The Holly Gunung Agung
Mendaki Gunung Agung sudah menjadi wish list semenjak awal
saya mulai mendaki gunung. Namun, karena pergi ke Bali tidak pernah jadi
prioritas dan konon untuk mencapai tanahnya wajib memakai guide yang biayanya
tidak cocok dengan kantong pelajar maka baru sembilan tahun kemudian saya bisa
berdiri di atas gunung suci itu.
30 Desember sore, saya mengirim pesan ke Rara, apa ia ingin
berkunjung ke kontrakan BPI Regional Bali, karena saya ingin mengembalikan motor yang selama dua
minggu saya pinjam, sehingga untuk pulang kembali ke kos saya bisa menumpang
motornya. Tanpa diduga, balasannya
adalah mengajak saya ikut pendakian ke Gunung Agung, berangkat satu jam dari
saat itu, jam enam sore. Tanpa ragu saya iyakan ajakannya. Segera saya
berkemas, membawa peralatan pendakian secukupnya dan tentu uang yang cukup
banyak, untuk antisipasi mesti membayar guide.
Di kontrakan, sudah menunggu rombongan dari BPI Surabaya, di
sana juga saya bertemu Mas Ilham dari @JuliwaOutdoors yang biasa saya temui di
twitter. Entah karena terlalu banyak personel atau karena keakraban mulai
tercipta, kami malah keasyikan ngobrol . Akhirnya dengan segala persiapan kami
baru mulai berangkat menuju base camp di Pura Besakih sekitar jam sepuluh
malam.
Setibanya di area pura Besakih, tidak ada siapa-siapa di
sana, di jam satu malam dan dingin yang menggigit, tidak ada orang berpikir
akan ada rombongan yang mulai mendaki. Otomatis kami tidak melewati pos
penjagaan dan tidak perlu menyewa guide, bukan karena ingin melanggar
peraturan, tapi memang guidenya tidak ada.
Mendaki gunung dengan ketinggian 3142 mdpl ini mulai menjadi
aktifitas yang berat untuk fisik saya, selama dua tahun terakhir di Jogja
aktifitas saya hanya tidur, nongkrong dan makan. Jarang sekali saya melakukan olah raga seperti
lari pagi atau main futsal, paling hanya bersepeda santai keliling kota. Oleh
karena itu, selama pendakian, nafas cepat habis dan badan terasa berat, padahal
beban yang saya bawa tidak seberat pendakian biasanya.
Belum sampai dua jam mendaki gunung yang terakhir meletus
pada tahun 1964 ini, Uwik, sudah mulai tidak enak badan, berulang kali dia
muntah-muntah. Sepertinya saat di bawah, ia sudah tidak fit. Hal itu ditambah
ketika mulai mendaki, ia menggunakan jaket yang terlalu tebal sehingga baju
dalamnya basah kuyup oleh keringat. Ketika mulai tak nyaman, ia langsung
membuka jaketnya dan membiarkan baju yang basah terpapar hawa dingin yang
menusuk. Hal tersebut membuat kondisi fisiknya makin menurun. Namun, egois
adalah musuh besar tim pendaki, kami menunggunya, menyemangatinya untuk terus
berjalan, kami tidak akan meninggalkannya di belakang hanya untuk mengejar
puncak dan matahari terbit. Uwi cukup tidak enak hati, di pos terdekat, ia
memilih berhenti dan mendirikan tenda di sana. Saat semua tenda sudah siap dan
ia bisa beristirahat dengan layak dan hangat, maka kami lanjutkan pendakian
tanpa dirinya.
Manajemen waktu pendakian kali ini kacau, baru kali ini saya
mendaki mulai jam satu pagi. Rara, sebagai team leader, berasumsi pendakian
menuju puncak hanya memakan waktu 8-9 jam. Kami menargetkan akan finish di
puncak sekitar jam 11 siang, dengan toleransi keterlambatan dua jam. Satu yang
kami lupakan, tubuh juga punya batas, setelah seharian kami beraktifitas tanpa
tidur harus dilanjut mendaki semalam suntuk sampai tengah hari, belum dihitung
untuk langsung turun lagi, kondisi fisik manusia mana yang tidak drop.
Sekitar jam empat pagi, kami semua sudah menyerah melawan rasa kantuk, saya sudah tidak bisa membedakan ini mengantuk apa hipothermia. Mata sudah sangat berat, semua juga mengalaminya. Di suatu cerukan yang terlindung dari angin, kami semua beristirahat, duduk-duduk saja, namun, satu per satu jatuh tidur. Saya awalnya tidak ingin tidur, karena saya takut saat tidur suhu menurun drastis sehingga bisa hipothermia dan mati saat tidur. Namun, kurang tidur dan kelelahan membuat mata menyerah dan ikut terpejam.
Rintik hujan membangunkan kami, langit sudah terang, jam
menunjukan pukul enam pagi. Tanpa banyak bicara, satu per satu saling bangun
dan membangunkan. Kami mulai lagi mendaki dalam diam. Setengah mengantuk tapi
tahu harus tetap bergerak supaya tubuh hangat. Percakapan sudah tiada, yang ada
hanya setiap orang konsentrasi untuk menyusun lagi mental yang roboh.
Hari semakin siang, kami mulai merasa puncak semakin jauh.
Grup sudah terbagi tiga, mereka yang kuat dan terobsesi untuk sampai puncak
sudah melaju di depan. Yang berjalan pelan tapi pasti di tengah, dan kami
–saya, Yunan & Rara—yang melangkah pelan dan tak pasti di paling belakang.
Air juga semakin habis, kami harus mulai menghemat setiap tetesnya untuk bekal
pulang. Walaupun kami kelelahan, tidak
ada sumpah serapah atau kata-kata kotor yang keluar karena respek terhadap kesucian gunung ini. Masyarakat Hindu Bali percaya bahwa Gunung Agung adalah tempat dewa-dewa, dan juga masyarakat mempercayai
bahwa digunung ini terdapat istana dewata. Oleh karena itu, masyarakat bali
menjadikan tempat ini sebagai tempat kramat yang disucikan.
Matahari sudah tepat di atas kepala, saya baru sampai base
camp terakhir, grup tengah baru saja selesai menyantap perbekalan terakhir,
yaitu nasi bungkus yang semalam dibeli di Denpasar. Saya mulai patah semangat,
tanpa menyantap makan siang, saya coba melaju terus menyusuri batuan terjal di
punggungan terbuka untuk menuju puncak pertama, puncak semu. Dari kejauhan,
sudah terdengar sorak gembira mereka yang mencapai titik tertinggi gunung ini.
Hal itu memberi dua tanda, pertama adalah puncak tidak jauh lagi, kedua adalah
saya sudah sangat terlambat. Dari titik itupun kita sudha dapat melihat puncak Gunung Rinjani yang berada di pulau Lombok di sebelah timur, meskipun kedua gunung tertutup awan karena kedua puncak gunung tersebut berada di atas awan, kepulauan Nusa Penida di sebelah selatan beserta pantai-pantainya, termasuk pantai Sanur serta gunung dan danau Batur di sebelah barat laut
Grup di belakang, memutuskan untuk tetap bertahan di pos
terakhir, mereka memilih pulang dengan selamat tanpa memaksakan diri ke puncak.
Grup di depan, yang sudah sampai puncak sudah berjalan turun denga rasa
gembira. Saya tetap ingin menuju puncak, tapi tidak boleh egois, karena kalau
saya egois berarti akan memaksa seluruh tim menunggu saya di pos terakhir. Saya
hentikan pendakian tepat beberapa puluh meter dari puncak semu.
Kemenangan terutama dalam pendakian adalah bukan mencapai
puncak, tapi mengalahkan diri sendiri dan bisa membunuh ego pribadi. Saya berjalan turun dalam senyum.
keren....
ReplyDeletepengen deh jadinya...
Ada contact person orang sana? bulan 5 pengen jg ke Gn. Agung. Trims.
ReplyDeletewahh, udah naik juga lu critanya..
ReplyDeletesipsip..