Menyepi Dalam Kehilangan: Sebuah Refleksi



When all is lost, there is still a memory.



Beranda kos tidak besar, berukuran 1 x 1,5 m, cukup untuk menjemur setumpuk pakaian. Saya duduk di sana sambil melihat rangkaian bintang yang menari dalam festival bima sakti. Malam ini gelap gulita, memang setiap malam harusnya gelap gulita, tapi kali ini berbeda. Malam ini adalah malam nyepi saat semua penghuni Bali serentak tidak memanjakan diri dengan cahaya artifisial barang sedikitpun.


Beberapa hari lalu, seorang teman di Yogyakarta bertanya apa yang akan saya lakukan di hari Nyepi. Saya menjawab dengan ringkas “menyepi”. Bukan, menyepi bukan niat saya sebenarnya. Saya berencana menghabiskan nyepi bersama koneksi internet yang ngebut dari ponsel pintar dan laptop yang penuh film terbaru. Namun tadi sore saya menemukan bahwa cahaya laptop terlalu terang sampai terlihat dari luar sehingga tidak mungkin dinyalakan dan ponsel pintar baru saja saya tinggalkan di jalan antara Ubud – Denpasar hari Jumat malam. Saya kehilangan ponsel pintar dan tidak bisa menyalakan laptop alhasil malam ini saya benar-benar menyepi.


“Kebiasaan” kata satu-satunya yang muncul dalam pesan singkat kakak di ponsel milik teman ketika saya mengabarkan kehilangan itu. Kakak seperti sudah tidak asing dengan kejadian-kejadian kehilangan yang saya alami. Kehilangan sudah menjadi bagian integral dalam perjalanan hidup saya. Jika otak adalah tembok batu yang penuh ukiran kenangan, maka kata kehilangan adalah yang terpahat paling dalam.


Malam Kehilangan Ponser pintar itu saya mengantarkan “Graece” Graecia Alexandra, seorang pejalan dari Jakarta yang berniat minum kopi di Ubud. Ketika saya menyadari si ponsel pintar tidak ada di tempat yang seharusnya, saya tahu waktu kami berdua (saya dan ponsel pintar) sudah habis. Melalui ponsel pintarnya, Graece coba menghubungi nomor saya, tapi nomor tersebut berulang kali tidak mendapat jawaban. Ia panik kemudian keheranan melihat reaksi saya yang tetap tenang seperti biasa. “Kok lu ngga khawatir sama sekali sih? Hape lu kan baru aja hilang, gw malah yang panik” tanyanya serentak. Saya terdiam sejenak, lalu menjawab“Saat kamu terlalu sering kehilangan hal-hal yang kamu cintai, maka kehilangan tidak lagi menjadi momok menakutkan”.


Anjing-anjing melolong bersaut-sautan dari seluruh penjuru banjar. Mereka nampak tidak biasa dengan gelap yang tiba-tiba menyelimuti lingkungannya. Mereka panik kehilangan cahaya yang biasa menemani. Saya melirik jam tangan,waktu menunjukan pukul 19.00 WITA. Saya mencoba membangkitkan ingatan kapan pertama kali saya kehilangan.


Pikiran melayang ke suatu malam di rental play station ketika masih duduk di kelas 5 SD. Saya kehilangan sepasang sandal baru yang dibelikan ayah sebagai hadiah natal. Saya menangis sejadi-jadinya sambil berjalan tanpa alas kaki menuju rumah. Ayah tidak marah mendengar kabar itu namun ia juga tidak membelikan saya sandal baru. Ia tidak gusar,  ia hanya mengambil sandal lama yang sudah agak rusak di sudut dekat tempat sampah. “berarti kamu harus pakai sandal ini lagi” terangnya singkat. Itu bukan kejadian terakhir di masa kecil kehilangan sendal. Saya juga pernah kehilangan sandal baru karena terbawa arus ketika saya main di tepi sungai. Pun pernah kehilangan sandal baru yang jatuh ketika tertidur di atas becak dalam perjalan pulang ke rumah.


Masa-masa menjalani kehidupan asrama sewaktu SMA menjadi arena belajar untuk ikhlas menghadapi kehilangan. Ada kleptomania yang tidak terlacak hidup di sana dan orang-orang yang mencuri sebagai sarana balas dendam karena pernah dicuri, saya tidak tahu pasti. Saya dan juga teman-teman yang lain sering sekali kehilangan, mulai dari : makanan, buku, susu, uang, kaos kaki, seragam sekolah, kemeja, sampai celana dalam. Jangan bilang kami tidak ada usaha untuk menjaganya, segala upaya kami coba tapi tetap saja kehilangan menjadi kondisi yang tak terelakkan. Kehilangan terakhir di sana yang masih membekas adalah sepatu basket Nike Air Jordan XXIII dan Converse Dwayne Wade yang saya beli dengan tabungan selama setahun. Di asrama saya belajar merelakan segala yang hilang.


Kehilangan juga tidak pernah jauh meninggalkan kehidupan saya selama kuliah. Berulang kali saya kehilangan flashdisk, dompet, uang, atm, alat-alat pendakian, buku dan lain-lain. Setiap orang berpikir, saya tidak pernah berusaha menjaga barang-barang yang saya miliki. Tidak, saya berungkali mencoba berbagai cara untuk menjaga barang-barang tersebut. Tapi hal tersebut tidak bisa dielakkan. Mungkin hal ini sulit dimengerti, namun saya pernah bertemu beberapa orang yang juga sering kehilangan barang. Di situ kami membuat suatu hipotesa bahwa ada yang berbeda dengan syaraf-syaraf yang bertanggung jawab atas kepekaan dan kewaspadaan kami sehingga seringkali kehilangan.


Kehilangan sudah menjadi hal yang saya hadapi sedari kecil. Berpindah-pindah kota untuk belajar di tempat yang lebih baik membuat saya harus selalu meninggalkan keluarga, lingkungan sehari-hari, kebiasaan, sahabat dan makanan kesukaan. Semasa lulus SD, SMP, SMA dan kuliah selalu ada rasa ngilu setiap saya mengemas barang-barang untuk berpindah kota dan sekolah atau ketika harus meninggalkan rumah ketika liburan usai.


Traveling membiasakan saya menghadapi perpisahan dan kehilangan. Saya selalu menemukan kehangatan ketika berbagi cerita di depan api unggun saat mendaki gunung dengan teman-teman baru. Excitement ketika bertemu sesama pejalan di dalam kereta api dan memutuskan melakukan perjalanan bersama. Keriangan ketika mabuk dan mengobrol siang malam selama berhari-hari ketika menginap di rumah teman lama. Kebahagiaan ketika menampung pejalan dari penjuru dunia di kos saya yang sempit di jogja, berbagi cerita dan pengalaman selama perjalanan, tertawa sepanjang malam. Dalam setiap momen saya selalu menyadarkan diri hal tersebut tidak akan berlangsung selamanya. Sampai suatu waktu kami akan selalu harus berpisah untuk mengalami jalan dan pilihan masing-masing. Sampai kami akan saling mengucapkan selamat tinggal dan berjalan tanpa lagi melihat ke belakang. To say goodbye is to die a little but i used to feel it.


Sampai beberapa waktu lalu saya sempat kehilangan, terpukul dan sedih sejadi-jadinya. Saya kehilangan seseorang yang sangat saya cintai. Kami sudah membuat pilihan dan jalan yang benar-benar berbeda yang membuat kami tidak mungkin lagi bisa bersama. Sampai pada suatu titik akumulasi kepedihan saya mengamini kata-kata Paulo Coelho “No one owns anything. Anyone who has lost something they thought was theirs forever finally comes to realize that nothing really belongs to them. And if nothing belongs to me, then there's no point wasting my time looking after things that aren't mine.” If you love someone, you must be prepared to set them free.


Sejalan dengan homili di suatu misa siang hari nan gerah ketika membahas perumpaan orang kaya masuk surga sesulit unta masuk lubang jarum. Rm. In Nugroho menegaskan “Kemelekatan adalah sumber penderitaan” dan saya amini selantang-lantangnya.

Amen.

Comments

  1. kehilangan "seseorang yang sangat saya cintai" apakah sama dgn kehilangan hp, sendal, atau sepatu? tarohlah sama, mungkin krn sama-sama mewujud fisik. mungkin juga berbeda krn yg satu kehilangan scr emosi (ada emosi terkuras di sana, merasa tak ada artinya, merasa apa yg sudah dibangun jadi sia-sia, merasa.... macem-macem) satu lagi kehilangan secara penggunaan... hrsnya make sendal jadi nyeker, harusnya bs sms an jadi susah. jadi tetap tidak bisa disamakan, tetapi kemelekatan adalah sumber penderitaan ya.... itu boleh. asal jangan kita jadi mudah melepaskan dan lupa menjaga.

    ReplyDelete
  2. refleksi yang indah dan menginspirasi. :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati