Empat Hal Mendasar Menurut Bapak

“My father gave me the greatest gift anyone could give another person, he believed in me.”

Relasi anak lelaki dengan bapaknya memang relasi paling rumit, itu yang juga saya alami. Sampai saat ini saya masih memiliki jarak dengan bapak. Ada kekakuan dan menjaga citra di antara kami berdua. Namun, di luar itu semua, bapak berperan besar membentuk anak lelakinya. Salah satu yang  berkesan dari bapak adalah nilai-nilai yang saya tulis ini.


Sewaktu saya kecil bapak pernah berpesan, ada 4 hal paling mendasar yang harus anak lelaki kuasai, terutama anaknya, karena tentu saja keharusan tiap anak di mata bapaknya berbeda-beda. 4 hal itu adalah: berenang, bersepeda, berkelahi dan mengemudi. Sebagai anak kecil yang berteman imajinasi di setumpuk mainan sudut kamar, hal itu tidak pernah menjadi perhatian saya saat itu.


Bapak tidak main-main dengan ucapannya.


Sedari kecil saya sudah les berenang meski tidak berjalan lama. Namun, pertemuan dengan air sedari kecil membuat saya tidak pernah takut berenang. Bapak selalu royal memberi uang saku setiap saya mengunjungi kolam renang bersama teman-teman. Mungkin itu semacam insentif supaya saya sering-sering belajar renang secara mandiri. Begitu juga dengan peralatan berenang, bapak tidak pernah menolak setiap saya meminta uang untuk membeli barang-barang yang cukup mahal itu.


Bersepeda juga menjadi perhatian besar bapak. Jika mengingat-ingat lagi, saya selalu memiliki sepeda sesuai tingkatan umur saya. Dari sepeda roda tiga saat balita, sepeda kecil roda dua untuk TK, sepeda yang sedikit lebih besar ketika saya SD, ketika SMP bapak jauh-jauh ke Jakarta membelikan sepeda Shimano dengan gear tercanggih di masanya. Semua demi melatih keterampilan saya bersepeda. Masih ingat, ketika SMP saya sudah sering bersepeda dari Rangkasbitung ke Pandeglang, juga masuk ke kebun-kebun dan lumpur di gunung putri Mandala.


Yang terakhir, berkelahi. Momen paling membekas adalah ketika kelas 1 SD saya bergulat dengan anak kampung sebelah.  Pukulan anak itu sebenarnya tidak melukai apa-apa, tapi rasa malu karena tersungkur ke tanah membuat saya menangis sejadi-jadinya. Saya pulang beriring tangis memekakkan telinga. Saya mengadu pada bapak. Sayangnya, saat itu saya tidak mengenal lelaki tersebut. Ia bukan bapak yang akan menyenangkan anaknya dengan memarahi anak orang lain karena membuat anaknya merasa terancam. “Kalau berkelahi jangan pulang menangis, kalau kamu salah dan kalah sudah terima saja karena kamu layak menerimanya, kalau kamu kalah dan merasa benar ajak lagi dia berkelahi sampai kamu menang.” Bapak tidak marah karena saya berkelahi, bapak hanya marah karena saya pulang menangis dan mengadu.


Sedari SD, bapak tahu anak laki-laki semata wayangnya ini senang mencari masalah tapi tidak tahu cara membela diri. Memasuki SMP, bapak meminta Engkong Hasyim, seorang tua jago pencak silat, untuk mengajari saya seni bela diri dari tanah sunda itu. Setiap sore, Engkong Hasyim datang ke rumah untuk melatih saya bela diri. Sayang, keinginan ibu supaya anaknya keluar dari jurang nilai merah membuat saya berhenti belajar bela diri dan berganti dengan buku-buku latihan penuh angka.


Bapak hanya tidak mengajarkan saya mengendarai mobil, bukan karena ia tidak mau, tapi kondisi ekonomi rumah tangga yang jatuh ketika saya masih tinggal di rumah membuat bapak harus merelakan mobil pick-up terakhir untuk dilego. Satu-satunya sarana untuk belajar sudah tidak ada. Saya bisa melihat kekecewaannya pada diri sendiri karena tidak sempat mengajarkan saya ketika kemarin ini saya bercerita belum lancar memarkir mundurkan mobil.


Mengikuti pola pendidikan ibu pada kakak, memasuki SMA saya sudah harus keluar rumah untuk bersekolah. Tinggal di asrama di Kota Bogor menjadi pilihan terbaik. Ketika keluarga dari pihak ibu yang tidak pernah melepas anaknya keluar rumah bertanya kenapa bapak tidak pernah khawatir anaknya sering pergi ke luar kota, bapak dengan ringan menjawab “dia bisa berenang, bersepeda dan berkelahi, minimal dia ngga akan mati dengan mudah”.


Setelah hampir 20 tahun terlewati, saya mengerti kenapa bapak selalu menekankan empat hal tersebut. Bapak ingin anaknya tidak diam di rumah dan selalu mencari rasa aman di ketiak ibunya. Berbeda dengan ibu yang mengatakan pendidikan itu nomor satu, bapak selalu menekankan anak lelaki itu harus merantau dan bergesekan dengan banyak pertemuan dan perpisahan. Lelaki harus bisa mempertahankan dirinya sendiri sebelum bisa mempertahankan keluarganya.


Melakukan perjalanan membuat saya memahami pentingnya bisa berenang-bersepeda-berkelahi. Saya tidak pernah mencari masalah dengan mengajak orang berkelahi, tapi saya sadar bahwa kalau orang berniat jahat, saya masih punya nyali untuk membela diri. Bisa berenang juga membuat saya tidak takut air ketika harus menyeberang antar pulau atau sekedar main di sungai untuk berenang atau rafting. Jam terbang bersepeda menambah kepercayaan diri untuk mencoba segala jenis motor di segala medan, sampai mesti menghadapi jalan penuh kubangan dan lumpur ketika bertugas di Kalimantan Timur tahun lalu.


Sampai bulan kemarin, saya masih belum menemukan kenapa lelaki harus bisa mengemudi. Saya belajar mengemudi saat kuliah, pacar saat itu (sekarang sudah jadi mantan) mengajarkan saya menggunakan mobilnya. Setelah belajar tentu saya juga praktek dengan menjadi supir pribadinya. Selama kuliah saya belajar mengemudi sehari-hari dan dengan touring memutari jawa tengah dan jawa timur juga mengelilingi sebagian jawa barat. Pikir saya saat itu, mungkin lelaki harus bisa mengemudi supaya bila tidak dapat pekerjaan masih bisa jadi supir angkot atau supir serabutan untuk bertahan hidup. Hanya sedangkal itu pemahaman saya.


Saya menemukan kenapa lelaki harus bisa mengemudi beberapa minggu lalu . Sahabat saya tidak bisa mengemudi, ketika istrinya hamil besar dan beberapa hari lagi akan melahirkan, saya sukarela menjadi supir atas mobil yang mereka sewa dalam menghadapi keadaaan yang mungkin darurat. Hari itu hari minggu, pagi hari saya mendapat kabar bahwa istrinya akan melahirkan dengan bedah Cesar pada hari senin. Mendengar kabar itu saya memberanikan diri pergi dari rumah untuk menghadiri acara komunitas jalan-jalan di Monumen Bajra Sandi Denpasar. Manusia berencana tapi alam semesta punya kehendak, minggu malam istrinya pecah ketuban dan sahabat saya kelimpungan karena dipikir tidak ada supir yang available, untung penghuni kamar sebelah bisa mengemudi sehingga dia yang mengantarkan mereka menuju rumah sakit.


Sekarang saya tahu kenapa ayah saya berpesan kenapa lelaki harus bisa empat hal tersebut. Berenang-bersepeda-berkelahi merupakan modal paling mendasar dan fundamental untuk lelaki mempertahankan hidupnya dalam proses belajar di jalan yang seringkali tidak ramah, skill lelaki untuk bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan dirinya sendiri. Tetapi pada akhirnya lelaki tidak hanya bertanggung jawab pada dirinya sendiri, dia bertanggung jawab pada orang di sekitarnya. Skill mengemudi adalah kemampuan paling dasar bagi lelaki dalam bertanggung jawab dalam kenyamanan dan keamanan orang di sekitarnya ketika ia sudah beranjak dewasa. Dalam kasus sahabat saya, keamanan istri dan calon anaknya.


Tabik.
 

Comments

  1. Tulisan yang apik rio..
    Mungkin bapakku sedikit lalai dalam memberikan wejangan disaat aku tumbuh dewasa, atau aku yang ga mau denger atau lupa, entahlah. Mungkin karna beliau orang proyek yg jarang ada di rumah. Tapi ketika hidupku rusak dan remuk karna ulahku sendiri, bapak akhirnya turun tangan untuk membantuku memperbaiki hidup. Better late than never kali yaw

    ReplyDelete
  2. Rio....tak selamanya yg muda belajar pada yg lebih tua. Banyak tulisanmu yg sudah aku baca, dan mengajariku banyak hal. Aku yg lebih tua, harus mengakui dan membuka diri untuk belajar ttg kehidupan ini padamu. Sukses Rio....!!!

    ReplyDelete
  3. Mungkin yang Bapak kamu kurang tekankan adalah, kalau berkendara harus selalu pakai kacamata.

    *mengingat momen gw patah hati tapi malah mau nyebur ke jurang sama elu*

    T___T

    ReplyDelete
  4. Nice piece of writing. Semoga keempat hal ini bisa diteruskan Rio ke generasi selanjutnya yah hehehe. I definitely adopt those four values for my (future) family hehehe, Amen.

    ReplyDelete
  5. kayaknya gw bisa jadi anak laki2 bokap lu juga, soalnya gw bisa berenang, seneng naik sepeda, pernah ikut karate buat persiapan kalo ada yg ngajak berkelahi, dan mengemudi seperti sopir bus antar kota antar propinsi bwahahahahaa

    ReplyDelete
  6. bokap gue juga pernah ngomelin kakak gue gegara waktu smp doi enggak bisa berantem. waktu itu kakak gue enggak ngelawan pas dibully seniornya. kata bokap, kalo ada yang ngajak berantem harus dilawan balik dan harus menang. besoknya kakak gue berani ngelawan. sama gurunya kakak gue diskros tapi doi enggak kapok. tiap diganggu seniornya doi ngelawan... ngelawan... dan ngelawan. sampe akhirnya kakak gue pernah gak naik kelas gara-gara gurunya nggangep doi tukang berantem. ke guru itu bokap gue bilang, "apa salahnya berantem kalau emang memperjuangkan kebenaran?". dalam hati gue, anjritt bokap gue dalem banget. tapi begitu sampe rumah, bokap gue tetep ngomelin kakak gue gara-gara ga naik kelas wwkwkwkkk........ soal berenang, bersepeda, dan mengemudi... gue juga dapet pelajaran itu. tapi yang ngajarin kakak gue. doi bilang, asal bisa berenang, berlari, dan manjat pohon hidup di dunia aman. untuk yang manjat pohon sampe sekarang gue gak bisa. ahahaha. kakak gue ngajarin gue jadi monyet. trus doi ngajarin gue naik sepeda, naik motor, sama nyupir (padahal sama bokap gue gak boleh. huhh!) kata kakak gue itu supaya gue enggak nyusahin orang pas gede. nulis ini gue baru sadar, bokap gue ngajarin kakak gue jadi pemberani. tp yang ngajarin gue jadi pemberani tuh kakak gue. soalnya waktu kecil kakak gue ga mau punya adek cewek, dia maunya punya adek cowok makanya doi nganggep gue cowok mulu. hahaa.... oyaa gue suka mikir, anak cowok yang dekat dengan ayahnya adalah calon ayah yang baik. amiiinnn.... amin buat lo dan amin buat kakak gue! :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati