Membatik Kayu, bukan kain.




Motor kami bergerak lincah melintasi jalan raya wonosari yang mulus, menanjak dan berkelok. Ini adalah salah satu jalan raya favorit saya, terkadang saya berpikir lebih menyenangkan saat mengendarai motor selama perjalanan di jalur ini dibandingkan dengan sampai di tempat tujuan. Pepohonan masih lebat mengawal sepanjang jalan, jadi walaupun jalanan sudah penuh kendaraaan bermotor tetap saja seakan udara dipenuhi oksigen, paru-paru bisa puas menyesap, dan senyum terkembang ditampar matahari pagi yang berkelit dari balik dedaunan.

Saya dan katarina, mahasiswi cantik berambut pirang asal Estonia yang ikut program darma siswa untuk belajar bahasa selama 1 tahun, melaju cepat untuk menuju desa wisata Bobung, Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul.

Semua dimulai dari satu pembicaraan di suatu sore. Katarina tertarik dengan topeng batik kayu yang banyak dijual di toko-toko barang seni sepanjang jalan malioboro. Namun, niat itu ia urungkan karena harganya yang tidak ramah kantong, alias mahal.

“hahahaha..nanti saya buat saja sendiri” kelakarnya, dengan bahasa Indonesia yang pas-pasan.

“kamu mau mencoba membatik topeng itu?” tanyaku serius.

Dia ternganga tidak percaya.

Dan kami terus menyusuri menuju salah satu sentra pembuatan batik kayu itu.

Berawal dari kesenian rakyat berupa tari topeng, warga desa tersebut mulai mengerjakan kerajinan topeng kayu pada tahun 1955. Seiring dengan perkembangan jaman, sekitar tahun 1980-an warga Desa Wisata Bobung mulai mengerjakan kerajinan topeng batik kayu sebagai pengembangan dari topeng kayu konvensional.

Yang membuat saya tergerak untuk mengajaknya langsung ke sentra pembuatannya adalah agar ia bisa memperoleh harga yang jauh lebih murah dengan pilihan yang lebih beragam. Tapi, dibalik itu semua misi rahasianya adalah mengenalkan langsung pengrajin pada konsumen akhir, terutama wisatawan asing.

Sudah bukan rahasia lagi toko-toko di malioboro memasang harga yang sangat tinggi untuk barang-barang kerajinan, padahal mereka membelinya sangat murah dari para pengrajin. Hal itu yang menyebabkan pemilik toko semakin kaya tapi pengrajin segitu-gitu saja. Malahan harga bila membeli topeng batik kayu di pengrajin bisa lebih murah 70% dari harga yang ditawarkan di toko-toko.
Yang menarik di desa ini adalah selain bisa melihat proses pembuatan topeng batik kayu, juga kita bisa ikut tahu rasanya membatik kayu.


Sebagai informasi, proses awal hingga akhir produksi dari kerajinan topeng batik kayu sepenuhnya dikerjakan oleh manusia. Proses memilih bahan baku, memahat hingga membatik atau mengukirnya adalah hasil keahlian tangan dari perajin Bobung yang kini semakin banyak dicari.


Nah, kalau ada kursus singkat membatik kain sudah jadi hal biasa buat orang yang pernah ke Jogjakarta, tentu membatik kayu jadi pengalaman yang luar biasa. Semoga dengan ini juga Katarina bisa ikut mempromosikan kekayaan budaya Indonesia ini di negaranya, Estonia.

Jangan bayangkan kamu akan diberi seonggok besar kayu, lalu pelatihnya akan menuntunmu untuk belajar memahat kayu itu sampai berupa topeng, tentu saja tidak. Masing-masing peserta diberikan topeng kayu polos, belum diberi apa-apa, dari pola maupun warna.

Langkah kedua, peserta diminta menggambar pola pada permukaan topeng kayu, sesuai selera, tidak harus menuruti patron-patron batik pada umumnya. Katarina begitu antusias “ saya mau menggabungkan pola batik dengan motif khas Negara saya” tukasnya bahagia. Dan ia terus konsentrasi menggambar bagian per bagian. Saya amati, semakin lama gambarnya semakin rumit.

Selanjutnya, peserta mulai memberikan malam pada permukaan topeng, jadi bagian yang tertutup oleh malam akan tidak terkena warna lainnya saat direbus. Katarina bertanya pada saya malam terbuat dari apa. Saya Cuma menggelengkan kepala dan berkata “Tanya saja pelatihnya”.

Segera setelah proses menggambar pola usai, peserta langsung diberi kuas dan cat khusus. Mereka diajak untuk langsung mewarnai topeng itu, warna-warna yang tersedia mirip dengan warna-warna batik modern yang sudah tenar di masyarakat. Sekali lagi Katarina bertanya cat jenis apa yang sedang ia gunakan, dan sekali lagi saja menjawab “Tanya saja pelatihnya”.

Seselesai pewarnaan, instruktur yang lain mulai merebus satu demi satu topeng yang sudah diwarnai ke dalam cairan khusus. Sebelum Katarina lagi-lagi bertanya cairan apa itu, saya sudah lebih dulu menjawab “saya tidak tahu”.

Nah, malam yang sebelumnya sudah ditempel perlahan-lahan meleleh karena direbus, sehingga pola malam yang awalnya tertutup cat, kini muncul lebih jelas, saya kurang bisa begitu bisa menjelaskan proses kimianya. Tapi yang pasti, hasilnya benar-benar di luar terkaan, indah luar biasa.


Selain hal di atas ada hal yang perlu dicontoh dari para pengrajin ini, mereka mengambil bahan baku dari alam, sehingga berkewajiban ikut menjaga dan melestarikan alam, hal tersebut bisa dilihat dari kesepakatan bersama "tebang satu pohon, tanam sepuluh pohon". Wow, andai semua orang punya kesadaran yang sama, pasti bumi kita tidak akan sepanas sekarang.

Jadi, apa kamu juga tertarik untuk mencobanya?



Oia, sebelum lupa, peserta boleh membawa topeng hasil lukisannya sebagai cinderamata, jadi mau mencoba ? silahkan datang ke gunung kidul, Yogyakarta.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati