Danau Maninjau – Saujana Air Mengharu Biru


Danau vulkanik yang menghadirkan panorama menakjubkan, rentetan rumah gadang dan beragam aktifitas alam bebas. Jangan terheran kalau sisi puitis dalam hati tiba-tiba hidup kembali.



Berada 36 kilometer dari Bukittinggi, Danau Maninjau sudah menantang kesungguhan setiap orang yang ingin mengencaninya. Selepas kota Bukittinggi, motor yang saya kendarai harus berkali-kali memacu tenaganya keras-keras saat melintasi jalan penuh tikungan dan curam menanjak. Namun, ketegangan itu terbayar sejak di awal perjalanan. Jalanan mulus membawa kami melintasi ngarai-ngarai, sawah menguning, deretan rumah-rumah Gadang, hutan menghijau dan udara yang sejuk.

Selepas jalan yang tak lelah memberi tanjakan, keahlian mengemudi kembali ditantang dengan jalan menurun yang dihiasi 44 kelokan tajam dan curam, biasa disebut Kelok 44. Di satu sisi sangat menyenangkan bisa merasakan sensasi ngebut dengan harus memiringkan motor. Namun, rasa ngeri segera menghantui saat membayangkan laju motor tak terkendali alhasil terjun bebas ke jurang. Juga rasa takut menyelimuti saat di kelokan berpapasan dengan kendaraan berat yang terengah-engah menanjak. Jujur, saya merasakan cukup mabok darat walaupun mengendarai motor. Tidak bisa dibayangkan kondisi di dalam mobil untuk orang yang sering mabuk perjalanan.

Pemandangan cantik danau yang memiliki ketinggian 461,50 meter dan luas 99,5 meter  ini sudah bisa dinikmati dari kelok 44. Banyak pengunjung menepikan kendaraan di ruang sempit sisi jalan hanya untuk sekedar berfoto, bisa juga mampir untuk minum teh panas di warung-warung kecil yang dinamai sesuai lokasi kelokan terdekat. Keindahannya tak heran membuat Soekarno jatuh hati, seperti pantun yang ia torehkan “Jika adik memakan pinang, makanlah dengan sirih hijau. Jika adik datang ke Minang, jangan lupa datang ke Maninjau”.

Selepas kelokan 44, rasa puas, lelah dan lapar berpadu dengan udara yang sejuk. Di pertigaan Jalan Haji Udin Rahmani, berdasarkan rekomendasi seorang ibu di kedai minum, saya mencicipi hidangan yang bahan bakunya berasal dari danau ini. Yaitu teritip atau kerang kecil, disebut pensi, yang dikukus bersama bumbu-bumbu khas. Jangan lewatkan juga Palai Rinuak, sejenis teri yang dimasak pepes.

Memutari danau terluas kesebelas di Indonesia ini, saya serasa sedang menyaksikan secara langsung pemandangan yang biasa ada di lukisan, indah bukan buatan. Di sisi kiri jalan, beberapa lelaki asyik mengurus keramba ikan dan memancing di danau. Di sebaliknya, petani riang membajak sawah menggunakan kerbau juga traktor tangan. Saat melintasi hutan, monyet-monyet tenang bersantai tanpa mengganggu orang yang lalu lalang.

Danau dengan kedalaman 495 meter ini, konon berasal dari letusan gunung yang bernama Sitinjau. Ada cerita yang melekat, tentang kutukan yang diakibatkan Bujang Sembilan dan warga menghukum saudara mereka yang tidak bersalah. Sebelum terjun ke danau, mereka berdoa  supaya gunung ini meletus dan bujang Sembilan menjadi ikan. Terjadilah doa mereka.



Saat menengadah ke langit, saya menyaksikan paralayang sedang gagah mengangkasa di atas danau. Ternyata selain aktifitas bersepeda mengelilingi danau, trekking di bukit Sakura, dan berendam di pemandian air panas dekat Lubuk Basung. Danau ini menjadi tempat latihan paralayang, bahkan sempat digelas kejuaraan Paralayang yang berkelas internasional. 

Pernah mendengar nama Buya Hamka? Sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, ahli filsafat dan aktivis politik ini menghabiskan sebagian masa kecilnya di sini bersama sang nenek. Kita masih bisa mengunjungi rumahnya yang berada di atas bukit dan menghadap langsung ke danau Maninjau. Mungkin kecantikan danau ini menghidupkan sisi puitisnya, sebagai dasar belajar sampai menjadis sastrawan besar.

Danau Maninjau mengundang kita untuk menyelami kecantikannya, untuk sejenak jadi melankolis da puitis.

Comments

  1. wah .. beruntung sekali bisa meliaht langsung danau cantik itu :)

    ReplyDelete
  2. Saya dua kali ke Bukittinggi tapi belom pernah ke Danau Maninjau..... Good post Rio, next time ke Bukittinggi akan diagendakan deh

    ReplyDelete
  3. Jadi kangen nongkrong di kelok 43, menikmati danau sambil makan jagung bakar :)

    ReplyDelete
  4. belom kesampean ke sana pas di pulau sumatra :(

    ReplyDelete
  5. saya yang keturunan minang belum pernah sampai ke Maninjau :(

    ReplyDelete
  6. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  7. Saya lahir hanya sekitar 50 m dari tepi danau itu, ya disrkitar jl. H.udin rahmani itu atau sekitar 400 m dari rumah H.R Rasuna Said. Sekitar umur 4 tahun saya pindah ke kota lain. Waktu melihat dari kelok 44 danau demikian indahnya daya menangis minta balik. Sekarang setengah abad lebih telah berlalu, kerinduan itupun memudar. Apalagi saya bukan di Sumateta lagi.

    ReplyDelete
  8. Saya lahir hanya sekitar 50 m dari tepi danau itu, ya disrkitar jl. H.udin rahmani itu atau sekitar 400 m dari rumah H.R Rasuna Said. Sekitar umur 4 tahun saya pindah ke kota lain. Waktu melihat dari kelok 44 danau demikian indahnya saya menangis minta balik. Sekarang setengah abad lebih telah berlalu, kerinduan itupun memudar. Apalagi saya bukan di Sumateta lagi.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati