Merekam Malam

 #013

28 Januari 2013
Malam itu udara begitu panas,hujan yang batal seakan membuat bumi meradang, angin juga tak sesekali tampak untuk meredakan panas, kipas angin yang biasa diandalkan juga kini sudah tamat. Kamar itu panas melebihi biasa.

Di dalamnya, lelaki itu duduk berhadap-hadapan dengan si perempuan, ada kesunyian berdiri di antara mereka, ada hawa dingin yang menyelimuti tubuh lelaki itu sampai-sampai ia tidak lagi bisa merasakan keringat yang mengucur deras membasahi mata, atau jangan-jangan itu adalah benar air mata?

“sudah jam Sembilan,  waktunya pulang” ungkap si perempuan.

Lelaki itu mencoba bangun, menggenapkan seluruh daya untuk berdiri, namun rasa-rasanya gravitasipun tidak mengizinkan ia untuk beranjak pergi. Grativasi membantu hati kecilnya yang tidak pernah rela melepas, walaupun logika dan mulutnya selaras untuk menjadi ikhlas.

Dengan segala upaya ia menguatkan kakinya, terlebih hatinya, untuk membantu si perempuan berkemas barang-barang yang bertebaran di meja dan karpet. Matanya mulai memanas, hati kecilnya berkeras, menolak kenyataan yang sudah jelas, ia sadar sudah hilang waras.

Semua barang sudah terkemas, si perempuan duduk memandang mata si lelaki, mengambil tissue lalu menyeka keringat di dahi si lelaki yang luas. Ia menunda sebentar kepergiannya, mengambil sisir lalu merapikan rambut si lelaki.

“obatnya diminum ya, jangan lupa minum air putih yang banyak, kamarnya sering-sering disapu biar gak banyak debu, jangan lupa sikat gigi” pesan si perempuan sembari merapikan rambut lelaki itu.

Dengan gerakan lugas ia ikat rambut panjang itu ke belakang, “nah, kalau begini kan rapi”. Si perempuan tersenyum, Lelaki itu balas tersenyum. Rambut berantakannya kini sudah tidak lagi tampak cemas.

Mereka berdua kini berdiri, tinggal melangkah keluar kamar untuk berjalan pulang. Tetapi telapak kaki lelaki itu nampak memiliki jutaan  akar halus yang dalam kecepatan cahaya menujam inti bumi saling menjerat satu sama lain sehingga dua kaki kasar itu tidak bisa beranjak kemana-mana.

Lelaki itu terdiam, si perempuan juga terdiam, bulir keringat berseluncur deras dari dahi menuju pipi lalu terjun bebas ke leher, kebisuan lagi-lagi datang di saat yang paling tepat, tidak ada lagi humor yang bisa menutupi rasa pedih si lelaki untuk segera tampak ke permukaan.

Tas Plastik yang awalnya ia genggam erat terlepas, jari-jarinya tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengantar tas itu pulang bersama pemiliknya.

Tanpa kata, ia peluk si perempuan, dengan erat dan lekat. Merasakan rambut panjang nan halus dan wangi. Menangkap aroma tubuh bercampur parfum nan lembut. Menyerap kehangatan  dari elusan tangan kecil si perempuan di punggungnya. Semenit, dua menit, tiga menit, lelaki itu berupaya keras merekam setiap detail dalam pelukan itu, supaya nanti saat rasa rindu menyerang, kenangan itu bisa sedikit meredakan sakitnya.


Nafas lelaki itu kini terasa setengah-setengah, tidak pernah ada cukup udara untuk memenuhi paru-parunya, seperti separuh paru-paru itu sudah terlepas. Seperti diduduki meteor panas, dadanya menjadi berat dan panas, saat itu ia sadar separuh dunianya akan segera terlepas.


“ayo pulang”



entah keberanian dari mana akhirnya kata itu terlontar ke udara, memantul-mantul di langit-langit, tergelincir di lantai dan berguling-guling ke kolong-kolong lemari. Kata itu menggema di hatinya yang mulai terasa kosong.

Di depan pintu, lelaki itu kehilangan kekuatannya. Ia sandarkan beban tubuhnya pada kusen pintu dan satu tangan menekan sisi satunya untuk menghalangi jalan. Walaupun logika dan ucapan sudah bersinergi untuk membungkam hati kecil. tapi  jauh lebih besar dan kuatlah hati kecil di saat memang ia harus bicara.

Tangan itu terasa membatu, menjadi portal kasat mata bagi si perempuan untuk tidak pulang. Menjadi upaya terakhir hati kecil untuk bersuara, yang tidak pernah tersuarakan oleh kata-kata. Dimana kata-kata selalu menyakiti hati kecil karena bicara yang sebaliknya.


Logika datang, menenangkan hati kecil, memberikan penjelasan bahwa upayanya itu sia-sia. Perlahan-lahan gerbang yang menghadang itu luruh, laksana tembok garam yang dikikis air laut. Tangan itupun menjadi seperti sedia kala, lemas dan lelah, membuka portal kasat mata untuk dilewati si perempuan.

Disitulah momen hati kecil, logika dan kata-kata akhirnya bisa berjalan bersama. Senyum terkembang di bibir kecil si lelaki.


Akhirnya mereka berdua melangkah keluar, mengantar menuju tempat si perempuan.
Di sepanjang jalan, lelaki itu tak pernah alfa menggenggam tangan lembut si perempuan, merekam kehangatan dan dekapan jari-jari itu di gerahnya malam dan riuhnya jalan. Mengingat kembali momen-momen yang mereka lewati di jalan yang sudah  dinjak  ribuan kali itu.

“Wherever you go, go as you wish”

bisik lelaki itu halus, yang bahkan tidak akan tersaring gendang telinga si perempuan, di keadaan paling hening sekalipun.

Disitulah juga hati kecil lelaki itu remuk redam. Karena entah setahun, dua tahun, tiga tahun atau waktu yang tidak terukur baru mereka bisa bertemu lagi dan berjalan kaki saling menggenggam tangan seperti hari-hari lalu.


(Merekam kembali pertemuan  terakhir, sebelum kepergian si kekasih dari Jogja, untuk studi di Perancis)

Comments

  1. http://www.youtube.com/watch?v=Wg9Urm2_7xQ

    Finally u found ur 'muse' to write something as touching as this.. Good luck for u both ya .. Smoga ntii bisa liat foto kalian brdua lg d Eiffel :)

    ReplyDelete
  2. bahasanya tingkat tinggi, om...
    satu setengah kali balik malah binun, haha katrok yah..?
    ngerekam malamnya kudu ditemani kupu malam kali...

    ReplyDelete
  3. You can be so lovely when people only see your rebel hair and rebel face :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati