Dieng, ---perjalanan "yang penting pernah ke sana"----

REFLEKSI PAGI HARI




Kubuka perlahan mataku. Di pagi yang tak kutahu cerah atau tidaknya. Tak ada kicau burung atau alunan lagu klasik seperi di film. Potongan-potongan perjalanan turun kemarin, sebuah mimpi buruk, Melintas berkali-kali dalam pikiran. Kucari handphone untuk memantau waktu. Ternyata dia mati lemas tak bertenaga. Di sekelilingku, manusia-manusia itu, teman-teman seperjalanan. Bergelimpangan seperti sapi-sapi kurban di penjagalan. Pulas sekali tidur mereka. Seakan berpesta dengan dirinya sendiri. Setelah menang atas keberanian untuk mati.

Pendakian turun kemarin menimbulkan trauma tersendiri. Berjalan turun tanpa air tersisa. Melewati jalan-jalan yang tak bersahabat ditemani debu-debu yang memenuhi kerongkongan. 7 jam terus berjalan mendaki turun batu-batu terjal itu dengan penghliatan yang berkunang-kunang kelaparan. Terik matahari dan dinginnya kabut berganti-gantian menggoda kaki yang gemetaraan namun tetap dipaksa bekerja rodi. Kami berani untuk hidup maka sekarang kami masih tergeletak disini. Menaklukan depresi akut yang menggoda kami untuk menyerah takluk pada keinginan mengakhiri semua derita itu dengan menyerah kepada maut. Adalah kebodohan untuk berani mati.



DIENG: TUNGGU KAMI !!!!
Pukul 10.00 ketika packing, makan pagi,merokok dan mandi sudah tuntas. Kami bergegas turun ke jalan raya untuk menuju dieng. Namun karena supir bis menunggu bis penuh penumpang. Kami sempat-sempatnya menggunakan waktu untuk makan pagi kedua kali di warung terdekat.

Naik bis menuju wonosobo lanjut lagi dengan bis ke dieng. Sepanjang perjalanan berkelok menanjak dan memutar bukit menuju dieng. Hanya ladang-ladang sayuran penduduk yang menghibur mata. Indah sekaligus mengerikan. Mereka membuka lahan di lembah-lembah, tanah di atasnya sampai tebing-tebing curam. Akan sangat berbahaya bila musim hujan. Bahaya longsor setia mengintai keselamatan buruh tani itu. Tapi apa pemilik modal atau pemerintah peduli keselamatan manusia-manusia kecil itu bila kepentingan sudah disandingkan dengan tumpukan uang.

Sore sekitar pukul 15.00 kami tiba di dieng. Sejujurnya kami tak tahu mau kemana. Dalam imagi kami dieng adalah satu tempat wisata. Ternyata dieng adalah nama daerah dengan banyak tempat wisata. Hanya berbekal peta besar yang dipasang di baliho raksasa pinggir jalan kami segera menuju candi arjuna. Kenapa ke candi??? Karena itu tempat terdekat dari lokasi kami turun dans atu-satunya yang masih terjangkau dengan berjalan kaki.



Dieng memiliki lanskap yang unik. Dari kejauhan terlihat gunung sindoro yang seolah terjepit rapatnya hutan pinus di sisi utara candi. Terdapat telaga besar di timur candi yang airnya diamnfaatkan petani sayur untuk mengairi ladang kubis di balik hutan pinus. Di perbukitan selatan candi asap terus mengepul dari tambang belerang. Bila mau berjalan sedikit, terlihat museum candi yang tua namun terawatt di kaki bukit.

Senja beranjak kelam namun kami masih tak tahu harus menginap dimana. Berdasarkan informasi dari penjaga candi pendopo kecil di dalam kompleks candi boleh digunakan untuk bermalam. Lantainya dari kayu maka tidak akan sedingin bila alasnya batu. Oleh sebab itu rencana awal hanya akan tidur dengan matras dan sleeping bag. Tetapi semakin malam angin dingin musim kemarau terus-terusan berhembus perlahan. Karena ingin barang-barang lebih aman sehingga tidur lebih tenang dan mencari kehangatan lebih. Kami dirikan tenda di dalam pendopo itu. Tampak bodoh memang, tapi sangat membantu.

Pukul 05.00 kami terjaga. Tetapi sandi dan budi hanya berminat untuk memenuhi nafsu tidurnya. Maka di pagi buta hanya aku dan dendy yang bergerak keluar kompleks candi . Seperti siskamling kami menuju baliho besar kemarin. Itu karena kami tak tahu mau kemana, maka mata kami satu-satunya adalah peta. Hasil konsultasi dengan peta adalah saran untuk menuju kawah sileri. Tempat itu yang terdekat dari candi arjuna dan menurut perhitungan kami (yang lagi-lagi tidak tepat) cukup dekat untuk ditempuh dengan jalan kaki. Harap maklum, uang di kantong sudah tidak cukup untuk menyewa ojek.

Kami berjalan menuju selatan ke arah kawah menuruni bukit-bukit penuh ladang sayuran tanpa lampu jalan. Langit gelap gulita tanpa bulan namun awan tampaknya kali ini tak bermalam. Cerah sekali sampai bintang-bintang berserakan jelas dipandang dari bumi yang berjarak jutaan tahun cahaya.

Langit merupakan pemantik akan ide-ide filsuf saat mempertanyakan kehidupan. Tempat pujangga-pujangga besar memainkan imajinasinya dan tanda bagi nelayan dan petani untuk menentukan musim dan mencari arah. Tapi kini, manusia-manusia modern membuat cahaya-cahaya artificial dalam skala massif. Menimbulkan polusi cahaya yang mengacaukan siklus hidup binatang-binatang malam. Mengaburkan keindahan alami dengan keinginan untuk terus mengalami siang. Hal itu membutakan generasi penerusnya akan kenikmatan bercengkerama dengan siluet-siluet alam dan cahaya purnama. Aku bersyukur kepada Tuhan karena masih punya kesempatan dan kekuatan untuk bergulat dan bercinta dengan alam.



Peta di baliho layaknya penduduk local kaki merapi. Mengatakan jaraknya dekat tapi kenyataannya mendaki bukit lewati lembah. Jauh sekali, sampai matahari terbit kami belum sampai-sampai juga. Yang membuat tambah jengkel adalah muncul kebisingan pabrik seiring naiknya matahari. pabrik besar dengan asap raksasa mengepul ke udara. Polusinya sedikit demi sedikit mencemari alam ini. Kerakusan industri mengakhiri semua. Suatu saat nanti, saat pucuk tanaman terakhir telah layu dan semua mata air telah kering. Manusia baru sadar kalau uang tak bisa dimakan.

40 menit setelah melewati pabrik, sehabis menapaki jalan menanjak terakhir. Kawah sileri yang terus menghasilkan uap belerang terbentang luas di hadapan. Tak ada yang istimewa pada kawah seperti ini bagi orang-orang yang biasa mendaki. Setelah mengambil foto dan berfoto narsis sebentar. Kami kembali berjalan pulang. Di tengah perjalanan mampir sebentar di pasar kaget yang penuh petani. Menikmati sepiring bubur sum-sum sambil merasakan hangatnya mataharipagi. Sekembali ke camp beberapa jam kemudian kami pulang menuju yogyakarta.

THE END

Comments

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati

kenapa saya keluar seminari ?