Kuda Kekar Desa Mantar
The horse, with beauty unsurpassed, strength immeasurable and grace unlike any other, still remains humble enough to carry a man upon his back
Dalam benak saya yang pertama muncul ketika mendengar nama
Sumbawa adalah kuda. Ya, sekian lama hidup di Jawa, saya seringkali mendengar
orang minum susu kuda liar sumbawa dengan harapan bisa seganas dan selama
mamalia itu saat melakukan proses reproduksi dengan pasangannya. Namun, saya
bahkan tidak melihat satu ekor juga ketika tiba di Pelabuhan Pototano dan
menuju Pulau Kenawa.
Saya baru melihat kuda berkeliaran layaknya kambing di Jawa
dan sapi di Bali ketika berkunjung ke Desa Mantar. Menurut Ibu Ari, kami (saya
dan asong) harus mengunjungi desa ini, selain karena desanya yang unik,
pemandangan yang bagus dan sejarah yang ada, desa ini juga jadi tempat shooting
film Serdadu Kumbang. Walaupun sampai saat ini saya tidak pernah menonton film
yang disutradarai oleh Ari Sihasale itu.
Rasanya saya ingin merutuki keputusan bodoh kami berdua saat
melintasi perjalanan menuju desa dengan ketinggian 630 mdpl ini. Semua berawal
dari celetukan saya pada Asong kalau foto saat traveling tidak pakai backpack
itu kurang keren. Asong yang dalam perjalanan ini melepas keperawanan carrier
Deuter Air Contact 55+10, memutuskan membawa carrier tersebut yang bermuatan
tenda dan segala perangkat survival demi bentuk carrier yang oke saat difoto, sedangkan
hanya sebagian kecil barang-barang yang ditinggal di rumah ibu Ari.
Ini bencana teman-teman....
Jalan ke Mantar hanya cocok dilewati oleh mobil 4WD dan
motor trail. Selepas melewati jalan becek di tengah perkebunan, jalan yang
dihadapi menjadi terjal dengan tekstur pasir, kapur dan batu. Motor Honda Revo
milik Asong meraung-raung melaju di jalan yang sisi kiri-kanannya jurang. Kami
yang mengendarainya terguncang-guncang saat roda menghajar batu-batu sebesar
kepala. Saya yang diboncengi juga harus menanggung berat carrier yang lari ke
sana ke mari setiap manuver motor salah. Bahu rasanya lecet juga kelu, tulang
belakang serasa bergeser. Parahnya, walaupun kami membawa tas besar, hanya ada
air tidak sampai setengah liter yang terbawa. Panas matahari jam dua siang
membakar kulit dan debu-debu memekatkan pernafasan juga rongga mulut. Kami
kehabisan air dalam waktu singkat. Di jalan-jalan mendekati desa tingkat
kemiringan semakin kejam. Saya berungkali harus turun dan berjalan kaki
menggendong carrier sambil terus mengenakan helm. Jika saja carrier ini baru
dan harganya tidak dua juta dua ratus ribu rupiah, rasa-rasanya sudah saya
lempar jauh-jauh ke jurang. #lupakan.
Desa Mantar benar-benar memikat, memasuki desa kami disambut
gedung sekolah dasar, rimbun pepohonan memayungi jalan. Tak lama, kami
menjumpai danau kecil kehijauan yang jadi tempat warga memancing, juga kuda
yang berkeliaran ikut minum di sana. Asong benar-benar excited melihat kuda,
berungkali ia berucap “hei man.. itu kuda,, man..”. Saya yang sudah kelelahan
dan dehidrasi hanya sanggup mengangguk-angguk lesu.
Memasuki pemukiman warga, kami langsung mencari rumah Kepala
Desa untuk meminta izin agar diperkenankan masuk dan berkeliling. Sayang, saat
itu beliau tidak ada, kami disambut oleh istrinya yang akan segera menyampaikan
kedatangan kami ketika ia datang dari kota. Tidak lupa Asong berfoto dulu di
depan rumahnya ketika beranjak pergi.
Seperti rumah-rumah tradisional Indonesia, rumah-rumah di
Desa Mantar terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung. Hal ini sebagai
bentuk adaptasi nenek moyang untuk menghindari serangan binatang buas. Fondasi yang
berupa sambungan-sambungan kayu tanpa paku dan berdiri di atas batu membuat
rumah sangat fleksibel terhadap guncangan seperti gempa. Terkadang kita mengagungkan
arsitektur barat tanpa sadar bahwa nenek moyang kita sudah memiliki pengetahuan
yang lebih tepat untuk tinggal di nusantara yang kaya namun rawan bencana.
Kami mampir sebentar di warung warga untuk membeli air dan
makanan ringan, Pak Husein pemilik warung yang sedang menganyam bambu, ditemani
cucunya yang sedang tidur di ayunan, bercerita pada kami “Di Mantar
orang-orangnya agak beda dengan orang di bawah, karena nenek moyang kami
berasal dari banyak suku, ada jerman, portugis, arab dan jawa” Ia yang melihat
rasa penasaran saya melanjutkan “kapal yang mereka tumpangi karam saat melewati
selat alas sehingga membuat pemukiman di sini”. Ia juga bercerita tentang tujuh
orang putih yang tidak pernah berkurang dan bertambah di Mantar. Bila satu
orang putih lahir ke dunia, maka satu dari tujuh orang itu akan mati, entah
sakit tiba-tiba walaupun hari sebelumnya masih sehat walafiat.
Pak Husein menyarankan kami untuk datang ke lokasi shooting
(saya lupa ia menyebut tempat itu apa) yang berada di ujung desa. Berdasarkan petunjuknya
kami keluar desa dan masuk ke sawah warga. Mayoritas penduduk mantar bertani,
berladang dan beternak. Mereka berladang dan menanam padi gogo untuk
menyesuaikan dengan kondisi geografis yang kering. Sepanjang kami menyusuri
sawah yang habis panen, sapi, kerbau, kuda, kambing dalam gerombolan besar
bebas hidup tanpa terikat. Mereka makan sisa-sisa tanaman yang masih berakar.
Saya merasa seperti tidak sedang di Indonesia, seakan-akan berada dalam setting
film Cowboy di Texas, Amerika.
Kami tidak tersesat, kami hanya menemukan banyak jalan baru
yang tidak membawa pada tujuan.
Sadar jalan yang kami lalui hanya berakhir buntu, saya mulai
melihat ke kiri-kanan, hanya ada sapi dan kuda memandang curiga. Kami coba
berbalik arah, berjalan agak memutar dan untung saja bertemu lelaki tua yang
asyik membelah bambu di depan pondokannya. Tahu kami tersesat, ia berbaik hati
mengantar. Kami menyusuri jalan sambil berbagi cerita, setelah Asong banyak
bertanya, bapak yang saya lupa namanya ini mengaku memiliki banyak kuda.
Menurutnya, bagi masyarakat Mantar, kuda sumbawa itu selain sebagai alat
transportasi juga dijadikan makanan di acara-acara tertentu. Juga sebagai
tabungan bila warga butuh uang cepat untuk pendidikan anak, biaya berobat saat
sakit atau ongkos naik haji. Kuda sumbawa sangat diminati orang luar Sumbawa
sehingga mudah menjualnya. Di luar itu semua, kuda adalah status sosial,
semakin banyak kuda yang dimiliki semakin naik status sosialnya.
Hal ini mengingatkan saya pada artikel di The Jakarta Post pada
tahun 2011, Kementerian Pertanian RI tentang SDG (sumber daya genetik)
menetapkan kuda di Sumbawa sebagai salah satu bangsa atau sub bangsa kuda di
Indonesia. Rumpun Kuda Sumbawa dikenal kerena kemampuan adaptasinya pada
lingkungan tertentu yang cukup baik mengingat kuda Sumbawa adalah kuda yang
adaptif pada kondisi daerah spesifik pada iklim mikro (seperti pulau
Sumbawa).
Percakapan sebentar itu menemani perjalan saya menuju spot
paling favorit di Mantar. Berada di ujung tebing yang terbuka, saya bisa
melihat matahari yang mulai condong ke barat di atas selat alas. Pelabuhan
pototano beserta pulau dan laguna yang mengitari serasa menantang untuk
disinggahi. Saya menyesal kenapa hanya punya sedikit libur untuk menikmati
Sumbawa, suatu hari saya akan datang lagi untuk lebih mengenal pulau ini.
Tepat jam 16.30 kami turun ke Pototano, hal ini
memperhitungkan jalan pulang yang akan jauh dari kata aman bila dilewati pada
malam hari. Kuda-kuda mantar mengajarkan banyak hal, dengan segala keanggunan
dan kekuatannya, ia tetap rendah hati untuk membawa manusia di punggungnya.
Comments
Post a Comment