Nenek Mang -Menjadi Cantik itu Luka-

Pada suatu siang yang murung, awan kelabu menggenangi matahari. Saya dan Wigit, partner saya, mengajak Vindy dan Harry,  yang tinggal di desa Wahau untuk berkeliling desa Miau Baru tempat saya tinggal. Beruntunglah mereka karena datang di waktu yang tepat, saat kami sedang nongkrong di warung depan Lamin Adat untuk menenggak es teh manis, nenek Mang juga sedang ngerumpi dengan pemilik warung.


Siapa nenek Mang itu? Nenek Mang adalah salah satu perempuan sepuh yang tersisa di desa Miau Baru yang dulu kala ikut eksodus desa 7 tahun ke tempat ini. Dia masih bisa menceritakan bagaimana beratnya berjalan kaki menembus sungai, gunung, hutan dan cuaca buruk untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di tempat ini. Saat ini diperkirakan ia sudah berumur lebih dari 100 tahun.


Nenek Mang adalah sedikit perempuan dayak Kayan yang  masih menyimpan kuat nilai budaya dalam tubuhnya. Kupingnya panjang dan tubuhnya penuh rajahan tattoo. Walaupun ia tidak bisa berbahasa Indonesia tapi sangat antusias bercerita, untung saja ada ibu penjaga warung yang mau menjadi penerjemah di antara kami.


Ia mulai bercerita tentang kuping panjangnya, dahulu kala, semakin panjang kuping seorang perempuan maka akan semakin cantiklah ia. Oleh karena itu, sedari kecil orang tua di desa tersebut sudah memasang pemberat di kuping anak perempuan mereka. Proses pemberian bebanpun bertahap, karena kalau tidak tentu saja kulit kuping tidak akan siap menahan beban. Nenek mang mengingat, kupingnya sudah dipasangi pemberat sejak berumur 6 tahun.


Waktu berjalan, tren berubah dan banyak orang tidak lagi bangga dengan kekayaan budayanya. Perempuan di desa tersebut yang lebih muda dua atau tiga generasi dari nenek Mang juga mengalami masa-masa dimana  berkuping panjang adalah cantik. Namun, mereka juga mengalami keadaan dimana interaksi dengan dunia luar begitu cepat dan paparan informasinya mengena di benak. Perlahan mereka berturut-turut memotong kuping panjang miliknya untuk menjadi normal seperti perempuan kebanyakan di luar desa. Sekarang, hanya perempuan seumur nenek Mang yang masih memiliki kuping panjang, itupun bisa dihitung dengan jari, seiring waktu semua pasti akan menghilang.


Vindy yang terobsesi untuk merajah seluruh punggungnya, tak sabar bertanya tentang sejarah dan makna dibalik tattoo yangmenghiasi tubuh nenek Mang. Selalu seperti biasa, nenek Mang tidak pernah lelah bercerita, tidak pegal menularkan kebanggannya akan tradisi.



Zaman dulu, seorang perempuan dikatakan cantik bila ia memiliki tattoo. Selain itu, tattoo di bagian tertentu menjadi prasyarat adat sebelum seorang perempuan bisa dipinang oleh lelaki pilihan orang tua. Nenek Mang menunjukan tattoo di sekujur lengannya, juga tattoo di betis dan paha belakang, ia menjelaskan tattoo itu juga melingkar sampai ke pantat dan pinggulnya, namun, tentu saja ia tidak menunjukannya kepada kami.


Nenek Mang menerawang, kemudian lanjut berkisah, dirajah seluruh tubuh secara tradisional sakitnya bukan buatan dan proses panjang menambah penderitaan. Jangan bayangkan nenek Mang dirajah menggunakan mesin tattoo elektrik yang kecepatan dinamonya bisa memperpendek rasa sakit. Nenek Mang dirajah menggunakan jarum dari kayu dan palu, satu demi satu titik dalam hari demi hari.

Ia dirajah oleh salah satu tetua adat yang memang sudah turun-temurun mewarisi keahlian tersebut dari leluhur mereka. Namun, untuk merajah bagian yang kecil-kecil bisa dilakukan oleh keluarga sendiri, yang tentunya minim pengalaman.


Tattoo nenek Mang tidak berwarna-warni seperti punggung Yakuza di film-film Jepang. Tattoonya hanya terdiri dari satu warna, yaitu hitam. Bahan pewarna diambil dari abu kayu  pohon khusus di dalam hutan, ia menyebut nama pohonnya dalam bahasa dayak, tapi saya tidak paham padanan katanya dalam bahasa Indonesia.


Selesai proses merajah bukan akhir dari penderitaan tapi merupakan awal kepedihan yang lebih panjang. Kulit yang dirajah akan membengkak dan bernanah sebelum kulit benar-benar kering dan warna menyatu abadi. Nenek Mang mengingat sekitar 142 hari ia memendam perih dalam menunggu tattoo tersebut menjadi sempurna. Selama itu ia tidak bisa bekerja ke ladang, hanya tinggal di rumah merawat kulitnya. Semua orang mengerti karena itu fase yang harus dialami setiap perempuan bila ingin menikah.


Berbeda dengan perempuan yang harus sakit berbulan-bulan karena sekujur tubuhnya dirajah. Lelaki dayak saat itu hanya perlu dirajah kecil di bagian tangan dan kaki untuk bisa menikah. “saat itu, lelaki tidak bisa dirajah terlalu banyak, karena harus bekerja setiap hari, jadi tidak boleh sakit terlalu lama” menurut penuturan Bapak Ifung Afuy, dalam percakapan di lain kesempatan.




Sore itu, saat matahari semakin condong ke barat dan langit makin membiru, kami sudahi ngerumpi dengan nenek Mang, dalam perjalanan pulang terlintas perilaku teman-teman perempuan saya yang ingin menjadi kurus setipis papan dengan diet ekstra keras, ingin berkulit cerah sehingga mengorbankan kesenangan beraktfitas,mengeluh kram karena penggunaan sepatu hak tinggi dalam aktifitas yang butuh banyak bergerak, memasang behel untuk merapikan gigi yang sebenarnya tidak berantakan  dan ingin berhidung mancung menggunakan alat penjepit yang tidak teruji keampuhanya. Tidak dulu, tidak sekarang, menjadi cantik itu menyakitkan.

Comments

  1. oh rio, kau benar2 mengerti perasaan perempuan.... *terharu

    ReplyDelete
  2. om rio yg caem, didepen rumahku jg msh ada loh orang dayak asli, ia dulu bercerita kalo pernah makan orang dan ternyata kegiatan itu wajib loh..

    ReplyDelete
  3. Wow...
    Sepertinya kalimat terakhir itu betul sekali. Hanya caranya saja yg beda

    ReplyDelete
  4. ini baru beneran cantik itu luka. agak mirip dengan suku mentawai yg juga menggunakan tato sebagai simbol jati diri. cara mentatonya jelas tradisional. sakitnya juga tentu bukan kepalang ya. baca tulisan ini jadi terasa ngilu :D
    eniwei, ini proyek #365 hari menulis itu ya. semangat ya, perjalanan masih panjang ;)

    ReplyDelete
  5. di depen rumah saia jga ada loh om orang dayak asli, dia bahkan bercerita kalo dulu pernah makan manusia dan yg paling cetar membahana ialah trnyata presiden pertama Indonesia sempat beguru ilmu dgn orang tuanya dipedalaman sono..

    BTW, semangat 365 loh om.. :D

    ReplyDelete
  6. Siapa pun yang menciptakan quotes beautiful is painful emang musti dirajam *suara hati*

    ReplyDelete
  7. no pain no beauty
    tp heran ya kok pada mau sakit2an demi dpt cantik, pdhl kecantikan itu dinikmati org lain. Org lain yg liat.. hihihi..

    ReplyDelete
  8. penuturannya keren, kesimpulannya dahsyat.
    nice post, rio!! :)

    ReplyDelete
  9. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  10. Sebenarnya ada pertanyaan menggelitik.. cantik itu sebenarnya untuk siapa sih?? untuk kita sendiri, untuk orang lain, atau untuk laki2 yang mencintai kita???? bukannya setiap perempuan itu cantik ya.. :) apalagi kl kita menerima segala sesuatu apa adanya, itu lebih cantik bukan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati