Orang Dayak dan Penghargaan Ucapan


Salah satu hal pertama yang ditekankan  Pak Nandar, perwakilan dari CSR, ketika kami datang di muara wahau Kalimantan Timur, adalah jangan sekali-kali menjanjikan sesuatu kepada masyarakat karena mereka akan mengingat dan menagih hal tersebut sampai mereka mati pun. Jangankan menjanjikan,  memberikan pernyataan tentang adanya kemungkinan pun lebih baik dihindari.

 Sebagai contoh, pada suatu waktu salah satu jajaran atas perusahaan pernah menyatakan bahwa KALAU disetujui oleh direksi maka perusahaan akan memberikan suatu fasilitas tertentu  untuk desa tersebut. Untuk kita, hal tersebut adalah conditional sentence yang berarti pemberian fasilitas itu belum tentu terlaksana. Pola pikir tersebut berbeda dengan penerimaan masyarakat dayak wehea di kampung tersebut. Mereka menerima itu sebagai janji yang entah bagaimanapun caranya harus dipenuhi. Hal tersebut sempat menjadi polemik yang berkepanjangan bagi perusahaan dan pada akhirnya kalimat kondisional itu harus dipenuhi walaupun direksi pada awalnya tidak setuju.

Pak Nandar menekankan, walaupun kami berjanji dan menenuhinya  jangan berharap mereka akan berterima kasih dan merasa berhutang budi, “kata terima kasih tidak ada dalam alam bawah sadar mereka, sekali kalian berjanji mereka sudah menganggap itu sebagai haknya” tegas Pak Nandar dengan keras.

Salah satu totem di depan lamin adat masyarakat Dayak Kayan di desa Miau Baru, Keacamatan Kongbeng, Kalimantan Timur.  Lamin adat berfungsi sebagai tempat berembug warga dalam menyelesaikan masalah di dalam desa. selain itu, setiap tahun upacara adat besar dimulai dari sini.

Banyak teman-teman dalam tim  melihat itu sebagai hal yang kurang baik, mau tidak mau persepsi itu akan menempel dalam otak mereka selama 3 bulan menjalani program ini. Akan tetapi mari coba kita lihat fenomena masyarakat ini dalam sisi yang berbeda. Apa di antara kita, orang-orang yang mengaku sebagai manusia modern yang mengikuti perkembangan teknologi dan informasi, yang hidup di dunia serba instan dan tergesa-gesa, janji terkadang hanya menjadi suatu hiasan kata belaka??

Hal ini menjadi perenungan saya sejak awal. Teringat perilaku selama bertahun-tahun di Yogyakarta. Betapa saya sangat mudah untuk tidak tepat waktu. Handphone membuat saya   menjadi lebih percaya diri untuk tidak tepat waktu. Handphone membantu kita untuk sahih membatalkan janji di detik detik akhir.

Selain tidak tepat waktu, handphone melegalkan untuk tidak menepati janji. Seakan-akan semua hal yang mendesak bisa dikabari secepat mungkin sehingga janjipun bisa dibatalkan dengan mudah tanpa khawatir orang tersebut akan kecewa menunggu tanpa kita datang, seperti saya lihat dalam film-film dahulu.

Ada kasus lain yang selalu membekas. Yaitu  penggunaan Insya Allah menjadi hal yang lumrah bagi sebagian orang.  Dilihat dari sisi keimanan mungkin hal ini baik, berarti (kalau saya tidak salah) semua tindakan kita tidak bisa melampaui kehendak Allah. Manusia yang merencanakan tapi Tuhan yang menentukan. Yang menjadi masalah sekarang adalah “Insya Allah” seringkali digunakan sebagai pembenaran saat orang tidak ingin menepati janjinya. Saat mereka tidak menepati janjinya bisa saja mereka bilang Tuhan tidak menghendaki ia untuk melakukan janjinya. Pada akhirnya Tuhan menjadi tameng untuk segala niat keingkar-janjian orang-orang. Bukan lagi berusaha semampu mungkin untuk menepati janji dan menyerahkan hasil akhir pada Tuhan.

Saya merasa hidup di dunia yang penuh kata-kata harapan semu, tinggal di hidup yang dengan mudah melemparkan janji ambigu, menemui fakta bahwa janji seringkali menjadi hiasan ucapan. Dalam dunia politik janji menjadi pencitraan yang seringkali menguap dan sengaja dilupakan saat  berkuasa. Dalam pergaulan kata-kata “gampang lah”, “bisa saja” menjadi pertanda tidak menentukan pilihan tapi tetap memberikan harapan. Percakapan menjadi penuh makna implisit dan sophisticated.

Oleh karena itu, mungkin,keterbiasaan tersebut membuat  kami menganggap perilaku orang dayak tersebut sebagai sesuatu yang kurang baik. Namun, buat saya, kesederhanaan berpikir mereka adalah bukti kearifan lokal mereka untuk lebih menghargai apa yang orang lain katakan dan menjunjung tinggi apa yang mereka ucapkan. Dalam perkataanmu terdapat martabat hidupmu. Dari ketepatan-janjimu orang bisa menilai caramu menghargai orang lain dan menjaga nama baikmu.

Pertanyaannya adalah apa kami mampu untuk membuka diri dan belajar melihat sisi positif dari kearifan lokal itu?

Jawabannya ada dalam diri kami masing-masing.

Comments

  1. gw pernah denger cerita org kantor, ada temennya yang tugas ke sana trus janji sama cewek disana mau menikahi nya. trus dia pulang ga menikahi cewe itu, pas sampe bandara sini "adik" nya itu hilang.. antara lucu dan miris -____-"

    ReplyDelete
  2. saya rindu saat telpon rumah masih menjadi andalan. kata-kata bener-bener dipegang. tapi keknya gak mungkin deh perkembangan teknologi mengalami kemunduran... kecuali terjadi bencana yang menghancurkan kehidupan manusia... hahahah...

    ReplyDelete
  3. just like what people said, teknologi sering menjauhkan yg dekat tapi sebenernya blm tentu benar2 mendekatkan yg jauh .. :p

    ReplyDelete
  4. Inget tuh, sama temen di Jogja yg janji mau jemput di hotel untuk sepedaan bareng. Tapi udah ditunggu lamaaa... ditelpon berkali-kali tetep ga ada kabar beritanya. Ujung-ujungnya dia dateng sambil cengar-cengir, katanya ketiduran. *timpuk weker* :p

    ReplyDelete
  5. Hmm, kalo orang sini kayaknya berusaha banget menuhin janji misalnya buat ketemu, ngga ada istilah jam karet. Pas balik ke Indonesia saya sering terkaget2x karena orang dengan santainya dateng terlambat bahkan ke acara seminar atau pelatihan penting.... susah juga ya...

    Kearifan masyarakat lokal di pedalaman sering membuat saya terhenyak karena keluguan, kepolosan dan cara berpikir mereka yang sederhana sering lebih bijak dibandingkan pola pikir orang yang mengaku 'kota' dan modern. Sayangnya masih banyak orang2x nggak bertanggung-jawab memanipulasi keluguan ini....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati