Sore Terakhir di Ruang Ganti



Langit makin membiru kelam, perlahan-lahan rintik air hujan menggenangi jalanan, refleksi lampu-lampu kota terlihat di jalan yang muram. Lelaki itu duduk di depan lokernya yang kosong. Ia memandangi tas carrier yang berisi semua hartanya selama tiga tahun, hartanya sederhana, hanya terdapat baju, buku dan sepatu. Ruang ganti tampak lengang, mungkin muram kehilangan seorang yang biasa memenuhinya dengan asap rokok dan wangi alcohol, serta nyanyian parau. Tadi siang ia sudah memutuskan untuk keluar dari tempat itu, bersama lima temannya. Entah kenapa, ia mulai meratapi keputusannya. Padahal selama tinggal di tempat itu, ia merasa tidak bahagia, ia ingin keluar secepat  mungkin, ingin melarikan diri segera.

Carriernya padat berat, tapi bukan itu yang membuat langkahnya lambat. Kenangan-kenangan menjerat lekat, lidahnya tercekat dan pikirannya mampat. Ia memiliki kelekatan dengan tempat itu, di sana ia belajar dari menjadi penjahat sampai malaikat. Di sana ia memiliki sahabat, keluarga yang senasib sepenanggungan. Di sana ia memiliki menu makan favorit yang selalu dicaci maki.

Ia melangkah keluar, melewati pintu kapel yang terbuka setengah. Tanpa ragu ia masuk, dengan memikul carrier yang berat. Kemudian ia bersujud di depan altar, mencium lantainya yang entah ribuan kali ia injak-injak, diam-diam menangis terisak. Sore itu, ia berdoa pada Tuhan di depan altar. “aku pamit dari jalan panggilan-Mu, beri aku kesempatan untuk menjadi manusia biasa, berkati aku, lindungi aku, saat sudah menemukan yang ku cari, maka aku kan kembali”


Suatu sore di Seminari Menengah Stella Maris, enam tahun lalu. Adegan yang belakangan ini muncul lagi dalam mimpi-mimpiku.

Membunuh jenuh dengan nyanyian. Aktifitas yang biasa kami lakukan sore hari, selepas kelas bahasa Latin di ruang ganti.

Comments

  1. cie mantan seminari. gmn rasanya jd manusia biasa?

    ReplyDelete
  2. wajah wajah yang tidak terlihat di foto sudah bisa dipastikan... hehe, deretan bukan perokok...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati