Renung dan Tutur di Gunung Batur – Sebuah Catatan Pendakian
“We live in a wonderful world that is full of beauty, charm and adventure. There is no end to the adventures we can have if only we seek them with our eyes open.”
― Jawaharlal Nehru
“kita ngga jadi naik kan?” menggeliat dengan mata setengah
terbuka, Westi bertanya dengan harapan semua tidak jadi naik dan bisa
melanjutkan tidur. Udara jam 04.00 WITA di Kintamani kejam menusuk tulang. Kami
yang tidur di pendopo pos pintu masuk Gunung Batur mendekap segala yang ada
erat-erat untuk mengurangi rasa dingin. Kemarin malam, kami berangkat dari
Denpasar pukul 22.00 WITA dan tiba di tepi Danau Batur ini sekitar pukul 00.30
WITA. Padahal rencana awal pukul 19.00 WITA kami sudah berangkat, namun saya
sudah maklum, ini sudah ketiga kali perjalanan yang dikoordinir Rara tidak
tepat waktu.
Setuntas mengemas barang-barang yang beberapa jam lalu
digunakan sebagai pengundang rasa hangat, kami memulai perjalanan mendaki
Gunung Batur. Jalan dari basecamp menuju kaki Gunung dengan ketinggian 1717
mdpl ini sudah diaspal, di kiri kanan jalan ramai pohon tomat dan cabai yang
buahnya merah ranum siap dipanen. Kami bukan rombongan pertama yang naik, di sekujur
Gunung Batur sudah penuh titik-titik cahaya mengular yang berasal dari senter
pendaki.
Westi menyebut dirinya pendaki tronton, bukan karena
tubuhnya besar seperti tronton , dia
hanya berjalan stabil di jalan lurus dan sangat lambat di tanjakan. “Persis
seperti laju tronton di jalan bergunung dari Magelang ke Semarang” ungkapnya.
Berulang kali kami didahului oleh pendaki lain yang berjalan bak berlari.
Gunung Batur menjadi daya tarik bagi wisatawan dari seluruh
dunia. Dari percakapan orang-orang yang mendahului kami, saya bisa menduga
mereka berasal dari Perancis, Jerman, Belanda, Australia, Rusia, Jepang, China/taiwan
dan Singapur. Saya sempat mengamati kecenderungan karakter berpakaian mereka.
Pendaki dari Eropa berpakaian layaknya ingin lari pagi, menggunakan sepatu
jogging, t-shirt tipis dan celana pendek. Pendaki Jepang menggunakan tongkat,
lengan panjang dan celana panjang tipis namun tetap simpel dan mudah bergerak.
Orang China/taiwan dan Singapur sangat trendy, yang pria berpakaian layaknya ingin
main golf dan menggunakan sepatu semi formal atau sepatu jogging yang down to
date. Yang wanita lebih rumit, mereka mengenakan kaos penuh aksesoris atau gaun
dan sepatu balet bahkan saya liat seorang menggunakan wedges. Yang paling
well-prepared adalah pendaki Indonesia, mereka mengenakan kupluk, sepatu
pendakian, jaket windproof, slayer dan carrier yang cukup besar seperti ingin
mendaki Gunung Rinjani.
“Di Bali, yang penting kamu bawa cukup uang, semua sudah
disediakan untuk dibeli” ungkapan seorang teman beberapa tahun lalu itu saya
amini di Gunung Batur ini. Bagaimana tidak, dari kaki gunung sampai titik-titik
mendekati puncak juga puncak, tersedia warung-warung yang siap menyuguhkan
minuman hangat dan kudapan berat untuk kita santap. Asal siap membayar saja
sesuai harga internasional. Kami tidak menjajal satu warung pun, bekal kami dari rumah hanya bensin,
botol air, roti dan snack untuk sampai ke puncaknya. Oia, kurang dua lagi, kami
punya semangat dan kamera full batery dengan memory yang besar.
Dalam tim terdapat seorang dokter, itu yang selalu kami
banggakan selama pendakian. Galuh, pejalan dari Semarang, ikut dalam pendakian
ini. Sehabis lulus dari kuliah kedokteran dan menyelesaikan program co-ass di
rumah sakit, ia memutuskan untuk melakukan perjalanan menyusuri Bali – Lombok.
Asong sepanjang perjalanan berkonsultasi dengan Galuh mengenai kesehatannya.
Kami semua sepakat fisik Asong sangat sehat namun tidak kejiwaannya, hal itu
dapat dilihat dari kegemarannya menirukan dan mengulang-ulang ucapan stand-up
comedian yang dia lihat di TV.
Sekitar pukul 05.40 WITA kami tiba di puncak Gunung Batur. Berdasarkan legenda dalam Lontar Susana
Bali, Gunung Batur adalah puncak dari Gunung Mahameru yang dibawa Batara
Pasupati untuik dijadikan Sthana Betari Danuh (istana Dewi Danu). Pada tanggal
tertentu, seluruh umat Hindu dari penjuru Bali datang ke Batur menghaturkan
Suwinih untuk menghalau serangan hama yang menerpa ladang mereka.
Tak disangka, Heru dan Robi yang sempat kami kira tidak jadi
ikut sedang dalam perjalanan mendaki. Dalam panggilan telepon yang kami terima
di puncak, Heru mengabari mereka ketiduran di mobil dan baru mulai mendaki
pukul 05.00 WITA dari jalur yang berbeda dengan yang kami lalui. Rara bercerita, ia pernah bertemu seorang pengusaha yang lebih mengutamakan calon
karyawan yang suka mendaki gunung dibandingkan yang hanya di rumah saja.
Selintas muncul ide, bagaimana kalau di CV kami tidak usah menyertakan ijazah
dan hanya catatan pernah mendaki gunung mana saja.
Belum juga turun dari puncak gunung batur, Yunan sudah
diajak Westi dan Rara untuk merancang perjalanan selanjutnya. Yunan, anggota
tim yang tidak banyak bicara dan bekerja sebagai asisten chef di sebuah
restoran di hotel daerah Kuta adalah seorang penganut agama Hindu yang taat.
Setiap mendaki gunung dia selalu menyempatkan diri untuk mempersembahkan banten
dan sembahyang di pura. Rencana selanjutnya adalah kami ingin mengunjungi
pura-pura yang paling tua dan suci di Bali ini, tentu dengan Yunan sebagai
guidenya supaya kami bisa leluasa dan tidak salah berperilaku di sana. Saya
coba mengalkulasi, bila melakukan perjalanan setiap akhir pekan, walau lima
tahun tinggal tidak akan cukup untuk mengunjungi semua destinasi wisata di
pulau dewata ini.
Yunan adalah orang baik yang berada di kumpulan yang salah.
Dia sudah meluangkan waktu untuk mengantar kami ke Batur malah diajak (red-
dipaksa) membolos kerja untuk melanjutkan perjalanan menuju Restoran Apung di
danau batur dan Rumah Topeng di Ubud. Ia yang seharusnya masuk shift kerja hari
minggu jam 13.00 WITA hari itu akhirnya terpengaruh juga oleh iming-iming kami.
“Nan, kakek-nenekmu masih hidup?” tanya saya.
“sudah meninggal semua” jawab Yunan.
“berarti hari ini salah satu kakekmu meninggal sekali lagi”.
Ungkap saya datar.
Sekitar pukul 10.00 WITA kami turun dan melanjutkan
perjalanan menuju Danau Batur, makan di restoran apung dan mengunjungi Ubud.
Pendakian ini menyadarkan saya, jangankan mengenal keindahan seluruh Indonesia,
mengenal keindahan seluruh Bali saja
masih belum bisa.
Note : lelaki berjaket, gater dan slayer merah itu bernama Asong, dia sudah
terlalu lama menjomblo oleh karena itu kami berniat mempromosikannya. Blog ini
salah satu sarana untuk mengenalkan dia. Barangsiapa pembaca perempuan yang jomblo
atau punya teman yang jomblo bisa mengenal dia melalui social media yang
dikelola oleh sahabat-sahabatnya.
Twitter : @AsongJodoh
Fanpage facebook : jodohuntukasong
breathtaking view! saya sukaa dengan foto-fotomuuuu...plus kutipan yang jleb :D...geli ngebayangin naik gunung pake wedges..plis deeh :D...but then again, I am off the view when you said the beauty of Bali is not yet fully captured through endless journeys, let alone Indonesia....cheers :)...
ReplyDeletefotonyaaaaaa
ReplyDelete