Kemping Ceria Pantai Nyang-Nyang



A friend is a gift you give yourself.”
― Robert Louis Stevenson

Walau sudah melewati titik paling terang dalam satu periode, bulan masih menggantung di angkasa dikelilingi galaksi Bima Sakti. Di bawah mereka, Pantai Nyang-Nyang yang biasanya gelap gulita terusik oleh kami, lima orang manusia yang mendirikan tenda dan menyalakan kayu bakar. Jam menunjukan pukul 21.00 WITA tetapi Nanda dan Westi masih asyik bereksperimen memasak ayam saus asam manis, berkali-kali mereka mencicipi dan menambah bumbu ke dalam frying pan namun belum juga menemukan kesepakatan rasa sempurna.

Rencana berkemah ini benar dadakan, seperti kegiatan berkemah sebelum-sebelumnya. Ketika tenda dan trangia yang dipesan dari Tandike Jakarta tiba dengan selamat pada hari Jumat sore di Bali, otak ini langsung berputar mencari tempat untuk menjajal dua alat tersebut. Awalnya, Lembongan yang dijadikan destinasi pertama. Namun, Asong yang tiba-tiba mengajak untuk mendaki Bukit Songan mengubah rencana pertama. Lelaki asal Salatiga itu baru resign dari tempat kerja demi mengejar pekerjaan lain yang bisa mendukung mimpinya keliling Eropa.Sebagai teman yang baik, kami anggap ia sedang butuh penguatan dan dukungan, hal tersebut yang membuat saya dan Westi menyanggupi kemana saja ia mau pergi.

Rencana berangkat molor dari yang semula meeting time jam 14.00 WITA di McDonalds Gatsu Barat berubah jadi jam 17.00 di KFC Jimbaran. Ya, dalam prosesnya kami bimbang mau pergi ke mana. Di detik-detik terakhir Bukit Songan jadi tampak tidak menarik. Alhasil nama Pantai Nyang-Nyang muncul tiba-tiba dan kami semua menyanggupinya. Nanda dan Ndong, dua sahabat Asong dari TK di Salatiga ikut dalam rombongan kami. Mereka berpenampilan dan membawa perlengkapan selayaknya orang yang akan mendaki gunung, tentu karena ekspektasi mereka akan mendaki Bukit Songan.

***

Tidak ada penunjuk arah yang pasti untuk menuju Pantai Nyang-Nyang, bekal kami hanya ingatan Westi yang sudah pernah datang ke tempat ini. “Pokoknya ada laundry dan warung beberapa ratus meter sebelum masuk ke gerbang Pura Uluwatu” jelas Westi di atas motor. Hari sudah lewat senja ketika kami menemukan jalan masuk.

Selepas melewati jalan semen membelah kebun warga yang hanya cukup satu motor, kami masih harus melintasi jalan makadam bercampur batu gamping. Infrastruktur menuju pantai ini belum dibangun, atau memang sengaja dibiarkan rusak agar tempat ini tetap eksklusif bagi para tamu resort. Bila kamu tidak terbiasa bermanuver mengendarai motor melintas medan berat, jangan coba-coba di sini.

Terdapat satu pondok terbuka di sebelah lahan kosong tempat parkir motor. Anggap saja ini check point terakhir karena setelah itu pejalan harus menuruni sekitar lebih dari tiga ratus anak tangga untuk menuju tepi pantai. Pohon-pohon besar yang menaungi tangga jadi tampak mistis saat malam hari.

***

Waktu berlalu beberapa belas menit ketika semua menu dihidangkan: ayam asam manis, nasi bungkus dan aneka gorengan. Tentu saja jangan berpikir kami memasak itu semua di lokasi. Nasi dan gorengan sudah dibeli saat perjalanan melewati Jimbaran. Sedangkan, daging ayam sudah digoreng sedari di kos dan bumbu asam manis instant yang membawa keajaiban rasa. Disaksikan api unggun, dua chef itu hanya menumis dan menambahkan air, garam serta gula ke dalam frying pan. Disejukan angin pantai dan diiringi lolongan anjing dari kejauhan, semua makan dengan lahap. Teringat kutipan dari buku A Room of One’s Own karya Virginia Woolf, “One cannot think well, love well, sleep well, if one has not dined well.” Saya amini dalam hati.

Sambil menata ruang di dalam perut, snack ronde kedua keluar air panas beserta teh chamomile, teh apel, kopi aceh dan aneka kopi sachet. Obrolan mengalir layaknya Sindang Gila di kaki Rinjani. Ndong belum lama tiba di Bali, ia datang untuk magang di sebuah perusahaan advertising di Bali. Sahabatnya, Nanda, juga belum masuk hitungan sebulan tinggal di pulau yang tanahnya semakin mahal ini, ia yang sebelumnya tinggal di Jakarta mendapat penugasan di Bali dari tempat kerjanya sampai waktu yang tidak ditentukan. Kami semua pendatang yang mencoba peruntungan di Bali. Hidup memang tidak pernah selalu mudah sebagai perantau, tapi mengutip dari P.C. Cast “If you have good friends, no matter how much life is sucking , they can make you laugh”.

Tidak ada satu dari kami yang teringat berfoto sampai Nanda melemparkan ide itu ke udara. Tidak semua orang bisa menghasilkan foto malam yang sempurna, beruntung Ndong, Nanda dan Westi memiliki kemampuan fotografi yang mumpuni. Kamera dengan lensa lebar siap di tangan Ndong serta tripod keluar dari backpack Westi, sayangnya ia membawa tripod tanpa membawa mounting kamera, sehingga sia-sia saja alat itu dibawa. Berbekal batu dan gundukan tanah akhirnya “terrapod” membantu proses pengambilan foto. Satu foto yang bagus sudah lebih dari cukup, kami langsung melupakan kamera dan kembali mengobrol sambil mendengarkan musik-musik dari biola Asong yang menyayat hati juga gendang telinga.

***



Pagi datang, matahari sudah terasa terik meski masih pukul 08.00 WITA. Satu kekurangan berkemah di pantai adalah pejalan tidak nyaman untuk bangun terlalu siang. Berbeda dengan berkemah di gunung, kita bisa bangun lebih siang, Apalagi bila memilih spot yang cukup rindang kita bahkan bisa bangun sampai tengah hari namun cuaca tetap sejuk untuk bermalas-malasan.

Ketika saya bangun, Nanda dan Ndong sudah asyik berenang di pantai sedangkan Asong dan Westi sudah memasak air dan menyiapkan sarapan. Saya memandang sekitar. Lanskap Pantai Nyang-nyang cukup unik, sepanjang pantai dibentengi tebing tinggi sedangkan di antara tebing dan pasir pantai terdapat tanah coklat tempat tumbuh semak dan pohon. Warga lokal membawa sapi-sapi mereka untuk makan di sini. Pantas saja banyak siluet gundukan tanah kering sebesar kepala semalam, ternyata itu kotoran sapi.
Sedari pagi, surfer-surfer juga sudah hilir mudik. Walau tidak ada Lifeguard mereka tetap berselancar di sini, mungkin karena lokasinya yang sepi. Berbeda dengan di Kuta dan sekitarnya yang sudah penuh pengunjung layaknya cendol.

Satu hal yang biasanya disesali pejalan yang datang berkunjung, yaitu “Kembali Pulang”. Keindahan pantai ini bisa jadi salah satu sebabnya, tapi sebab paling utama adalah keharusan menaiki ratusan anak tangga untuk mencapai gerbang, apalagi sehabis lelah bermain air dan haus kepanasan . Selamat berkunjung, selamat menuruni tangga juga semangat untuk menaikinya lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati