang-orang di tempat itu. I love the anthropological approach you put in your story.

    Bravo

    Cipu

    ReplyDelete
  2. ini nih baru wanita karir sejati wkwkwkwk....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

Cerita Pendek si Anak Tionghoa

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan