Perjalanan Untuk Belajar Memaafkan

Seringkali, perjalanan kita tidak semulus yang diharapkan. Banyak kejadian yang di luar dugaan. Hal tersebut, kecil atau besar, menimbulkan kemarahan yang pada akhirnya mengganggu kenikmatan perjalanan. Tapi apa harus rela kebahagiaan itu diambil orang lain begitu saja?

“True forgiveness is when you can say, "Thank you for that experience.” 
― Oprah Winfrey 
photo by: Dewi Pelita



Banyak kejadian tidak menyenangkan yang mungkin menimpa kita selama perjalanan, bahkan mungkin saat akan memulainya. Teman yang tiba-tiba membatalkan janji, penjual makanan yang mematok harga setinggi langit, pengamen yang meminta uang dengan setengah memaksa, pengelola hotel yang memberi pelayanan buruk, dan lainnya. Paling menyakitkan, saat teman sepanjang perjalanan, berbeda pendapat dan memutuskan untuk berpisah di titik kita tidak ingin merasa sendirian.

Kita mungkin marah, kecewa, dendam, memaki-maki keadaan. Muncul pertanyaan, apa tindakan kita memperbaiki keadaan? Haruskah  kemarahan dan kekecewaaan itu kita bawa sepanjang perjalanan? Apa kita mesti menggendong dendam saat tubuh sudah lelah memikul carrier? Saya rasa, orang yang kita benci tidak akan merasakan rasa sakit yang ditimbulkan oleh kemarahan yang kita pendam. Kemarahan itu tidak menyakiti siapapun kecuali diri kita sendiri. Teringat kutipan dari Mark Twain “Anger is an acid that can do more harm to the vessel in which it is stored than to anything on which it is poured.”

Pada suatu titik, untuk menikmati perjalanan impian kita, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, kita harus mulai memaafkan. Tidak usah berpikir muluk untuk sewelas asih Bunda Theresa yang mencintai pembencinya. Sadar bahwa kemarahan adalah cara kita sendiri menggagalkan perjalanan impian maka memaafkan murni karena kita mencintai diri sendiri, ingat bahwa kita bisa bahagia dengan pilihan. Di tahap hidup terburuknya, Mahatma Ghandi menulis “Nobody can hurt me without my permission.”

Memaafkan membawa kita pada tahap refleksi kenapa hal-hal buruk tersebut menimpa kita. Mungkin kita tidak menjalin komunikasi yang baik dengan teman perjalanan, mungkin kita tidak sempat bertanya harga sebelum memesan makanan, mungkin kita tidak meluangkan waktu untuk melihat review hotel yang kita tinggali, yang terakhir mungkin kita terlalu egois dalam melewati masalah dengan teman seperjalanan. Refleksi membawa kita pada kesadaran diri untuk menjadi lebih baik. Terkadang, memang banyak kegagalan dan kecewaan yang di luar kendali kita, murni bukan kesalahan kita. Memaafkan tetap perlu untuk melepaskan kekecewaan. Namun, seperti ditulis oleh Paulo Coelho “Forgive, but don’t forget, or you will be hurt again”. Memaafkan tapi jangan sampai kita jatuh pada kesalahan yang sama.

Kekecewaan bisa mengakibatkan perjalanan berhenti bila kita tidak belajar memaafkan. Teringat  kejadian yang menimpa kami saat pulang dari mendaki Kerinci kemarin. Travel yang janji akan menjemput tidak datang, padahal waktu kami terbatas untuk mengejar pesawat esok pagi. Kami marah, tapi akhirnya memaafkan dan tidak berlarut-larut dalam kekecewaan. Sekitar jam tiga pagi kami memutuskan long march di jalan menuju Padang, coba minta tolong pada setiap kendaraan yang lewat. Akhirnya, kami mendapat tumpangan dan bisa sampai di bandara tepat waktu. Di rumah, saya berpikir, jika kami tidak segera memaafkan, mungkin kami akan ketinggalan pesawat dan kehilangan banyak uang.

Barangkali kita bisa terinspirasi dari kata Shannon L. Alder “Anger, resentment and jealousy doesn't change the heart of others-- it only changes yours.”




Comments

  1. Bener banget, Rio. Dengan memaafkan kesalahan orang lain, kita juga menambah kualitas diri kita, dan bisa mengukur sejauh mana kedewasaan kita. Nice writing. Love it!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

kenapa saya keluar seminari ?