Amed The Easternmost of Bali




Ada apa dengan Rara? Itu yang muncul di otak ketika saya mulai meninggalkan Denpasar dan menuju Bali Timur. Dua kali perjalanan dengannya selalu melenceng jauh dalam manajemen waktu. Mungkin bukan salahnya, mungkin kesalahan ada pada orang-orang yang mau ikut perjalanan dengannya, yang terlalu lunak pada ketepatan waktu. Saya tidak tahu. Perjalanan ini dimulai pukul 20.00 WITA, melenceng enam jam dari rencana.


Setelah melintasi jalan yang benar-benar tanpa hambatan  (kecuali lampu merah) selama kurang lebih tiga jam, kami akhirnya tiba di Amed sekitar pukul 23.00 WITA. Di sepanjang jalan kami menyaksikan Umat Hindu merayakan upacara pemujaan terhadap Dewa Chandra yang selalu dilaksanakan saat bulan purnama. Ketika mulai keluar dari jalur utama, siluet-siluet bukit raksasa menjadi pemandangan utama ketika motor kami melintas di jalan mulus yang meliuk-liuk. 


“Mati kita, Bli Komang ngga ada” maki Asong. Rencana kami adalah menginap di Bali Beer & Grill milik Bli Komang. Kami tidak membawa tenda dan hanya menyertakan kantong tidur dalam perjalanan ini. Miskomunikasi memang terjadi di antara kami dengan Bli Komang hari itu. Muncul ide untuk memanjat gerbang dan tidur di halamannya. Westi yang jika dilihat siluetnya mirip Angelina Jolie (herself-proclamation), menolak ide tersebut. “walaupun Bli Komang teman dekat kita dan tidak akan marah, tapi tidak etis masuk paksa ke rumahnya” terangnya. 


Mencari penginapan murah adalah alternatif terakhir selain tidur beratap langit di tepi pantai, setelah tanya sana-sini kami menemukan satu tempat yang  terpencil tapi cukup menarik perhatian, Star East Villa. “Murah tapi tidak murahan” begitu tertulis di banner yang terpasang di halaman depannya. Setelah mengobrol dengan penjaga villa, kami cukup tertohok mendengar tarif semalamnya. Dengan harga Rp. 250.000,00, kami sudah bisa mendapat bungalow dengan fasilitas TV kabel, air panas, wi-fi, twin bed serta boleh diisi empat orang. Harganya tidak mahal bila dibandingkan fasilitasnya. Namun, karena uang kami pas-pasan dan masuk hampir tengah malam, kami meminta keringanan harga pada sang penjaga villa. Untung saja dia berbelas kasihan.



Seharusnya kami segera tidur karena esok harus bangun pagi untuk berkeliling Amed, tapi di udara malam yang dingin, obrolan hangat terasa menggoda. Sampai dini hari kami tidak tidur, malah berdiskusi ngalor ngidul. Topik lari ke sana ke mari, dari membahas agama, politik, sejarah, etika, negara tapi entah kenapa tidak ada yang membahas jodoh dan cinta padahal semunya jomblo. Alhasil, keesokan paginya kami bangun terlambat.


Selain untuk main-main, Rara dan Westi punya misi khusus datang ke Amed. Mereka ingin survey penginapan untuk serombongan teman-teman mereka yang akan datang ke Bali. Hotel di Amed kebanyakan menawarkan harga yang terjangkau dengan fasilitas yang lengkap. Sayang, seperti banyak tempat di Bali, beberapa hotel kurang ramah dan memandang rendah terhadap wisatawan lokal.


“Saya ada di rumah, kenapa kalian tidak masuk dan mengetok pintu saja, kalau tidak langsung saja buka sleeping bag di hut sana” terang Bli Komang ketika pukul 11.00 WITA kami datang ke restorannya. Serentak kami memandang Westi dengan tatapan penuh makna. Semenjak istrinya  hamil besar, Bli Komang selalu mematikan hapenya selepas pukul sembilan malam, itu kenapa ketika kami menghubungi dua nomornya tidak ada jawaban. Merasa tidak enak, maka Bli Komang langsung meminta istrinya untuk menyiapkan makanan. Tak lama berselang  ayam fillet, ikan tongkol balado, plecing dan sambal dadap sudah terhidang dan kami menyantapnya dengan lahap. “Hidup dengan makanan yang enak dan teman yang menyenangkan adalah hidup yang layak diperjuangkan” Kata Bli Komang sambil tertawa.



“ayo kita main air” ajak Bli Komang, bergegas kami langsung naik ke bak mobil Chevrolet tua miliknya. Duduk di sana terombang-ambing ketika mobil melaju kencang di jalanan yang turun naik. Selat lombok terhampar membiru sepanjang mata memandang ketika kami menyisiri jalan di tepian bukit. Pejalan-pejalan yang sudah berumur seringkali kami temui tengah bersepeda atau berjalan kaki. “Amed adalah tempat untuk mencari ketenangan, jangan cari hiruk-pikuk di sini, itu jatahnya pantai Kuta” kata Bli Komang pada waktu kami tiba di Blue moon villas & Komang John Cafe yang merupakan milik kakaknya.

Hanya beberapa belas meter dari villa, ada jalan menurun ditandai gerbang kayu, itu jalan yang membawa kami menuju Blue Moon Beach. “Saya tidak pernah membeda-bedakan turis lokal dan turis asing” ungkap Bli Komang geram ketika mendengar kami mendapat perlakuan yang kurang baik dari penjaga hotel yang kami kunjungi. Dia menjelaskan, pengunjung yang datang ke Amed itu sudah mencapai 50-50 perbandingan antara wisatawan lokal dan wisatawan asing. Bahkan, seringkali wisatawan lokal lebih royal dan mendatangkan keuntungan dari pada wisatawan asing. Sayang post-colonial syndrome masih merasuki pikiran banyak masyarakat kita.


Di tepi pantai yang landai, anak dan keponakan bli Komang asyik bermain air. “senang jadi anak kecil, mereka bisa berbahagia dengan hal yang teramat sederhana” terang Asong. Kami semua diam tak menjawab, setuju dalam hati masing-masing.





Saya agak malas mendeskripsikan suasana alam karena biasanya jadi sok puitis dan berlebihan, berikut saya tampilkan saja foto-foto Blue Moon Beach.











Sinar matahari mulai meredup, mata mulai berat, pertanda kopi sudah mesti disuntikan ke dalam tubuh. Bli Komang mengajak kami kembali ke Blue moon villas & Komang John Cafe. Dari satu sisi hutnya kami menikmati lautan lepas ditemani kopi bali. Setiap melihat jam, kami sedih karena waktu untuk pulang semakin dekat dan tambah dekat. Berikut foto-foto kafe seru ini






 Pukul 20.00 WITA ketika kami sudah harus beranjak pergi setuntas menyantap nasi goreng sea food di Bali Beer & Grill, Bli Komang menyemangati “Berkumpul dengan teman memang menyenangkan, tapi periuk nasi harus tetap diisi, esok waktu masih bisa selalu ke sini lagi”. Kami tersenyum, semangat menyeruak untuk menyambut senin pagi.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati