Kekasih dewi anjani –potrait porter senior gunung rinjani-

(“saya pingin rasanya bisa bahasa inggris, pingin ngobrol ma bule-bule yang saya antar” celotehnya sambil tertawa, saat melihatku sesekali mengobrol dengan 4 cewek belanda di dalam tenda. Maka dengan senang hati aku ajak ia bergabung dengan rombongan kami, dengan aku menjadi interpreter keduanya. Dan malam itu ia tersenyum lega karena cewek-cewek belanda itu sangat menikmati masakannya.)




Apa yang membuatku ingin kembali ke rinjani? Berdiri di Puncak gunung aktif tertinggi kedua di indonesia? Danau Segara anak? kolam air panas? Sabana kuning keemasan? Hutan hujan basah? Satwa-satwa langka yang dapat ditemui sepanjang jalan? Air terjun sindang gila? Atau kebudayaan sasak di kakinya? Ya itu sebagian besarnya yang selalu kurindukan. Tapi bukan itu alasan utamaku masih berniat mendaki lagi rinjani, yang perjalanan menuju lombok dan mencapai puncaknya memakan waktu berhari-hari dan menelan biaya sangat besar bagi ukuran mahasiswa miskin kota yogyakarta. Karena alasan terkuat sampai saat ini disini, kaki rinjani, tempat aku bisa lagi memandangi langit luas pekat tak berawan tempat galaksi bima sakti terlihat begitu jelas. Adalah keinginan untuk memotret kehidupan porter-porter gunung ini, yang tersohor akan kekuatan, kesigapan dan keramahannya di seantero dunia pendaki, yang tahun lalu terlewatkan.



Di pendakian pertama dulu, sejak awal fokusku adalah memotret landscape sepuasnya, dengan 4 roll film (36x4=144 gambar) sudah lebih dari cukup, tapi sesal di bawah adalah saat muncul kesadaran banyak cerita dan foto yang akan lebih bernilai dan bermakna dari sekedar foto indah pemandangan, ya, sesuatu yang terlewatkan, Foto dan cerita tentang perjalanan hidup porter-porter itu, orang yang sangat intim dengan kediaman dewi anjani.



Dan kali ini apa yang terlewatkan tidak lagi kulewatkan.



******



all photo taken by : NIKON f-60, 28-80mm, film fuji proplus asa 100




Pak noar kami memanggilnya, entah kami salah dengar sebelumnya, atau memang itu panggilan akrab dari opat, anak muda sekaligus partner yang sedang belajar padanya. karena saat turun gunung, kami mendengar beberapa orang memanggilnya dengan nama pak anwar.



kakek dari seorang bayi dan Bapak dari 3 orang anak tersebut, yang dua terkecil masih sekolah, masing-masing di SMA dan SMP,

seringkali dari kejauhan terlihat kecil berhenti menunggu kami di ujung tanjakan yang tingginya sudah membuat kami lelah sebelum mendaki. Dengan rokok yang selalu menghiasi bibirnya, akan kembali berjalan cepat meninggalkan kami saat mulai memperpendek jarak.

Ya, tahun ini sudah hampir 30 tahun ia menjalani profesi tersebut, karena ia termasuk orang pertama yang membuka daya tarik kemudahan dan keamanan petualangan alam liar rinjani bagi wisatawan asing yang datang ke lombok. Seingatnya, ia sudah mulai menjadi porter sekitar awal tahun 80an. “waktu itu bapak masih muda, masih bujangan” celotehnya sesaat.



Di usianya yang tak lagi muda, mencapai usia 56 tahun ini, matanya masih tajam dari kejauhan mengawasi kelengkapan rombongan pendaki yang ia jaga , kakinya masih kokoh menjejak, urat-urat menonjol di bahu dan kakinya yang berotot, kulitnya legam terbakar matahari, kesigapan dan kecepatan serta kekuatannya membuat malu pendaki-pendaki muda pongah yang selalu bangga pernah ke tempat ini, termasuk aku.





“Pos-pos di gunung ini dulu saya termasuk yang bangun, bawa bahan-bahan dari bawah, trus batu-batunya dicari di kali-kali lava dingin” obrolnya, sambil menyeruput kopi panas, saat itu malam pertama mendirikan tenda di pos 2. Di depan api unggun kami berbagi cerita. kalau kamu datang kesini dan melihat banyak jembatan-jembatan besar penuh semak belukar dan akar pohon yang membelah sungai-sungai lava beku dan cukup untuk dilewati mobil di bukit-bukit pertama jalur pendakian, tentunya itu bukan sengaja dibuat untuk para pendaki, tapi untuk presiden ke-2 kita yang dulu dipuja dan kini dibenci, dulu ia sempat berniat mendaki rinjani, setelah gubernur membangun infrastruktur dengan menghabiskan anggaran daerah dan merusak kealamian alam ini, bapak pembangunan kita tercinta itu membatalkan niatnya,. Dan lagi-lagi pak noar adalah orang yang ikut membangun jembatan-jembatan itu.




Ia selalu mendaki jauh meninggalkan kami, dengan logistik dan segala perlengkapan berat ia melangkah cepat tergesa menuju pos selanjutnya tempat kami akan berhenti. Bukan karena ia tidak cukup sabar menunggu kami yang lambat merayap, tapi ia ingin memastikan saat nanti kami tiba di pos, sudah ada teh manis panas dan nasi hangat beserta lauknya yang siap kami santap sembari istirahat. Dan di pos tempat kami berencana menginap, tentu tenda sudah mantap berdiri saat kami tiba, membuat kami tersenyum lega, rasanya tidak pernah mendaki senyaman ini. Dan itulah pak noar, tidak pernah alpa melakukannya.



“bapak boleh makan roti ini? Untuk buka puasa” dengan sopan ia meminta izin, mendekati maghrib, sore itu, “tentu saja boleh pak, apa yang kami makan , ya bapak ikut makan, bapak kalau mau tinggal ambil saja” jawabku seketika. Kesan yang sangat baik, cukup menamparku, walaupun tidak sekolah ia memiliki etika yang terpuji, kalau aku di posisinya mungkin langsung aku makan saja karena pasti saat itu aku tidak sadar ada roti yang masih tersisa. Dan yang lebih mengesankan ia tetap puasa, walupun sepanjang hari harus mendaki dan membawa beban berat.



“saya pingin rasanya bisa bahasa inggris, pingin ngobrol ma bule-bule yang saya antar” celotehnya sambil tertawa, saat melihatku sesekali mengobrol dengan 4 cewek belanda di dalam tenda. Maka dengan senang hati aku ajak ia bergabung dengan rombongan kami, dengan aku menjadi interpreter keduanya. Dan malam itu ia tersenyum lega karena cewek-cewek belanda itu sangat menikmati masakannya.


“bapak suka sedih, kalau tamu tidak menghabiskan makanannya, rasanya kecewa tamu gak suka masakan saya” lanjut obrolannya saat membongkar tenda dan mem-packing alat-alat masak saat bersiap menuju pos terakhir plawangan sembalun. Ya, selain sigap pak noar juga pandai masak, malam itu kami makan ayam plecing dengan sup pedas, keesokan paginya kami makan nasi goreng lombok dengan telur dadar tebal. Dan semua masakannya termasuk dalam kategori enak. Malahan dia juga bisa membuat pancake dan kue-kue simpel walaupun itu di tengah alam bebas. sayang saat itu kami tidak membawa bahan makanan yang cukup lengkap. “ya, mungkin mereka tidak habiskan karena bapak masaknya terlalu banyak, bisa jadi karena belum biasa dengan masakan lombok yang pedas-pedas” hiburku sesaat. Lalu ia hanya tersenyum kecil.



Cuaca benar-benar tdak bersahabat saat kami tiba di pos terakhir, hujan badai menerpa dan petir terus menyambar, membuat nyaliku benar-benar ciut, dan kami berada di tenda yang seharusnya tahan hujan ( kalau dipasang dengan benar), sedangkan pak noar membuat tenda dari terpal yang selalu dia bawa dan selama ini menjadi alas tidurnya saat di pos yang beratap, sedangkan untuk rangka ia gunakan bambu tebal yang selalu dipakai untuk memikul, benar-benar survival sejati, bisa dilihat dari bentuk tendanya, sesuai dengan bentuk bivak darurat yang aku pelajari di komunitas mapala kampus. Saat kami semua menggunakan sleeping bag untuk tidur, ia hanya menggunakan kain songket yang terlihat sangat tua dan lusuh. Ketika kami menerjang lumpur dengan sepatu trekking yang kokoh tapi masih kadang terjungkal, ia hanya menggunakan sendal jepit tipis namun tetap lincah mendaki dengan beban berat di bahuya.

Di malam terakhir sebelum summit attack, ia menawarkan diri untuk menemani ke puncak. “ bapak khawatir sama mba-mba yang itu, takut hilang lagi, soalnya sering ada yang salah jalan waktu masuk ke punggungan” ungkapnya, menurutku kekhawatirannya sangat beralasan, selain aku sadar kondisi karena sudah pernah melewati trek tersebut, sore itu suyan dan vera hampir saja hilang di tengah hujan badai karena salah jalan, ia masuk jalan menuju danau saat kami menuju tempat tenda didirikan, untung saja opat cukup cepat mengejar mereka sebelum turun terlalu jauh. Mereka sudah sangat kelelahan dan tetap memaksakan diri naik ke puncak meskipun di cuaca yang tengah memburuk.

Malam itu, malam takbiran , di pondok sembalun, gerbang masuk taman nasional gunung rinjani, saat gema suara dari masjid memanggil-manggil, terakhir kali aku melihat pak noar, setelah dia membereskan segala peralatan, memisahkan yang menjadi milik kami dan miliknya, dan menghabiskan segelas kopi serta beberapa batang rokok, ia pamit, dengan senyumnya yang selalu muncul dihiasi giginya yang tidak lagi putih tapi masih utuh, ia berbalik, dari belakang, tanpa beban yang menimpa, tubuhnya masih saja tegap di usianya yang mulai senja, seperti tak sabar ingin segera pulang ke rumah dan menemui keluarga, perlahan memasuki jalan kecil dan menghilang di kegelapan malam.

“Selamat lebaran pak noar……”



“Semoga tahun depan kita masih bisa ketemu….dan mendaki bersama lagi…..” bisikku perlahan..

Comments

  1. Again, salah satu tulisan yang saya suka. Kamu menulisnya dengan sederhana, low profile, tapi sangat mengena.

    Nggak hanya bercerita tentang serunya menaklukkan puncak Rinjani atau perjuangan menuju kesana. Tetapi melihat makna perjalanan dari sisi yang sama sekali berbeda. Membuat pendakian terasa semakin bermakna dan berwarna. Berkontemplasi dari hasil perjalanan, tidak sekedar ajang pamer kepada orang banyak karena pernah mampir ke puncak Rinjani.

    Sejatinya, inilah yang dicari para traveler. Bukan sekedar pemandangan spektakuler dari sebuah tempat, tetapi cerita yang didapat dari perjalanan menuju pemandangan tersebut :)

    ReplyDelete
  2. ahhh membuat iri sajah kau. ke rinjani yang memesona dengan bonus 4 bule belanda, ahhhhhhhh....

    eh emang mudah minjem modal ke credit union? ribet gak? gak ampe ratusan juga sih, tapi kalau boleh yah gak apa-apa, wakakakakaka....

    tapi bisnis gw virtual euyyy, dari kmrn makanya ke tolak karena hal ini, ditambah gak ada workshop plus anak kos ditambah gk punya barang yang bisa di jaminkan kecuali kepala yang isinya ide liar

    ReplyDelete
  3. Hmm..ak gk koment lg deh bwt kamu he..xx calon jesuit sejati nih n mo gantiin anthony de mello ya.ak ttp boleh baca buku2 u ya nanti.emg u org jogja??kok ak gk knal ya ha..xx jesus always love u n me n u u u u.....keep writing ok n i will reading he...xx

    ReplyDelete
  4. ah, rinjani masih dalam-angan-angan...:-)moga ketemu beliau suatu saat nanti...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati