Merengkuh Danau Gunung Tujuh




“Not every lake dreams to be an ocean. Blessed are the ones who are happy with whom they are.”
― Mehmet Murat Ildan -- 

foto oleh : Dewi Pelita


Murdham berlari riang sambil bersenandung mengikuti irama lagu dari speaker portable yang ia gantung di tasnya. Sebagai Ranger Gunung Kerinci ia mengenal gunung itu dan gunung-gunung lain di sekitarnya seperti halaman belakang rumah. “ayo, yang semangat jalannya, lemas sekali kalian” gelak Murdham sambil duduk di atas sebatang pohon yang tumbang di ujung tanjakan.



 Saya dan tim sudah kelelahan. Bagaimana tidak, kemarin sore kami baru saja turun dari Gunung Kerinci . Pukul 09.00 kami sudah menumpang pick up menuju gerbang taman nasional Danau Gunung Tujuh ini. Otot-otot kaki  baru terasa kaku sekarang setelah berhari-hari dipaksa menanggung beban tubuh dan carrier saat mendaki Kerinci. Bila kami dalam kondisi fit tentu saja pendakian ini akan terasa menyenangkan.



Selewat gerbang, kami memasuki area dengan pepohonan yang tinggi menggelitik langit. Namun, tidak lama kemudian pemandangan berubah jadi ladang sayur berbukit-bukit yang di sela-selanya terdapat sisa akar pohon raksasa. “Kenapa ada ladang di tengah taman nasional?” ungkap Dewi kaget. “lama-lama hutan di sini bisa habis juga” gumamnya kesal.  Seperti kita tahu di gunung-gunung lain di pulau Jawa, hutan semakin habis karena diubah jadi ladang warga, pohon-pohon tua dijual kayunya dan pohon-pohon muda dijadikan kayu bakar.



Setelah melewati padang rumput dan semak belukar jalan mulai terasa menanjak. Di sepanjang perjalanan, berulang kali kami menemui jalur air. Rasanya menentramkan saat kaki yang lelah direndam di air yang bening dingin. Murdham bercerita, di generasi kakeknya dulu ada cerita tentang manusia kerdil yang hidup di hutan ini. Berungkali teman-teman kakeknya berpapasan dengan mereka saat berburu di hutan. Sekarang hutan terus habis terkikis, mungkin manusia kerdil semakin jauh masuk ke dalam hutan yang masih belum terjamah manusia.



Dari jauh, lamat-lamat terdengar teriakan Murdam, “ayo kawan.. puncak sudah dekat..” Rasa sakit jadi tidak terasa, bayangan danau segar sudah di depan mata. Kami berlari secepat mungkin saling mendahului. Murdam tidak bohong, dia sudah di puncak, tapi danau tidak berada di puncak, ternyata untuk menuju danau kami masih perlu berjalan turun beberapa kilo lagi.



Dalam kegiatan pendakian gunung, mendaki memang lebih melelahkan tapi turun gunung lebih menyakitkan. Itu yang kami alami saat menuruni punggungan menuju danau, otot di betis seperti sudah menyerah untuk berkompromi, setiap kaki menjejak turun nyerinya sampai ulu hati. Andai perjalanan ke sini tidak memakan biaya yang tinggi mungkin kami memilih untuk mendaki di lain waktu.




Selewat hutan lebat  trek sedikit memutar, di balik kelokan punggungan akhirnya danau itu tampak. Kami tercengang, c’est tres magnifique. Danau gunung tujuh memancarkan keagungan alam, airnya yang biru bening berombak digerakkan angin dari punggungan. Tujuh gunung berwarna kehijauan berjajar memutari danau. Hutan lebat seakan membentengi danau dari peradaban manusia yang merusak.  Murdham bercerita butuh waktu berhari-hari untuk memutari danau ini. Tak heran, danau ini menjadi salah satu danau kaldera tertinggi di Asia Tenggara dengan luas sekira 960 hektar, panjang 4,5 km, serta lebar 3 km. Ketinggian danau tersebut sekira 1,950 meter di atas permukaan laut. Dinamai Danau Gunung Tujuh karena dikelilingi tujuh puncak gunung di sekitarnya. Gunung-gunung tersebut, yaitu: Gunung Hulu Tebo (2.525 meter), Gunung Hulu Sangir (2.330 m), Gunung Madura Besi (2.418 m), Gunung Lumut yang ditumbuhi berbagai jenis lumut (2.350 m), Gunung Selasih (2.230 m), Gunung Jar Panggang (2.469 m), dan Gunung Tujuh (2.735 m).



Setibanya di tepi danau, kami langsung melepas alas kaki dan merendamnya di sana. Airnya benar-benar dingin dan bening. Sayang, pejalan tidak bertanggung jawab mencoret-coret batu dan pohon di sekitar danau. Kegiatan kreatif yang tidak pada tempatnya itu benar-benar merusak estetika.


Saya jadi teringat seorang kawan, Mila Said, travel blogger perempuan yang profesinya sebagai engineer chief. Dia bercerita bagaimana PLTM (pembangkit listrik tenaga mikro hydro) dapat menjaga kelestarian hutan. “Bila ada PLTM di suatu hutan atau gunung, tentu saja hutan akan lebih terjaga dibandingkan bila hanya ada pepohonan di sana” jelasnya pada suatu malam. “Kenapa? Karena pasokan air sungai dari hulu untuk menggerakan turbin bergantung pada keberadaan hutan, jadi keberadaan PLTM akan memastikan supaya hutan tetap lestari” terangnya berapi-api. Danau Gunung Tujuh membuktikan penjelasan Mila. Keberadaan hutan  di sekitar danau menjadikan airnya tetap mengalir deras membentuk air terjun dan  sungai-sungai yang mengaliri Jambi, salah satu alirannya bermuara di Sungai Batanghari.



“Sayangnya hampir tidak ada investor yang tertarik menanamkan uangnya di PLTM karena pengembalian modalnya lama dan keuntungannya tipis, pemerintah yang bermental broker apalagi” jelas Mila lirih. Tak terhitung ia mengajukan proposal PLTM tapi tidak goal karena alasan di atas. “Mereka tidak melihat keuntungan non-material dan jangka panjang yang bisa diperoleh dari PLTM ini, sedangkan dalam kurun waktu tertentu keuntungannya akan sama dengan penggunaan bahan bakar kotor seperti batu bara dan minyak” ungkapnya sambil menghisap rokok dalam-dalam pada suatu malam di sudut kamar.



Saya terhenyak dari lamunan karena teman-teman riuh bermain air. Di sisi danau, tertambat satu perahu milik penduduk setempat yang biasa digunakan untuk memancing. Hendra coba mendayung ke tengah danau tapi agak kesulitan karena arahnya melawan angin. Saat berkeliling ke sisi lain danau, saya berpapasan dengan penduduk yang mendapat banyak ikan sebesar lengan manusia hasil tangkapan pancing di danau ini.



Murdham berpesan di tempat ini dilarang berkata-kata kotor dan melakukan tindakan asusila. Masyarakat setempat percaya danau ini sebagai tempat berdiamnya kekuatan supranatural dari dua mahluk halus yang menjaganya yaitu Lbei Sakti dan Saleh Sri Menanti dengan pengikutnya yang berwujud harimau. Kita bisa menyikapinya dengan bijaksana, keberadaan legenda sebagai kearifan lokal berperan besar dalam menjaga kelestarian alam.


Saya kurang tertarik bermain air sampai basah kuyup, maka saya putuskan untuk bersantai dan masak mie di dataran yang agak tinggi di sisi punggungan jalan yang tadi kami lalui. Di sana sudah ada dua pejalan dari Swiss. Setelah berkenalan saya tahu nama pasangan tersebut, Franz dan Heidi. Dari ceritanya, mereka sudah tinggal di desa Kayu Aro selama tiga bulan dalam rangka penelitian tugas akhir Heidi yang studi di jurusan Antropologi. “j’aime cette village,  le lac, la culture, les hommes,  c’est formidable. Si il est possible, on veux habiter ici longtemps (saya cinta desa ini, danau, budaya, orang-orangnya, jika memungkinkan, kami mau tinggal di sini dalam waktu lama). Jawab mereka ketika saya ajak mereka bercakap-cakap dalam bahasa Perancis.



Danau mengingatkan saya pada jawaban seorang sahabat ketika saya ajak pergi ke Pulau Seberang "Ada yang bermimpi jadi sungai yang mengalir menuju lautan dan menghidupi setiap tempat yang ia lewati, ada yang mimpinya sesederhana danau berdiam di tempat dia lahir dan memberi makna dan manfaat sebesar-besarnya untuk lingkungan sekitarnya".

Lalu apa yang kamu pilih? Menjadi sungai atau danau?

Comments

  1. hihihii.. ada gueee.. hmm..koreksi dikit, maksud gw klo ada PLTM bukannya lbh bagus daripada kalo danaunya cuman di kelilingin pohon, tapi dengan ada nya Pembangkit Listrik disana perusahaan pengelolanya pasti akan menjaga lingkungan hutan sekitarnya agar tidak rusak supaya keseimbangan siklus hidrologi tidak terganggu. Jadi ga akan ada yang menebang pohon-pohonnya untuk ilegal logging atau hutannya dijadikan ladang/sawah, pengelola pltm nya ikut membantu menjaga itu.
    Ya tetep yang paling bagus sih kalau danau/sungai yang benar2 masih alami belum ada perangkat-perangkat aneh buatan manusia nya hehee

    ReplyDelete
  2. Cieh Mila di feature di postingannya si Rio....

    Rio danaunya enak banget yah, pengen deh main kesana. Secara gua jarang olahraga, mungkin gua udah pingsan duluan sebelum nyampe danau nya kalo gua ikut kalian kalian yang sudah biasa hiking

    ReplyDelete
  3. Suka banget dengan postingan ini. Fotonya Ok dan kontennya dalem banget. :)

    ReplyDelete
  4. cie cie, ada mila di postingan. hihiihi.. btw, foto2nya bagus bangett... cerita orang kerdil di hutan beneran ada ya? saya sering denger tapi percaya ga percaya sih.. hehe

    ReplyDelete
  5. wooow...drop dead heaven....saya iriiii...punya kaki gatal yang sering ngg keturutan pengen jalan ke sana dan ke siniii....dan ini cantik bangeeet...c'est tres belle vue...cheers..

    ReplyDelete
  6. Jarak nya brp km kalo jalan kaki ??? memakan waktu brp jam ??? Cakep di kesunyian :-)

    ReplyDelete
  7. nice post! izin copy salah satu fotonya di blog saya ya, saya sertakan sourcenya dari blogpost ini. terimakasih ^^

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati