Menerawang Terang Kunang-Kunang



Here come real stars to fill the upper skies,
And here on earth come emulating flies,
That though they never equal stars in size,
(And they were never really stars at heart)
Achieve at times a very star-like start.
Only, of course, they can’t sustain the part.

Fireflies in the Garden
By Robert Frost

Hujan membasuh Jalan By Pass Ngurah Rai ketika kami melaju dalam mobil Grandmax yang dikendarai oleh Cok. Di dalam mobil yang disulap jadi karavan serbaguna itu Cok, Rara dan saya berhimpitan di kursi barisan supir sedangkan Syukron di belakang bersanding barang-barang. Kami menuju utara demi memenuhi undangan Pak Made Sukana untuk menjajal Tur Kunang-Kunang yang ia kelola.

Undangan ini bukan tanpa sebab, setelah tadi siang saya, Syukron dan Cok mengisi kuliah umum yang bertema “Peran Digital Content dalam Promosi Pariwisata” di Program Studi Destinasi Pariwisata Universitas Udayana , Pak Made Sukana sebagai dosen pengampu mata kuliah kewirausahaan menawarkan trip ini. “Siapa tahu lewat @IndoInYourHand @backpackidea dan @TravellerKaskus pelaku pariwisata semakin mengenal potensi kunang-kunang sebagai daya tarik wisata” ungkap lelaki yang meraih gelar MBAnya di Bremen-Jerman itu ketika menutup kuliah.

Beruntung hujan reda ketika kami tiba di Puri Ubud, meeting point yang tadi sore kami sepakati dengan Pak Sukana. Tidak berapa lama setelah tiba, Pak Sukana dengan istrinya menjemput kami menggunakan Suzuki AVP. “Kalau di kelas saya jadi dosen, di trip ini saya jadi supir dan istri saya yang jadi guide tur kunang-kunang ini” canda Pak Made Sukana. Ternyata ia tidak bohong. Istrinya, Ibu Apni Tristia Umiarti, merupakan lulusan dari Fakultas Peternakan Universitas Udayana, dalam studi masternya perempuan kelahiran Jepara itu mengambil studi animal behavior, ia yang memang hobi mengamati kunang-kunang sejak lama.

Mobil membawa kami lebih ke atas meninggalkan pusat kota Ubud yang ramai. Pendar lampu-lampu makin jarang seiring perjalanan. Selepas rumah-rumah tradisional dan pura-pura yang mengisi ruang kosong di antara pepohonan rindang, mobil melaju di jalan kecil yang membelah sawah bertingkat yang mengukir bukit. Malam itu purnama bersinar riang, sehingga siluet cahaya di tanah basah menambah khidmat suasana. Tak lama mobil menepi. “Kita sudah sampai di tempat pertama” terang Pak Made Sukana.

Tak usah jauh membelah pematang, beberapa pasang kunang-kunang sedang asyik berpendar di antara rimbun padi yang belum berbuah. Kunang-kunang bisa menyala karena enzim yang dia hasilkan, terang Ibu Apni ketika salah satu dari kami bertanya. Ia melanjutkan, cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang (Photinus pyralis) adalah sejenis cahaya tak panas yang disebut bioluminescence. Hal ini disebabkan oleh reaksi kimia di mana substansi luciferin mengalami oksidasi ketika ada enzim luciferase. Cahaya tersebut merupakan foton yang terpancar saat bahan kimia beroksidasi menghasilkan keadaan berenergi tinggi, yang kemudian beralih kembali ke keadaan normal.

“Kehadiran kunang-kunang menjadi indikator udara masih cukup bersih” terang Ibu Apni ketika kami dalam perjalanan menuju tempat kedua. Hewan yang masuk golongan lampyridae ini sekarang makin susah ditemui di kebun karena kegemaran warga membakar sampah dan daun kering. “Kunang-kunang juga tidak selalu identik dengan cahaya kuning, di berbagai negara ada yang memendarkan warna biru, hijau dan oranye” lanjut Pak Made Sukana.

Di tempat kedua, kunang-kunang yang kami temui semakin banyak. Hanya Cok yang tampak tidak menikmati tur ini. Bukan karena turnya tidak menarik, tapi karena di tempat ini kakinya terjerumus masuk ke sawah, alhasil sepatu satu-satunya yang dia bawa ke Bali itu berlumuran lumpur.

“Coba kamu perhatikan, kedip kunang-kunang tidak selalu identik, masing-masing punya intervalnya sendiri, itu tanda mereka saling mengirim sinyal untuk kawin” jelas Ibu Apni. Cahaya kunang-kunang berperan pula sebagai tanda peringatan, untuk memperingatkan antar-sesama jenisnya tentang ancaman bahaya, maupun peringatan bagi serangga dan burung pemangsa agar tidak memakannya. Sebab, zat pemicu pembentukan cahaya kunang-kunang berasa pahit. Kalaupun ada serangga pemangsa yang nekad, mereka biasanya memakan tubuh kunang-kunang dari bagian kepala, terus hingga ke bagian belakang, kecuali bagian perut yang tidak dimakannya.

Di tempat ketiga, kami coba untuk lebih jauh blusukan ke dalam hutan. Di antara semak dan pepohonan rindang, ratusan kunang-kunang berkelap-kelip seperti lampu natal. Sedangkan kunang-kunang yang sedang kawin tampak seperti mata terbang yang mengawasi kami dari balik daun. Syukron berseloroh,di beberapa tempat masyarakat percaya bahwa kunang-kunang adalah perwujudan kuku orang mati karena hewan ini banyak ditemui di kuburan. “ya, benar sekali, karena jarang ada yang berani bakar rumput di kuburan, jadi ekosistem mereka terjaga” timpal Pak Sukana. Dari cerita mereka berdua, di beberapa waktu belakangan ini kunang-kunang juga semakin sulit ditemui di tempat dulu hewan ini banyak berkeliaran.

Dalam perjalanan pulang Syukron bertanya pada Pak Sukana bagaimana kedua pasangan ini bisa menemukan lokasi kunang-kunang ini. “Dulu ibu Apni waktu masih jadi pacar saya punya peternakan percobaan di atas, jadi sering saya antar, ketika pulang malam kami lewat tempat ini dan melihat banyak kunang-kunang, jadi kami lanjut acara pacaran dengan mengamati kunang-kunang” terang Pak Sukana yang dilanjut dengan tawa Ibu Apni.

Sayang sekali kami tidak membawa peralatan dokumentasi yang memadai sehingga tidak bisa merekam suasana dalam foto maupun video. Terbersit keinginan untuk datang lagi ke tempat ini sekedar mendokumentasikan pemandangan yang baru saja kami lihat di sini.

Tur yang dibanderol USD 35 per pax dengan minimal pemesanan 2 orang dan maksimal 4 orang ini banyak diminati pelancong dari negara Jepang dan Singapura. Bahkan banyak pelancong dari negara-negara yang bermandi cahaya itu bahkan hanya pernah mendengar tentang kunang-kunang dari kakek mereka. Selain dari kedua negara tersebut, pelancong dari negara-negara eropa juga cukup signifikan. “Kebanyakan masih muda-muda, mereka menikmati sensasi blusukan malam-malam, malah yang tua-tua jarang ada” tutur Pak Sukana. “tentu saja harga tersebut tidak hanya untuk menikmati kunang-kunang, kami jemput juga ajak mereka dinner di tempat yang tidak biasa” jelas Bu Apni.

Dengan harga tanah di Bali yang semakin melangit, menjadi PR bagi Pak Sukana dan semua pelaku wisata supaya menyadarkan petani agar tidak tergiur menjual sawahnya kepada pengembang. Dengan sawah yang terjaga dan peluang bisnis dari keberadaannya, seperti wisata Kunang-kunang, petani bisa memperoleh manfaat yang berkelanjutan juga alam dan segala kebudayaan yang melekat bisa tetap lestari.

Kehidupan budaya Bali yang kaya sangat berkaitan erat dengan agrikultur di sekitarnya. Bila sawah tidak ada pun apalagi yang akan dirayakan. Bila sawah dan kebun sudah tidak ada di mana lagi anak cucu kita bisa menikmati malam yang dihiasi kunang-kunang?

Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing.

Untuk info lebih lanjut tentang tur kunang-kunang langsung saja kunjungi baliedutours.

Foto Kunang-Kunang oleh: Muhammad Syukron Makmun

Comments

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati