Pesepeda dengan Helm Full Face


Sore ini, saya mengayuh si onthel dari Kuta ke kos saya di Dalung, yang jaraknya kurang lebih tujuh kilo meter dengan menggunakan helm full face. Sebelum kamu bertanya kebodohan apa lagi itu, berikut saya akan ceritakan kronologinya.

Pada suatu sore dua hari lalu, saya menghilangkan helm seseorang, padahal dia membutuhkan helm tersebut setiap pagi untuk pergi bekerja. Akhirnya, saya pinjamkan helm saya kepadanya sebagai wujud permohonan maaf. Saya ingat, satu buah helm masih tertinggal di rumah teman yang lain.



Sampai sore tadi, ketika saya bersepeda ria untuk melihat matahari tenggelam di pantai Kuta, teman yang saya tinggali helm beritikad baik untuk mengantarkan helm tersebut. Karena ia berangkat dari Denpasar, tentu lebih dekat ke Kuta dari pada ke Dalung. Maka saya tentukan meeting point di pantai Kuta.

Permasalahan dimulai, tidak mudah membawa helm besar sambil bersepeda. Berulang kali helm tersebut membentur frame, terutama saat membelok,  yang mengakibatkan catnya terkelupas. Apalagi diperparah kondisi jalan yang basah dan gelap. Saya tidak cukup punya keberanian untuk mengendalikan stang dengan satu tangan. Pikir-pikir lagi, kenapa saya tidak pakai saja itu helm. Namun, keraguan muncul, betapa tampak bodohnya saya nanti, naik sepeda onthel hitam di sore menjelang malam sambil menggunakan helm full face besar.

Setelah saya pikir-pikir lagi, tidak ada yang mengenal saya di sini. Untuk apa saya malu, lagi pula memakai helm juga meminimalkan resiko bila terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan di jalan. Sepanjang jalan, saya sadar, banyak orang yang memperhatikan saya. Pengendara motor yang mendahului juga melihat dengan tatapan heran. Anjing-anjing di pinggir jalan sampai selalu menggonggong ketika saya lewat.  Sampai ketika saya berhenti untuk membeli gorengan, penjualnya sempat freezing sepersekian detik ketika melihat saya. Saya tidak ambil pusing, mereka tidak mengenal saya, atau mungkin keboohan ini akan membuat mereka mengenal saya.

Setiba di rumah saya berpikir, kita bukannya tidak berani melakukan hal-hal baru. Kita cuma takut dianggap aneh oleh orang-orang di sekitar kita. Kita takut ditolak bila berbeda. Saat kita tidak peduli dengan apa kata orang terdekat, kita berani untuk membuat kegilaan.

Comments

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

kenapa saya keluar seminari ?