Wedangan Solo Buk Sri



Wedangan Solo Buk Sri di Denpasar adalah warung tenda yang menyajikan menu spesial nasi liwet dan menghadirkan atmosfer dan cita rasa angkingan Jogja & Solo yang sesejati-sejatinya. Mengobati hati lulusan-lulusan Jogjakarta di Bali yang homesick dengan kehangatan nongkrong di angkringan semasa kuliah. Ternyata tidak hanya musik yang mampu menyimpankan kenangan, makanan juga mampu.




Ketika masih mahasiswa di Jogja, saya pernah melontarkan pernyataan ketika nongkrong di angkringan bersama teman-teman, “buatku, bahagia itu sederhana, asal ada tahu bacem dan teh panas setiap malam, itu cukup”. Beberapa tahun kemudian, ketika saya akhirnya meninggalkan Jogja dan melemparkan hidup ke Bali, maka saya menemukan bahwa tahu bacem dan teh panas adalah benar kebahagiaan. Saya merindukannya setiap malam.


Di Bali, tempat nongkrong yang mengaku angkringan sudah mulai menjamur. Di Denpasar saja saya sudah menemui tiga buah. Namun, mereka hanya meniru gerobak dan tiga ceretnya saja, secara cita rasa makanan jauh berbeda dengan angkringan di Jogja atau Solo. Di tempat-tempat itu berulang kali saya kecewa ketika mendapati teh panas yang tidak nasgitel dan tahu bacem yang tawar serta nasi kucing yang berbumbu nasi jinggo. Saya merasa homesick,saya rindu Jogja.



Sampai pada akhirnya, seorang kawan mengajak saya mencicipi nasi liwet di Jalan Teuku Umar Barat Denpasar, yang populer dengan sebutan Jalan Marlboro. Berada di dekat lampu merah, tendanya sangat sederhana, dengan tulisan “Wedangan Solo Buk Sri” yang dibuat sekedarnya di layar pembatas. Darah berdesir dan mata memanas saat saya memasuki tenda itu, “Eureka!!!! Ini yang saya cari selama ini”.





Walaupun tidak membawa embel-embel angkringan atau nasi kucing, Wedangan Solo Buk Sri menyajikan cita rasa angkringan yang sebenar-sebenarnya. Menu andalannya adalah nasi liwet, tapi lauk dan gorengan yang dihidangkan adalah yang akan selalu kita temui pada angkringan di setiap sudut Jogjakarta dan Solo. Hidangan yang bisa kita nikmati mulai dari : sate usus, sate hati, sate telur, gorengan, tahu tempe bacem dan nasi kucing. Semua bisa dipanggang lagi supaya bisa disantap hangat-hangat.

 

Tentu saja lauk yang pertama saya sambar adalah tahu bacem. Rasa-rasanya ingin menangis ketika perlahan saya mengunyahnya. Kelembutan tekstur tahu berpadu dengan rasa manis – gurih yang selalu saya nikmati setiap malam di Jogjakarta. Seakan orang-orang yang makan di sekitar saya lenyap, berganti dengan kenangan nongkrong dan tertawa sepanjang malam bersama teman-teman di angkringan atau warung gudeg, sesuatu yang saya lakukan hampir enam tahun.


Kemudian saya menyantap jadah yang masih terhidang hangat. Paduan ketan dan kelapa yang khas menyajikan sensasi kenyal renyah dalam satu gigitan. Saya terbawa kenangan ketika seringkali jauh-jauh naik ke Kaliurang sekedar untuk mencicipi Jadah tempe Mbah Carik. Rasa jadah di warung tenda ini benar-benar orisinil rasa jawa tengah.



Tak berlama-lama, saya pesan satu porsi nasi liwet. Nasi gurih disiram sayur labu kuning, ditaburi suwiran ayam nan lembut, sambal merah yang menggigit dan lauk telor pindang manis yang dilumuri santan kental. Rasanya sempurna, bumbunya sesuai presisi yang seharusnya. Kenangan saya terbawa pada suasana warung  nasi liwet di dalam Pasar Klewer sebelah Keraton Solo ketika saya mengajak Kopi darat seorang gadis cantik dari kota itu.




Jika kapasitas perut bisa dibesar-kecilkan sesuai keinginan, mungkin berpiring-piring nasi liwet dan berbelas-belas gorengan serta tahu bacem akan saya mampatkan di dalamnya. Untuk membilas mulut, saya pesan teh panas. Teh datang dengan uap menguar dari dalam gelas. “Ini baru teh panas, benar-benar panas”. Saya jadi teringat kenangan ketika pertama kali memesan teh panas di angkringan sekitar 6 tahun lalu. Penjual ankringan di depan rumah sakit panti rapih menjelaskan, di angkringan memesan teh harus benar-benar spesifik. Bila pesan panas akan diberi panas mendidih, bila pesan hangat akan diberi hangat suam-suam kuku. Berbeda dengan hampir semua restoran ketika kita memesan teh panas maka akan diberi teh hangat.



Malam itu saya bahagia, dulu seorang teman pernah bilang jika musik menyimpankan kenangan. Buat saya, makanan yang menjaga kenangan tetap utuh. Nasi liwet, tahu bacem dan teh nasgitel Wedangan Solo Buk Sri akan selalu mengantarkan kenangan bahagia selama di Jogja ketika saya menginginkannya. Dalam perjalanan pulang di atas motor, sayup-sayup terdengar lirik lagu Kla Project “...izinkanlah untuk s’lalu, selalu pulang lagi, Bila hati mulai sepi tanpa terobati...”


Comments

  1. Baca ini sambil senyum-senyum sendiri. Makanan ternyata memang menjadi pengikat kita dengan kenangan. Jadi ingat dulu ada teman yang sekolah di Swiss, waktu kakaknya nengok, dia cuma pesen dibawain mi instan. :)

    ReplyDelete
  2. bu nya pake k, udah pasti original itu

    ReplyDelete
  3. lokasinya dimana ya soalnya muter2 daerah sana ga ketemu.

    ReplyDelete
  4. akan segera saya coba dan menikmati makanannya

    ReplyDelete
  5. ah.. marai pengen mulih. Rindu serindu rindunya

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati