Lesehan Malioboro Beretika.


#007

Sekitar 5 tahun lalu seorang teman pernah komplain pada saya saat chat di facebook, dia bilang saya telah menipu dirinya dengan bilang biaya hidup di Jogja itu murah. Dia bilang saya telah menyebarkan informasi palsu dengan bilang “Bawa uang lebih sedikit dan liburan lebih lama di Jogja”.

“makan di lesehan Malioboro yang makanannnya biasa saja bisa mahal begitu, bagaimana makan di tempat yang lebih bagus, mending gw kulineran di Bandung, harga dan rasanya jelas” itulah penjelasannya saat saya tanya kenapa dia bisa begitu kecewa.

sumber foto: yogyakarta.panduanwisata.com
Saya jadi teringat pesan beberapa saudara dan juga pesan yang dulu sempat saya temui di beberapa milis. “jangan makan di lesehan malioboro, harganya gak jelas, pasti harganya akan digetok habis”.

Coba kita bayangkan saja begini: Teman saya, satu orang yang kecewa akan menyebarkan kekecewaannya kepada banyak orang. Satu saran di milis menyebarkan informasi kepada beberapa orang anggotanya dan dari setiap orang yang menerima informasi itu akan menyebarkannya kepada kerabat yang lain.

Penjual makanan di Maliboro sudah terkenal dengan penetapan harganya yang sungguh kurang beretika. Mereka akan dengan mudah menetapkan harga tinggi kepada konsumen yang dari penampilannya adalah turis. Saat saya awal-awal tinggal di Jogja juga pernah mencoba makan disana, makan nasi+ayam goreng+sambal+lalapan+es teh bisa seharga enam puluh ribu, sayapun sempat masuk sekelompok orang yang kecewa.

Dulu saya pernah mengamati selama kurun waktu 2007-2008 lesehan Malioboro pernah sangat sepi. Penjual dan pramusaji di setiap lesehan itu akan berdiri di depan tendanya menarik perhatian pejalan untuk mau bersantap di tendanya. Satu tenda yang saya amati berhasil menarik satu keluarga (dari karakteristiknya saya kira mereka berasal dari Papua) dari 47 keluarga yang menolak berkunjung.

Saya kira pengalaman buruk makan di Lesehan Malioboro sudah begitu menyebar di benak pejalan dan calon pejalan di pelosok Indonesia. Setiap satu orang yang kecewa menitipkan pesan kepada setiap kenalan yang berkunjung ke jogja untuk tidak makan di lesehan Malioboro. Wow, media teknologi informasi juga membantu konsumen melawan kesemena-menaan ini.

Sampai pada tahun 2009 saya melihat perubahan yang berarti di lesehan-lesehan malioboro. Mereka mulai memasang daftar harga, walaupun saat itu tetap saja tidak bisa mengubah perilaku pejalan dengan drastis untuk mau berkunjung. Tapi hal tersebut sudah menunjukan perubahan positif pada interaksi penjual-pembeli disana. Tenda yang memiliki daftar harga memiliki lebih banyak pengunjung daripada tenda yang tanpa daftar harga. Bahkan pejalan asing yang tahun 2007-2008 jarang terlihat, mulai banyak makan di lesehan.
sumber foto : yogyakarta.panduanwisata.com
Pada pertengahan tahun 2012, saat saya menyempatkan diri lagi untuk berjalan-jalan di Malioboro, lesehan itu sudah kembali penuh pengunjung. Bahkan di salah satu lesehan yang cukup besar, pengunjung sampai rela mengantri untuk mencoba makanan di tenda tersebut.

Saya juga akhirnya tertarik untuk mencoba, walaupun sudah memakai daftar harga tetap saja harga tersebut cukup mahal bila dibandingkan tempat lain di jogja. Namun, akhirnya saya menyadari bahwa pengunjung bukan ingin harga murah, mereka cuma ingin apa yang mereka akan bayar sudah mereka sepakati dengan dirinya sendiri saat melihat daftar harga , bukan merasa dirampok habis-habisan saat membayar di akhir.

Akhirnya bisnis yang beretika akan membawa dampak positif bagi keuntungan. Walaupun keuntungan jangka pendek tidak besar namun akan membawa keuntungan yang jauh lebih besar dalam jangka panjang. Semoga semua tempat wisata di Indonesia belajar pada kesadaran kolektif lesehan Malioboro untuk lebih beretika dalam menjalankan bisnisnya.

- - - - -

suatu sore, saya kembali jalan-jalan di Malioboro. Melihat ada tulisan es campur enam ribu rupiah."es campur satu ya mas" kemudian saya langsung duduk di mejanya yang lusuh, ternyata cukup enak karena ditambah durian di dalamnya. Saat membayar dia meminta uang sepuluh ribu rupiah karena yang saya makan adalah es campur khusus karena ditambah durian, yang seharga enam ribu rupiah es campur tanpa durian. Saya dongkol karena dia memberikan apa yang saya tidak pesan, namun saya lebih memilih untuk membayar.

Di tengah orang-orang yang belajar untuk berbisnis yang lebih beretika, tetap masih ada segelintir orang yang mencemari reputasi keseluruhan dengan menjalankan bisnis yang kurang beretika. Penjual es campur ini salah satunya. Semoga dia segera diadili oleh seluruh penjual makanan di Malioboro.


Comments

  1. Saya juga merupakan orang yang menyebar kalimat "Jangan pernah makan di Malioboro saat di Yogya!Mahal!" ke teman-teman lain hehe...karena berulang kali dirampok habis-habisan :-(

    Kalau kondisi sudah mendingan barulah mau mampir makan di Malioboro #senyum...

    ReplyDelete
  2. ah, betul sekali mas....lebih baik makan di angkiran..murah meriah tentunya..hehe

    ReplyDelete
  3. belum lagi gangguan pengamen
    mending nyari makanan ke seputaran kampus
    murah meriah beneran...

    ReplyDelete
  4. slama ke jogja ga pernah makan makan lesehanyg di malioboro, mending makan di angkringan dket stasiun ajah... enak dan murahh.. murah sih lebih tepatnya, haha... dan jajan2 di sekitar alun2 di sore hari..
    ahh saya kangen jogja... :'(

    ReplyDelete
  5. yah, saya juga suka kesal kalau pergi kerumah makan yang suka netapin harga sembarangan..

    ReplyDelete
  6. betul bgt, makan di lesehan serasa masuk pura besakih bali, sama2 serasa dirampok.. hwaaaa... #nangis..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati