Stigma Perusak Hutan



Sekitar tahun 80an pemerintah mencanangkan program bagi masyarakat dayak untuk mulai menggunakan sawah basah, mengganti kebiasaan mereka yang awalnya ladang berpindah. Program tersebut dijalankan atas penilaian bahwa kebiasaan masyarakat dayak sangat merusak hutan dan mengancam kehidupan liar di dalamnya.

Namun, program utopis itu tidak berhasil. Kenapa? Karena pemerintah hanya berpikir pendek untuk mengubah kebudayaan suatu masyarakat yang sudah turun temurun mengakar, yang merasuk dalam doa-doa dan tarian, yang mengakar pada kebiasaan dan pergaulan. Butuh beberapa generasi untuk membelokan kebiasaan.

ratusan ribu hektar perkebunan sawit dilihat dari atas gunung Kongbeng, beberapa belas tahun lalu area itu masih mhutan dan ladang penduduk.


Yang akan saya tulis ini bukan menyalahkan pemerintah saat itu, yang tentunya mengambil peran penting dalam stigma tersebut. Tapi fakta yang mungkin bisa sedikit menjelaskan keburaman persepsi yang ada tentang kebiasaan ladang berpindah tersebut, apa benar merusak alam seperti yang digaungkan dulu dan masih terngiang sampai sekarang?

Dahulu kala, setiap keluarga baru pasti memiliki satu ladang, setelah satu-dua kali tanam maka mereka akan meninggalkan ladang tersebut untuk membuka hutan untuk ladang baru. Terus begitu sampai mereka telah mempunyai 7 ladang. Nah setelah 1-2 kali tanam di ladang ke-7 mereka akan kembali ke ladang awal. Ladang pertama, yang awalnya sudah berkurang kesuburannya tentu sudah kembali menjadi subur karena pelapukan tumbuh-tumbuhan dan hujan, maka mereka mulai menanam kembali di situ. Rotasi ini yang membuat mereka tidak pernah kehilangan kesuburan tanah sehingga tidak perlu susah payah mengolah tanah seperti di pulau Jawa. Itulah juga kenapa mereka merasa aneh bila harus menggunakan pupuk.

Jadi cerita tentang perusakan hutan besar-besaran oleh masyarakat dayak dahulu kala hanya menjadi kisah yang tak berdasar. Mereka sangat bergantung pada alam, selain berladang mereka juga masih berburu dan meramu, bila alam rusak maka mereka akan kehilangan sumber hidup, dan mereka sangat menyadari itu. Bila benar aktifitas mereka merusak alam tentu saja pulau Kalimantan sudah hancur sejak beberapa ratus tahun lalu.

Sekarang pertanyaannya adalah, sampai saat ini, masa pemerintahan bapak Susilo Bambang Yudhoyono, kenapa semenjak orang dayak diminta untuk mengurangi ladang berpindah malah alam di sana semakin rusak? Saat ini saya tinggal di Muara wahau yang terkenal hutan belantaranya. Nah, sepanjang perjalanan saya membelah Kalimantan Timur dari Wahau sampai Samarinda sudah tidak ada lagi hutan hujan basah dengan pohon-pohon raksasa seperti apa yang selama ini kita saksikan di televisi.

Pertanyaannya adalah kenapa saat masyarakat dayak diminta untuk bersawah menetap, tapi tanah-tanah adat tanpa sertifikat diberikan pemerintah kepada tambang yang membabat hutan, melukai tanah dan mencemari bumi. Kenapa saat masyarakat dayak percaya pada kata pemerintah, malah hutan dengan pohon-pohon raksasa jatuh pada perusahaan logging. Kenapa di era presiden sekarang yang katanya pro-lingkungan dan aktifis anti global warming malah hutan-hutan dan tanah  adat diberikan kepada perusahaan-perusahaan sawit raksasa yang dalam sekejap mengubah rimbunnya hutan dengan hijau tanaman homogen yang rakus air dan zat hara. Apakah masih ada tanah yang subur tersisa untuk masyarakat dayak?

Memang saat ini perekonomian berkembang lebih pesat, lapangan pekerjaan bertambah, fasilitas pendidikan dan kesehatan tersedia, tekhnologi informasi sudah tersedia, dari parameter kemajuan ekonomi daerah ini bertumbuh pesat.

Yang menjadai pertanyaan adalah, apakah hal tersebut dinikmati oleh seluruh masyarakat dayak yang berabad dimanjakan hutan?

Atau jangan-jangan mereka hanya menjadi penonton di tanahnya sendiri?

Apakah program pertanian menetap itu memang karena pemerintah peduli hutan?

Jawabannya ada dalam diri orang-orang berkuasa di pulau jawa sana.


Comments

  1. salam...
    membacanya jadi ingin menjawab semua pertanyaan yang ada :) - tapi kan jawabnya ada di orang-orang berkuasa, sedangkan saya ? *jadiurungMenjawabnya :))

    thank udah nulis n mengingatkan tentang hutan Negeri kita - GOOD !

    ReplyDelete
  2. gue juga udah pernah lewat beberapa rute yang lu lewatin mas. emang bikin nyesek. sungai hitam. hutan gundul :(((

    ReplyDelete
  3. tfs, baru tau jika begitu arifnya sistem ladang berpindah

    ReplyDelete
  4. Sedih om bacanya, mudah-mudahan yang di penguasa jawa-jawa itu cepet sadar :(

    ReplyDelete
  5. pemerintah kita emang cuek.. :(

    ReplyDelete
  6. dulu juga jaman bob hasan jadi menteri. dia hanya beli HPH / hak guna tanah di sulawesi dan kalimantan, semua hutan disikat tanpa sisa. orang sekitar cuman gigit jari :(

    ReplyDelete
  7. Kearifan lokal disalahkan.. okelah ada yang salah, tapi kenyataanya hal itu digunakan untuk melakukan keburukan yang lebih besar dengan kata "demi kemakmuran".. .. rakyat terpinggirkan diam-diam

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati