Bukittinggi – Martabak Kaka, Kesejatian Cita Rasa Empat Generasi
Dari seporsi martabak terkandung cerita tentang pertemuan budaya, keramahan penduduk, juga kesetiaan menjaga cita rasa dari generasi ke generasi.
Langit beranjak gelap, saat saya memasuki lagi Kota Bukittinggi.
Dari Jam Gadang, Langkah menuju jalan menurun yang diapit oleh jajaran
penginapan. Pilihan menyurusi jalan yang
disebut Kampung China ini memang bukan tanpa tujuan. Ditemani perut yang
keroncongan, saya mencari Martabak Kaka, martabak telur paling legendaris di
Bukittinggi.
Tak lama berjalan, setelah melewati rumah makan padang yang
ramai, dan gardu listrik yang dijaga anjing Labrador, saya menemui jalan bercabang tiga. Tak disangka, pada pertigaan inilah Martabak Kaka berada. Warung
sederhana yang dari luar tampak biasa saja, seperti kalah bersinar dibanding
gerobak sate padang dan martabak kubang yang berbaris di halaman depannya.
Namun, ketika saya benar di ambang pintu, diri serasa ditarik pusaran waktu.
Dilengkapi dengan meja dan kursi kayu berwarna coklat kehitaman, serta sepanjang
dinding dihiasi foto-foto hitam putih yang merekam kehidupan Bukittinggi
sebelum masa kemerdekaan. Suasana klasik ini dipercantik lemari kaca kuno yang
memamerkan gelas-gelas kaca di dalamnya. Pencahayaan yang agak redup menambah
apik suasana.
Kami melihat daftar menu, harganya cukup terjangkau,
Martabak dengan isi kambing dibanderol seharga Rp.16000 sedangkan martabak
dengan isi daging ayam lebih murah dua ribu. Untuk tahu bedanya dan untuk
membahagiakan perut yang berduka, maka saya pesan dua-duanya. Warung ini
menawarkan banyak varian minuman, tapi saya memilih teh tarik yang juga banyak
dipesan oleh pengunjung lain.
“Local knows best” itulah yang selalu saya percayai, setelah
sejenak berbincang dengan pengunjung lain yang ternyata penduduk lokal, saya
jadi makin yakin martabak ini memang terfavorit di Bukittinggi. Mereka
menghabiskan waktu senggang untuk minum kopi dan mengudap martabak sambil
mencari teman ngobrol di sini. Konsep yang mirip Kopi Tiam di beberapa daerah
seperti Bangka dan Singkawang. “Waktu kecil ayah sering membawa saya ke sini”
ujar Zoel, pemuda berusia 30 tahun yang lahir di Bukittinggi, “sekarang setiap
saya pulang ke sini, tempat ini pasti saya kunjungi” pungkasnya.
“Martabak yang berdiri sejak tahun 1923 ini tidak pernah
berubah rasanya sampai sekarang” Ujar Pak Lala, pria paruh baya dengan mata
kecil dan rambut gondrong yang mengaku
sering jadi guide wisman. Dari Martabak Kaka, bisa diambil kesimpulan bahwa
kota ini sudah menjadi melting pot budaya suku pendatang dan suku Minang,
sebagai penduduk asli. Warung ini sekarang dikelola oleh generasi ke empat,
leluhur mereka berasal dari daerah India yang sekarang jadi negara Pakistan.
Tak lama, datang dua porsi martabak yang saya pesan.
Disajikan dengan kuah cuka pedas, martabak yang saat datang masih mengepulkan
asap ini benar-benar memikat lidah. Telurnya matang sempurna tapi sayurannya
masih terasa renyah, dagingnya juga beraroma kari. Dalam satu gigitan saja saya
mendapat rasa yang begitu kaya. Rasanya pas, tidak berlebihan, sehingga walau
saya melahap habis dua porsi, tidak terasa neg di mulut. Martabak Kaka juga
mengizinkan kita membawa minuman dari luar, banyak pengunjung yang memesan es
camcau jeruk nipis dari penjual kaki lima di muka warung ini.
Dari Seporsi Martabak Kaka, saya belajar bahwa keterbukaan
terhadap budaya baru bukan menghilangkan budaya lama, malah memperkayanya.
Seperti Martabak Kaka yang memperkaya pilhan Kuliner Bukittinggi yang sejak
lama melegenda.
tulisanmu bikin aku serasa benar-benar ikut dalam perjalanan ke martabak kaka itu. :) ikut menyusuri kampung china, disalak anjing labrador, ngobrol-ngobrol dengan pelanggan warung...
ReplyDeleteKenapa gw jadi baca2in postingan tentang makanan pas lg puasa gini yaaaa? Ngiler pengen martabak huhuhuuu
ReplyDelete