Cerita Pendek si Anak Tionghoa
Waktu kecil saya ingin
jadi tentara atau polisi, tentu karena setiap hari Kamis saya menonton
film-film mandarin yang dibintangi Jet Lee, Chow Yun Fat atau Jackie Chan yang
berkisah tentang kehebatan polisi dan tentara dalam layar emas RCTI. Namun
ketika saya memberitahu papa cita-cita tersebut, jawabannya cukup mengejutkan.
“Rio, kita ini orang
tionghoa, di negara ini orang tionghoa tidak punya kesempatan untuk menjadi PNS,
polisi, tentara, gubernur apalagi presiden.” Lalu ia menceritakan kisah anak
Apek Liong, tetangga di kampung seberang. “Si Chen itu di sekolah pintar,
saking pintarnya ia dapat beasiswa dan bisa masuk tentara, tapi udah sekian lama
di sana, jabatannya di situ-situ aja, jadi tukang ketik, mana boleh orang
Tionghoa jadi komandan, apalagi jenderal”. Saat itu saya masih terlalu kecil
untuk mengerti apa itu karir, jabatan atau diskriminasi. Namun, dari obrolan
tersebut muncul kesadaran baru. Saya, cici, papa-mama, A mak- A kong, Aih-Apek
di kampung dan di sekitar toko, tidak pernah benar diterima di tanah ini.
Sejak kecil saya
disekolahkan di sekolah swasta katolik yang terbaik dan termahal yang ada di
kota kelahiran. Di sana, saya berkumpul dengan sesama mayoritas anak-anak
tionghoa, juga segelintir anak pribumi yang orang tuanya punya profesi bergengsi
atau cukup kaya. Ada pagar besi berjeruji dan tembok tinggi mengelilingi sekolah
kami. Di saat anak-anak lain di luar sana masih asyik main berpanas-panasan dan
kotor, kami sudah beradu level tamagochi, digivice atau game di play station.
Hampir kebanyakan
teman-teman sekolah tinggal di rumah toko yang luas dan bertingkat tiga atau empat
yang berada di pusat kota. Di kota kecil itu, pusat kota adalah pasar, yang
sebagian besar disebut pecinan, yang di Amerika disebut China Town, pasar hanya
berjarak 1-2 km dari sekolah. Mereka pulang pergi diantar jemput becak, atau jika
sedang bosan mereka akan membayar lebih abang becak tersebut untuk berkeliling
kota. Konon beberapa dari teman saya punya uang saku perhari melebihi penghasilan
dua hari sang abang becak.
Naasnya, papa punya ruko
di pasar, tapi memilih bangun rumah di pinggiran kota, katanya di rumah kami
lebih tenang dan lebih luas, ia bisa mencurahkan tenaga selepas berdagang
dengan memelihara burung-burung koleksi yang seringkali dibeli jauh-jauh di
Jakarta. Setiap hari, saat pulang pergi ke sekolah, atau main ke rumah teman,
saya harus naik angkot. Buat saya, naik angkot lebih keren dari naik becak,
saya bisa bergantung di pintu sambil berteriak-teriak dan merasakan kerasnya angin
menghempas wajah. Meski jika mama tahu saya bisa habis dipukulinya.
Sejak kecil, papa selalu
mendorong saya untuk main dengan anak kampung belakang. Sebagai gambaran, dulu
dua RW itu adalah tanah milik kong cho, kakeknya papa, namun entah karena apa,
setengah lahan di belakang diberikan untuk pemukiman warga pribumi dan di setengah
lagi yang dekat jalan raya dan rel kereta jadi kompleks rumah cucu-cucunya yang
banyak.
Saat itu, saya antipati
dengan anak-anak kampung belakang. Pernah belasan kali saya coba main dengan
mereka, namun mereka tidak pernah memanggil nama saya, mereka hanya memanggil
saya dengan sebutan cina. Juga mereka dengan halus atau memaksa meminta saya
menjajani mereka dengan uang saku yang saat itu saya anggap tidak banyak. Dalam
bermain bola saya seringkali jadi cadangan, padahal bola itu milik saya.
Semakin bertambah umur saya semakin sadar saya berbeda, saya tidak pernah benar
diterima di tanah ini.
Sekolah itu hanya punya jenjang Tk sampai SMP, sehingga
obrolan paling seru di kelas 3 SMP adalah di mana kami ingin melanjutkan SMA
terbaik di Jakarta, berapa uang masuknya atau seberapa keren sekolah itu.
Bersekolah di SMA negeri paling favorit di kota itu seringkali tidak pernah
menjadi sesuatu yang prestisius. Ada yang melanjutkan ke sana tetapi tidak
banyak.
Ekonomi keluarga sedang
jatuh sehabis krisis moneter, ruko sudah dijual, agak berat bagi papa jika harus
menyekolahkan saya ke luar kota, namun ia tetap berusaha sekuat tenaga, ia ingin
saya sekolah di Regina Pacis Bogor seperti dirinya dikirim A kong dulu. Di lain
pihak biaya cukup besar harus disiapkan setiap bulan untuk cici yang sudah
selesai belajar di SMA di Stella Duce 1 Jogjakarta dan sedang kuliah di
universitas bergengsi di Jakarta.
Setelah proses panjang
yang bisa dibaca di sini. Saya tetap berangkat ke Bogor, untuk belajar di SMA
Katolik Budi Mulia. Namun, dengan embel-embel khusus, saya bersekolah di
Seminari Menengah Stella Maris Bogor. Untuk yang belum pernah mendengar nama
itu, seminari adalah sekolah khusus untuk anak muda yang ingin menjadi pastur.
Selain belajar layaknya SMA biasa, sepulang sekolah siswa seminari harus
belajar bahasa latin, bahasa jerman, pedagogi, pengantar filsafat, logika,
menulis, correctio con fraterna dan masih banyak lagi. Sampai setiap tahun
selama tiga tahun ikut MOS layaknya militer, juga Quo Vadis, acara jalan kaki
Jakarta-Bogor atau kota lain dengan tidak membawa uang sepeserpun.
Untuk anak tionghoa,
seminari adalah neraka pada awalnya. Saya yang terbiasa hidup di komunitas
tionghoa yang nyaman dan aman, kini dikelilingi ratusan anak muda pribumi dari
penjuru Indonesia di tempat yang dingin dan kuno. Teman-teman baru seperti
memandang aneh ada anak Tionghoa “tersesat” di bangunan tua itu.
Tidak mudah belajar hidup
di asrama, terkadang batas antara kehidupan pribadi dan komunitas menjadi
kabur. Apalagi konflik-konflik yang sering terjadi karena perbedaan kebiasaan.
Namun emas ditempa dalam panas yang membara, begitu pula pandangan saya
mengenai hidup diasah dan menjadi lebih terbuka dalam kejadian-kejadian yang
ada: obrolan malam, live in, debat kusir, diskusi terbuka, kadang baku hantam
antar teman menjadi santapan biasa di awal hidup di sana.
Di seminari saya belajar
memahami pandangan anak muda pribumi terhadap anak muda tionghoa. Dari refleksi
pengalaman pribadi, juga sharing pengalaman teman-teman di sana, saya paham seringkali
bukan mereka yang mendiskriminasi, tapi anak-anak muda Tionghoa yang menutup
diri, membangun tembok kokoh yang tak tertembus, hidup nyaman dan aman dalam
benteng sempit. Kurangnya pengalaman empiris banyak anak muda tionghoa
bergesekan dengan realitas yang ada membuat kemampuan mereka untuk lebih paham
dan peka jadi tumpul.
Akhirnya, melalui
refleksi panjang, saya mengerti perasaan didiskriminasi selama masa kecil itu sebenarnya bukan
karena memang benar saya didiskriminasi, Cuma saya saat itu yang tidak tahu
cara bergaul selain cara bergaul di komunitas saya. Saya merasa apa yang
berbeda dengan kebiasaan saya adalah salah. Sedangkan hidup begitu kompleks
dibandingkan keseharian selama saya hidup di komunitas kecil dan eksklusif.
Saat melanjutkan studi di
Universita Sanata Dharma Yogyakarta, saya juga belajar akhirnya, jurang lebar
dan menganga antara orang tionghoa dan orang pribumi bukan alamiah terjadi. Ada
peran Belanda dulu kala memecah-mecah bangsa ini sehingga tidak pernah bisa
melawan mereka. Fakta sejarah, orang-orang Tionghoa pernah berperang bersama orang pribumi
melawan Belanda berkali-kali, itu yang ditakutkan Belanda akan terjadi terus menerus.
Jika belajar dari masa lalu, selain oleh pedagang Arab, agama Islam juga dibawa
oleh orang China ke Indonesia.
Lebarnya kesenjangan
antara orang tionghoa dan orang pribumi juga diperparah saat pemerintahan orde
baru, Soeharto memberi peran besar pada orang Tionghoa untuk mengurus perekonomian Indonesia
tapi juga mendiskriminasi eksistensi budayanya. Mirip dengan cara Belanda, Pemerintahan
orde baru mendapat untung dari perekonomian yang digerakan orang Tionghoa namun cuci tangan dan menjadikannya tumbal
saat terjadi pergolakan sosial. Di lain sisi warga Tionghoa dikondisikan dan
tidak punya pilihan untuk menerima madu sekaligus racun tersebut. Parahnya, warga
pribumi dicuci otak bahwa setiap kemiskinan dan kesenjangan yang terjadi
disebabkan oleh keserahakan warga tionghoa, bukan akibat kelalaian dan korupsi
masif pemerintah saat itu.
Meski pada akhirnya
status pemisah, pribumi no-pribumi, WNI keturunan dan WNI pribumi sudah tidak
ada, kesenjangan itu masih ada, lebar dan menganga. Sebagai bangsa Indonesia
kita masih perlu waktu panjang belajar untuk saling memahami dan menerima
perbedaan yang ada.
Selama kuliah saya
mencoba aktif di kegiatan alam bebas dan menjadi sukarelawan dalam pendidikan
non-formal maupun bencana, dengan satu misi, menyadarkan orang-orang bahwa orang
tionghoa itu punya rasa memiliki yang sama besar terhadap negara ini dan juga
peduli terhadap sesama. Bahwa pandangan banyak orang selama ini keliru. Namun
akhirnya saya menyadari, satu PR besar saat ini adalah bukan tentang bagaimana
rakyat Indonesia menerima warga keturunan tionghoa sebagai bagian dari
keberagamannya, atau bagaimana mereka memahami trauma yang dialami orang
Tionghoa.
PR terbesar adalah
bagaimana menyadarkan orang tionghoa kalau mereka adalah bagian dari Indonesia.
Bagaimana membuat mereka perlahan-lahan keluar dari trauma komunal, mengikis tembok tebal tinggi yang sudah terlanjut
berdiri dan mau bersentuhan dengan orang-orang di luar komunitasnya.
Tabik
"PR terbesar adalah bagaimana menyadarkan orang tionghoa kalau mereka adalah bagian dari Indonesia. Bagaimana membuat mereka perlahan-lahan keluar dari trauma komunal, mengikis tembok tebal tinggi yang sudah terlanjut berdiri dan mau bersentuhan dengan orang-orang di luar komunitasnya."
ReplyDeleteBetul sekali, saya sendiri yang memiliki banyak teman tionghoa semasa SMA masih merasakan hal serupa. Permainan, pergaulan, dan selera melirik kaum hawa masih memiliki standarnya sendiri, tidak membaur - bahkan tidak berusaha nenbaur. Terima kasih Rio, sudah memberi contoh bagaimana ras dan warna kulit bukanlah tembok penghalang untuk berkawan.
Rio termasuk orang yang beruntung, punya pemikiran luas, hingga bisa mengikis tembok tebal tinggi yang ada, bisa membaur dg masyarakat pribumi. Sukses Rio....senang membaca lagi tulisanmu
ReplyDeleteSaya baca tulisan ini kok jadi sedih..
ReplyDeleteSebetulnya saya punya darah keturunan Tionghoa. Tetapi keluarga saya yang dominan Jawa mengajari saya untuk selektif, tidak memamer-mamerkan urusan genetik tersebut. Kata mereka, mereka takut jika orang sekitar kami tahu bahwa kami ini turunan Tionghoa, mereka akan sentimen kepada kami (lingkungan kami umumnya adalah muslim, pribumi, PNS/tentara).
Saya harus berinvestasi besar untuk alasan networking supaya bisa bergaul dengan kawan-kawan Tionghoa. Mereka memang umumnya lebih tajir, tetapi juga lebih eksklusif. Betul, banyak sekali dari mereka yang menutup diri terhadap pribumi. Lucunya, mereka yang menutup diri ini adalah teman-teman dari keluarga Tionghoa yang sudah tinggal lama di Indonesia. Tetapi jika saya studi banding dengan orang-orang Tionghoa yang tinggal di China Daratan sana, mereka baik-baik saja terhadap akulturasi. Jadi saya rasa memang keeksklusifan kaum Tionghoa di Indonesia terjadi karena ulah sistem politik penjajah Belanda dan pemerintahan masa Orde Baru.
Saya mengharap generasi Tionghoa sekarang lebih terbuka dan mau berbaur. Karena sifat tertutup tidak menghasilkan keuntungan apa-apa.
Rio, main sama saya yuk. Saya bukan Tionghoa murni, saya lebih pribumi. Tapi saya nggak diskriminatif terhadap "Cina" :)
gw mau bikin cerita pendek gadis arab ah hahahahaa
ReplyDeleteSalam kenal Bro Rio....ternyata kita satu almamater di Seminari Menengah Stella Maris Bogor...
ReplyDeleteTerima kasih atas refleksinya brader....mencerahkan!!!
Bro Rio,, dari pengalaman saya.. Betul sekali,, banyak orang tionghoa yg menutup diri. Saya punya beberapa teman tionghoa di sekolah dan lingkungan bermain,, sebagian terlalu menutup diri sehingga saya juga susah untuk mengakrabinya, dan sebagian lagi memang orangnya membaur, sehingga saya pun mudah untuk akrab dengan mereka.. Bahkan waktu itu, di klmpok bermain sepeda fixie saya,, lbh banyak anak2 tionghoa daripada non tionghoa nya..
ReplyDeletesalam
-Traveler Paruh Waktu
pribumi itu sampah, masuk gak bs diajak bergaul dan diajak berteman. tulisan diatas saya rasakan jaman kecil, main bola terus bolanya masuk rumah orang, gw yg cina disuruh gantiin bola. kan kampret ya temenan sama pribumi. udah saat dewasa pun sama orang pribumi kebanyakan daya pikirnnya pendek
ReplyDelete