Gereja Imajiner dan Realita


ibu Sulin memimpin ibadah.
Saat kecil saya sering mendengar lagu dari grup band lawas yang berjudul “Gereja Tua”, ayah saya sering sekali memutarnya. Dalam bayangan saya ketika mendengar lagu itu, gereja tua seperti rumah tua, besar tapi lapuk dan berdebu sehingga tidak dipakai lagi. Namun, seiring saya bertumbuh di pulau Jawa, tidak pernah saya menemui gereja tua dalam bayangan itu. Setelah saya pikir lagi, tidak akan ada gereja yang tak terurus, orang mendirikan gereja baru itu susah, mana mungkin yang sudah ada disia-siakan.

Tetapi gereja tua dalam benak saya itu benar ada, bukan hanya imajinasi masa kecil  yang terpengaruh lagu mendayu-dayu. Pada suatu siang di kala matahari berbahagia tanpa sebab, mamak Wa mengajak kami ikut perkumpulan doa ibu-ibu. “ayo kumpul sama ibu-ibu di gereja lama, kita nyanyi-nyanyi disana, daripada bosan di rumah saja” ajak mamak Wa saat itu. 

wigit memperkenalkan diri
Sebenarnya saya lebih memilih di kamar saja sambil mendengarkan lagu-lagu di album Coldplay yang diputar keras-keras dari laptop. Namun, karena ini ajakan dari tuan rumah jadi tidak enak hati juga menolak. Alasan lainnya, saya suka grogi-grogi gimana gitu kalau ngobrol sama ibu-ibu. Nah, setelah mandi dan aura kegantengan saya semakin bersinar maka saya berangkat ke gereja lama.

Berdiri di depan gereja itu, rasa-rasanya saya tersedot pusaran waktu sehingga kembali di suatu malam saat saya kecil.  Disana saya sedang asyik tidur-tiduran dengan Lassie, anjing puddle di rumah, sambil mendengarkan lagu “Gereja Tua” di Radio Tape yang diputar ayah saya. Saat imajinasi liar saya membayangkan sosok gereja tua yang 15 tahun kemudian ada di depan mata.

Hampir keseluruhan gereja ini berbahan dasar kayu ulin. Mulai dari: lantai, dinding, atap sampai daun pintu dan jendela. Kayu ulin terkenal sangat kuat bahkan melebihi kayu jati. Kayu ini semakin kena air dan panas bukan semakin lapuk malah akan semakin mengilat dan kuat. Jadi walaupun gereja ini mungkin sudah berumur puluhan tahun masih Nampak gagah dan kokoh dari tampilan dan keadaan fisiknya.

suasana di depan saat bubar dari gereja
Saat kami masuk, ibu-ibu sedang mendengarkan khotbah dari pemimpin doa, ibu Sulin namanya. Kehadiran kami benar-benar mencuri perhatian mereka. Mungkin di benak mereka muncul pertanyaan: “siapa dua anak lelaki ini? Yang satu item botak dan yang satu lagi putih keriting” atau “ini turis darimana? Kok datang di perkumpulan ibu-ibu?” Mamak Wa sudah membaca rasa penasaran ibu-ibu itu sehingga saat ritual doa selesai ia memperkenalkan kami dan mempersilahkan kami untuk memperkenalkan diri sendiri.

Ibu-ibu itu menyambut kami dengan hangat, sehabis selesai acara doa kami sempatkan diri untuk memperkenalkan program-program kami. Saat pulang banyak ibu-ibu yang mengajak kami untuk mampir ke rumah mereka. Tentu saja ajakan itu kami tanggapi dengan positif sehingga hari-hari selanjutnya kami isi dengan berkunjung satu demi satu rumah ibu-ibu itu.

ibu-ibu yang tersisa berbagi gosip terbaru
ibu Sulin yang pulang terakhir karena sibuk merapikan teks-teks lagu sempat menceritakan tentang sejarah gereja tua ini. Gereja ini merupakan yang pertama di Miau Baru, dibangun sekitar tahun 70an. Dulu kala ada beberapa misionaris dari Amerika yang datang ke desa tersebut memperkenalkan agama Kristen, saat itu semua warga masih menganut Kaharingan, agama kepercayaan suku Dayak. Keterbatasan bahasa tidak membuat pendeta-pendeta itu putus asa malah menambah semangat mereka untuk mewartakan injil. Sampai sekarang hampir sebagian besar dari masyarakat di Miau Baru menganut agama Kristen.

Gereja ini juga dibangun dengan gotong royong, tidak mempekerjakan tukang bangunan bayaran. Masyarakat bahu membahu untuk mendirikan gereja semegah ini. Ada yang menyumbang kayu ulin simpanan, membantu mempersiapkan makanan dan minuman untuk yang bekerja, semua laki-laki ikut melakukan pekerjaan pertukangan, bahkan ribuan genting gereja yang terbuat dari kulit kayu ulin juga dibuat oleh ibu-ibu di setiap rumah yang mengerjakannya sambil mengasuh anak. Hasilnya, semua orang disana merasa memiliki gereja tersebut.




engsel gerbang gereja

sisi samping gerbang gereja



suasana di dalam gereja yang terbuat dari kayu ulin.

Seiring meningkatnya jumlah penganut Kristen di desa itu maka 10 tahun lalu mereka membuat gereja baru yang lebih besar, dengan cara yang sama, gotong royong. Namun, gereja ini tidak ditinggalkan begitu saja, tapi digunakan untuk kegiatan komunitas-komunitas di desa tersebut. Apa yang dikerjakan bersama dengan kerja keras tidak akan dengan mudah dilupakan, seperti gereja ini.




Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati