Bukittinggi - Jam Gadang, Anak Kembar Nan Popular



 Pada penghujung abad 19, Seorang bangsawan juga insinyur bernama Vortmann, mencurahkan daya dan karsanya untuk menciptakan dua anak kembar. Tak lama setelah mereka lahir, satu ia kirim ke London dan lainnya ia kirim jauh ke tempat antah berantah yang bernama Bukit Kubangan kabau.

***

Tubuh saya bergidik kedinginan ketika kaki menjejak keluar dari mobil Xenia hitam yang mengangkut kami sejauh 91 km dari Kota Padang. Saya rapatkan jaket, padahal di atas, langit membiru cerah jadi latar awan putih yang asyik bergumul. Pantas saja, penanda menunjukan kota ini berada di ketinggian 941 mdpl. Walaupun cerah, suhu berkisar antara 16-23”C.

Bukit Tinggi sebenarnya tidak menjadi tujuan saya dalam kunjungan ke Pulau Andalas ini. Selepas pendakian dari Gunung Kerinci, sementara masih banyak tersisa waktu, maka saya lanjutkan perjalanan ke sini.

Selepas melintasi taman kota yang dihuni pepohonan rindang sambil menggendong carrier penuh noda tanah, saya tiba di landmark kota ini, menara putih yang berdiri angkuh di tengah taman dengan jam besar di puncaknya, serta beratap khas Minang, Jam Gadang. Sore itu, banyak sekali pelancong berkerumun di sekitar sang menara. Mereka nampak serius mengabadikan citra diri di tempat ini. Saya rehat sejenak di anak tangga sambil menyesap sisa-sisa air di botol.

Tak lama datang beberapa remaja di hadapan saya, “hei mister, would you mind for taking picture with us”. Saya terdiam, hati bertanya, “mereka bicara dengan siapa?”. Saya menengok ke belakang, tidak nampak satupun ada bule. Saya balik bertanya pada mereka, “kamu bicara dengan saya?”. Mereka Nampak kaget, usut punya usut, mereka ternyata berpikir saya datang dari Eropa karena berkulit putih dan berhidung mancung, juga bercelana pendek dan menggendong carrier (apa mereka ngga liat mata gw yg sipit?). Anehnya, walaupun mereka tahu saya bukan bule, mereka tetap memaksa untuk foto bersama. Sialnya, datang teman mereka yang lain juga minta foto bersama. Mungkin, bila berlama di sini, kehadiran saya bisa mengalahkan eksistensi badut-badut lucu di depan menara yang menawarkan jasa foto bersama.

Di bawah pohon yang sebenarnya tidak melindungi tubuh dari terik matahari sore, saya dihampiri seorang lagi  yang mengira saya bule. Dia tersipu malu ketika menyadari saya bukan bule. Dia ternyata anak muda setempat yang sedang belajar Bahasa Inggris, salah satu metode belajarnya adalah praktek langsung dengan orang asing yang mengunjungi Bukit Tinggi, menawarkan jadi guide gratis. Saya puji keberaniannya.

Dari pemuda itu saya tahu, jam ini dikirim langsung dari Rotterdam, Belanda, singgah di  Pelabuhan Teluk Bayur, diantar melalui jalan berkelok di antara lembah sampai Bukit Tinggi. Jam berdaya mekanik manual ini hanya dibuat dua buah di dunia, satu di sini dan satu terpasang di Menara Big Ben, London, Inggris. Tertera nama Vortmann Relinghausen di jam tersebut. Vortmann adalah nama belakang pembuat jam, Benhard Vortmann, sedangkan Recklinghausen adalah nama kota di Jerman tempat jam ini dibuat pada tahun 1892.

“Abang lihat ada sesuatu yang ganjil tidak dari jam tersebut?” tanya pemuda itu. Saya coba amati dengan seksama, tidak ada yang terlihat ganjil. Pemuda itu jadi kecewa melihat ketidak-jelian saya, “coba abang lihat,penunjuk pukul empat di jam itu menggunakan angka romawi yang tidak lazim, bukan menggunakan IV malah IIII”. Saat saya tanya kenapa bisa seperti itu, pemuda tersebut pun tidak memiliki jawabannya.

Hari beranjak sore, saatnya mencari penginapan, saya bertukar nomor telepon dengan pemuda itu dan berjanji akan mencarikan jawaban keganjilan angka Jam gadang di internet saat pulang nanti. Jam gadang adalah penanda bagi setiap pelancong bahwa mereka benar pernah ke Bukit Tinggi. Buat saya, Jam Gadang menjadi penanda bahwa banyak putra daerah memilki tekad belajar yang kuat di tengah segala keterbatasan.

Comments

  1. Baru tahu aku kalo Jam Gadang ini kembarannya Big Ben. Btw, kalo udah tahu kenapa bukan IV tapi IIII kasih tahu ya mas.. Hehehe :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, saya juga baru tahu. Makanya, mereka seperti anak kembar yang terpisah selamanya.

      Delete
    2. kalo ga salah angka IV romawi itu lambang dari dewa apa, karena ada yang ga suka diganti jadi IV, jam-jam yang dibuat se-jaman dengannya juga angka yang sama, pas saya ke Jam Gadang disuruh lihat keganjilan jam itu, aneh memang, tapi pas maen ke rumah temen di Pekanbaru ada jam yang angka 4nya sama dengan jam Gadang, di situ cerita bermula

      Delete
  2. Pas ke sana saya juga diberi tahu tentang keanehan angka IIII itu, tapi sama juga gak tahu artinya. hehehe. mari kita cari tahu mas :)

    ReplyDelete
  3. Pas liat foto di atas emang kayak bule sih,apalagi dengan rensel gede y..hihihi

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati