LDR Does Work




“i don’t believe LDR can work” itu ungkapan pertama ketika mendengar kisah Eillen. Dia tersenyum, sudah setahun lebih ini dia berhubungan dengan seorang lelaki berkebangsaan Inggris yang tinggal di Australia. “so, you come to Bali just to meet him?” tanya saya tak percaya.

Sebentar, sebentar, siapa itu Eillen?

Di malam yang berlangit kurang pekat, Yogi mengirim pesan via whatsapp, menanyakan apa saya sanggup menjemput temannya di bandara. Tak ada kegiatan berarti di sini membuat saya dengan cepat menyanggupinya. Dia mengirim profil facebook dan kontak WA temannya tersebut. Dari situ saya tahu,  namanya, Eillen Calixto, seorang perempuan filipina.

Saya tergesa-gesa berlari dari parkiran motor menuju bandara internasional Ngurah Rai Bali. Sambil sesekali melongok penunjuk waktu di hape pintar, saya sudah terlambat 40 menit. Tak lama, saya bertemu perempuan itu sedang asyik menikmati americano di waralaba warung kopi. Setelah perkenalan, dia menanyakan umur saya, “you are so young” ketika ia tahu saya baru berusia 24 tahun. Saya sempat terheran dengan statementnya itu, “you are young too, you are only 26 years old”. Ternyata saya sempat salah dengar, dia berusia 36 tahun, bukan 26 tahun.

Eillen ingin menemui kekasihnya di Bali, yang hanya pernah ia temui di skype. Setiap malam ia “bercinta” via layar datar tablet dengan pria itu. Sepupunya yang pernah berkelana di Australia memperkenalkan lelaki itu padanya, pria berkebangsaan Inggris yang bekerja sebagai teknisi di perusahaan swasta Australia. “Why you choose Bali?” ungkap saya. Ternyata nasib orang Philipina sama seperti orang Indonesia, menurut penjelasan Eillen, mereka sulit mendapat visa ke negara maju. Berulang kali ia apply visa ke kedubes  Australia dan Inggris namun selalu gagal. Akhirnya, Bali sebagai titik tengah antara Filipina dan Australia mereka piih jadi saksi pertemuan fisik perdana.

Beberapa saat sebelum ia memberitahu kisah LDR dan kekasihnya, Eillen menunjukan foto seorang bocah lelaki lucu dari layar tabletnya, namanya Michael, anak lelaki semata wayang Eillen. Pada awalnya, saya kira lelaki inggris yang ingin ia temui ini adalah ayah dari anaknya. “i am single mother, and i proud of it” ungkapnya dengan secercah senyum. Dia berkisah, pada suatu masa, di saat dia muda, dia sempat “jatuh cinta” pada sahabat baiknya, yang berujung munculnya kehidupan baru. Namun, ia sadar, ia tidak bisa hidup dengan lelaki itu, mereka sangat sadar pilihan dan visi hidup mereka berdua sangat berbeda. “My son has three father, my father, my best friend and my boy friend, and he is happy” terang Eillen. Dia mau bekerja keras, mengumpulkan banyak uang, mengejar mimpi dan membesarkan anaknya.

Sekitar jam empat sore, ketika kami hendak pergi ke pantai Kuta, awan tiba-tiba lelah menggenggam air, hujan turun seketika. Sambil menunggu hujan reda,  kami duduk di teras depan kamarnya. Selama mengobrol, ia sangat penasaran dengan pura dan persembahan yang banyak kami temui sepanjang jalan. Matanya selalu berbinar antusias ketika mendengar penjelasan saya tentang budaya Bali. Saya beranikan diri bertanya “so, what do you do in life?” (saya saat itu menerjemahkan mentah-mentah qu’est-ce que tu fait dans la vie?”, English saya semakin payah). Eillen awalnya sekolah kedokteran, selama beberapa tahun ia bekerja di rumah sakit, namun penghasilan dari dunia kesehatan tidak cukup besar untuk menjalankan gaya hidupnya. Sampai sang ibu meminta Eillen untuk meneruskan usaha keluarga, di bidang penyalur tenaga kerja. Dari situ ia belajar cepat, tidak sampai tiga tahun ia sudah bisa mengembangkan kantornya di beberapa daerah.

Eillen tidak bisa lepas dari tabletnya, dia selalu haus sumber wi-fi, karena dari sana ia mengatur bisnisnya. Sehingga seringkali ia memotong pembicaraan untuk memeriksa e-mail dan pesan singkat. Sampai ia menerima pesan dari sepupunya yang pernah tinggal lama di Bali. Ia menunjukan sebuah, di situ sepupunya mendeskripsikan setiap makanan yang harus dicoba di Bali tanpa menyebut nama makanan tersebut. “ahh, i know, she describes pisang goreng, keripik pisang, nasi campur bali and es daluman, you wanna get it now?” ajak saya bersemangat. Sore itu, kami mengunjungi beberapa restoran hanya untuk mencoba semua makanan itu.

“where is Renzi?” tanya Eillen. “I don’t know, i often hear his name, i sleep in his room, but i never meet him”. Siapa Renzi, sampai saat itu saya tidak tahu dia siapa. Yang saya tahu hanyalah ada satu kamar dengan fasilitas lengkap mendekati home thetre di rumah kontrak markas BPI Regional Bali. Semua penghuni kontrakan, juga setiap tamu yang datang bebas keluar masuk kamar itu, bahkan untuk bermalam, pemiliknya bernama Renzi. Nah, sepupu Eillen ditemani Renzi ketika tinggal lama di Bali, Eillen dikenalkan ke pada Renzi oleh sepupunya, Renzi adalah sahabat Yogi, Yogi adalah seorang yang dengan penuh percaya meminjamkan motornya selama dua minggu pergi ke luar Bali pada saya, orang yang baru semalam ia temui di angkringan di jalan Marbor. Yogi mengenalkan saya pada Renzi via WA. Melalui Yogi, Renzi mengenalkan saya pada Eillen. Eillen sempat tidak percaya kenapa saya mau repot-repot menjemputnya dan bagaimana dia harus membalasnya, saya hanya jawab “Someday, if you meet someone who needs your help, help them, don’t let this stop in you”.

Beberapa hari kemudian, kami bertemu lagi di Hotel Pelataran Ubud, Eillen memperkenalkan saya pada si kekasih yang ketika mendengar cerita Eillen jadi penasaran siapa saya, Rob namanya. Tak terasa, dari jam lima sore sampai jam delapan masing-masing dari kami sudah menghabiskan lima botol besar bir bintang. Saya yang sudah lama tidak minum mulai setengah mabuk. Dari hotel kami makan malam di restoran Italia di dekat Monkey Forest. Dua hal yang menyatukan kami, musik dan alkohol. Sepanjang malam di Ubud kami habiskan dengan mengobrol, menggoda Eillen dan berteriak melantunkan lagu-lagu dari Oasis, Radiohead, the Beatles, G&R, dan band-band 90an lainnya.



Kenapa saya suka bertemu orang baru? Karena berarti saya akan bertemu pengalaman baru, pemikiran baru, wawasan baru. Yang paling penting, dengan membantu seorang asing, saya berterima kasih pada orang-orang asing yang pernah membantu saya dulu, dan biarkan orang yang saya bantu juga bisa membantu orang-orang asing lainnya. Biarkan kebaikan terus berputar di kehidupan ini. Semoga perbuatan kecil bisa membuat dunia yang lebih baik.

Comments

  1. Eillen kedengarannya sangat menarik. Bolehkah saya minta link untuk menuju homepage-nya?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati