gn.sindoro ---hanya ada waktu semalam, tidak lebih---




(…………..aku memandang puncak sumbing dari ketinggian, tetap terngiang-ngiang akan janjiku dulu padanya. Aku akan kembali……aku akan……)

setelah obrolan bodoh sepanjang malam dengan teman-teman lama saat di seminari. Menghasilkan ide bodoh, kesepakatan aku dan maro akan mendaki gn.sindoro hari itu juga. Pukul 03.00 kami tidur dan terbangun jam 07.00. setelah semua tugas dan kegiatan di siang hari selesai. Dengan menggunakan
motor budi kami bergerak menuju desa kledung-temanggung.



Pendakian kali ini benar-benar tanpa persiapan. Hanya berbekal perkiraan hari itu kemarau maka takkan hujan dan perhitungan kami akan mencapai puncak setelah mendaki tanpa henti sekitar 8 jam. Maka aku hanya membawa 1 carrier berisi baju hangat, air 5 botol, nesting, serta analog SLR Yashica FX-3 Super pinjaman dari winda lens club yang diisi dengan film Kodak Colorplus 200. sedangkan maro hanya membawa daypack yang berisi 3 botol air, roti tawar coklat 3 bungkus, energen 4 sachet dan sedikit obat-obatan. Tanpa membawa jas hujan, sleeping bag,matras apalagi tenda. Kami akan mendaki.

Pukul 19.40, kami tiba di desa kledung. Selesai melapor ke base camp pendakian, mengisi air (karena sepanjang trek tidak ada mata air) dan makan malam. Setengah jam kemudian kami mulai mendaki. Keluar dari perkampungan trek awal yang dihadapi adalah jalur yang membelah perkebunan sayur milik penduduk. Jarak pandang paling jauh hanya 3 meter karena kabut melingkupi perkebunan ini. Jalan cukup landai dan hanya sedikit menanjak sehingga tidak begitu terasa. Namun Jaraknya cukup panjang sehingga lebih dari 1 jam dihabiskan hanya untuk mencapai batas ladang.



Setelah keluar dari ladang,kami memasuki hutan pinus.jalan mulai menanjak tapimasih cukup lebar untuk berjalan berdampingan. Tak lama kemudian kami sampai di pos.I cibajing ( 1900 mdpl). Pos tersebut sudah runtuh tak layak lagi dipakai berteduh saat hujan. Kami tak bisa berlama-lama sehingga perjalanan terus dilanjutkan.

Sekeluar dari cibajing jalan mulai agak terjal. Di sisi kiri dan kanan masih dipenuhi pohon pinus. Lalu kabut juga semakin tebal memaksa kami berjalan perlahan dan ekstra hati-hati melangkah. Jalan-jalan penuh lubang karena tanahnya yang rapuh.



1,5 jam kemudian kami menemui persimpangan, sekilas tampak jalan ke kanan lebih sempit dan menurun oleh karena itu kami memilih jalur ke kiri yang menanjak dan juga lebih lebar. Namun, setelah 20 menit berjalan kami menemukan jalur ini buntu dan jarang dilewati. Sesegera mungkin kami berbalik ke semula dan mengambil jalur ke kanan.

Trek jalur kanan awalnya menurun sempit menyusuri bibir jurang, setelah itu trek sebenarnya baru terlihat. Jalanan terus menanjak dan berpasir sehingga berkali-kali kami terperosok karena hilang keseimbangan setelah menjejakan kaki di tanah pasir berbatu yang rapuh. Setelah beberapa jam melewati jalan dengan medan serupa kami sampai di pos.II cawang.

Kabut tebal sudah jauh di bawah. Sambil berdiri angkuh di pos ini, setelah keluar dari pekatnya jeratan kabut,a ku baru menyadari malam ini bulan bersinarterang dan langit cerah tak berawan khas musim kemarau masih ada. Bintanpun berserakan bebas untuk dipandang. Kami sudah berada di vegetasi yang berbeda, dipenuhi pohon-pohon pendek, suhupun semakin turun. Trek selanjutnya samar-samar terlihat karena cahaya bulan tak terhalang.

Tak berlama-lama, kami segera meneruskan perjalanan, di malam yang cukup cahaya kami mendaki penuh semangat walaupun lelah. Kondisi jalanpun masih tetap terjal berpasir penuh bebatuan. Namun, malam ini alam cukup ramah. Angin tidak bertiup kencang hanya sesekali berhembus lembut memebelai.

Semakin ke atas, aku terheran melihat alam sekitarku hitam pekat di tengah malam yang mandi cahaya. Aku memandang ke seluruh penjuru dan tersadar separuh gunung ini hangus terbakar. Tak ada siluet pohon-pohon dataran tinggi atau padang eddelweish dengan wangi khasnya. Yang ada hanya alam hangus terserpih merintih. Hening sekali, seranggapun tak berbunyi seiring dengan tak ada daun segar tersisa. Aku terdiam dan memandang sedih.




Pukul 03.00 kami tiba di pos.III seroto ( 2530 mdpl). Pos ini hanya berupa dataran luas berpasir dikelilingi padang eddelweish yang hangus terbakar. Kami memutuskan beristirahat disini dan berniat membuat api unggun sambil menunggu pagi. Setelah mencari-cari ke dalam carrier dan tidak menemukan yang kami cari. Aku tertunduk lesu. Tak ada spirtus, paraffin atau lilin. Semua itu tertinggal saat packing. Tapi kami tidak menyerah, dengan bermodal api dari kompor gas kami mencoba. Tapi api unggun yang dibuat tidak stabil karena arang tidak terbentuk. Setelah menghabiskan 1 jam dan berkali-kali gagal kami memutuskan untuk melanjutkan pendakian saja daripada diam lalu mati kedinginan.

Sekitar pukul 04.00 kami beristirahat setelah berjalan terus selama kurang lebih 2 jam. Bukan kelelahan yang menyerang tapi kantuk yang melanda. Dari ketinggian sedikit demi sedikit garis cakrawala berwana kemerahan tanda fajar hampir tiba. Puncak sudah terlihat sangat dekat tinggal 1 bukit lagi. Di sini kami duduk memandang lagit, menengadah pada gunung sumbing yang tetap angkuh berjubah awan, menemani sedikit padang eddelweish berbunga yang tersisa.

Tak terasa, sudah 2 tahun berlalu sejak aku mengajak anak itu, adik kelasku di seminari, maro mendaki gunung salak. Saat itu pendakian perdananya waktu kami tersesat saat naik dan juga turun. Sekarang dia bukan lagi anak kelas 1 SMA polos yang mudah ditipu dengan omongan puncak sudah dekat saat frustasi dan kelelahan. sekarang kami berdua setelah sama-sama keluar dari seminari duduk di tebing ini dalam diam. Mencoba bercinta dengan alam. Memilih untuk terjun bebas pada piiran masing-masing.




Beberapa saat kemudian matahari muncul perlahan, menyadarkan kami untuk berhenti menyelam di lautan imajinasi. Hangat menyentuh kulit sinarnya. Perlahan rerumputan di sekelliling kami berwana keemasan tertimpa cahaya pagi. Itulah kenapa aku mencintai matahari dan tak pernah menghindarinya walaupun begitu menyengat di siang hari. Matahari adalah lambang harapan untukku.

Pukul 06.00 matahari sudah lebih hangat, maka kami memutuskan untuk tidur sejenak di atas tumpukan ilalang yang empuk Sekedar memuaskan keinginan tubuh. Satu jam kemudian kami bangun dan setelah melanjutkan 10 menit mendaki kami tiba di puncak sindoro. Kawah mati itu terbuka menyisakan amarah alam yang pernah terjadi ribuan tahun lalu.

The end

Comments

  1. ajak-ajak lah gw sekali sekali naik gunung, photo katalog diatas gunung sepertinya edaaaaannnn

    ReplyDelete
  2. Wow... Naik gunung dengan persiapan minim dan rencana yang tercetus seketika. Hohoo... salut dengan jam terbang kalian untuk menaklukkan puncak pegunungan itu.

    ReplyDelete
  3. wah, ketemu satu lagi temen jalan nih :) Salam kenal yaaa.. Btw masih tinggal di Jogja kah?

    ReplyDelete
  4. gratis dan akomodasi (klo mau di kos2an) hahha
    nti kita bawa model buat difoto di gunung pake baju-baju desainmu

    @merry : lebih salut lagi yang pernah ke makau hahhaha

    @herfina : masi koq..masi kuliah di jogja..klo mau jalan ajak2 lha

    ReplyDelete
  5. Waduh mas Yashica FX-3 saya sudah dilego tuh, habis saya pikir daripada nggak dipake dan dimakan jamur..padahal itu SLR saya yang pertama lho..hiks..

    ReplyDelete
  6. Gile...
    Persiapan (eh tanpa perispan gitu) bisa tancap gas kesono....

    Ane pasti kesono kapan2...
    PASTI
    :D

    ReplyDelete
  7. @tukangphoto : ntu kamera bener2 tahan banting...dah jatuh berguling2 waktu dibawa ke rinjani tapi masi bener ja mpe skrg

    @bandit perantau : kabar2 ja klo mau naek.sapa tau kita bisa naek brg

    ReplyDelete
  8. salam kenal kak'

    brp ya pasarannya Yashica FX-3

    ReplyDelete
  9. wah, bener2 pelancong sejati nih

    ReplyDelete
  10. kpn mau muncak lg bang?
    salam lestari.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati