Kota gudeg karena kota pelajar

saat mendengar kata Yogyakarta dan makanan, yang paling sering muncul adalah gudeg, ya makanan yang berbahan dasar nangka ini sudah menjadi trademark dari kota ini, sehingga tidak mengherankan kalau kota gudeg adalah salah satu julukan dari Yogyakarta.

Tapi yang tidak banyak orang luar Yogyakarta tahu adalah maraknya penjual gudeg sangat erat kaitannya dengan banyaknya pelajar yang studi di Yogyakarta. Lalu muncul pertanyaan “koq bisa?”

Saat kita ke Yogyakarta dan bertanya pada orang local, ‘dimana gudeg yang enak?” sebagian besar akan menyuruh kita datang ke wijilan atau gudeg yuk djum yang buka dari siang sampai sore mendekati malam

Tapi coba anda keluar pada malam hari, sekitar jam Sembilan ke atas. penjual gudeg akan menjamur di sepanjang jalan Jogjakarta, terutama di daerah terdapat universitas-universitas besar seperti di jalan affandi, yang sangat berdekatan dengan UGM, UNY dan Univ.Sanata Dharma. Mulai dari yang menggunakan merk berupa angka sampai nama pemiliknya.

“dulu, mahasiswa di jogja rajin-rajin, mereka belajar sampai tengah malam, sehingga suka lapar dan mencari makanan, nah itu kenapa jualan saya rame terus” ungkap bu sarimo, salah seorang penjual gudeg di daerah jalan solo.

Penjelasan yang cukup masuk akal mengingat banyaknya mahasiswa yang berdatangan dari seluruh penjuru Indonesia ke kota ini, dan menjamurnya universitas tentunya.

Setelah saya beberapa bulan berkeliling mencoba dan melihat penjual-penjual gudeg di malam hari, “fenomena mahasiswa lapar rajin belajar sampai larut malam” sudah sedikit bergeser. Yang sekilas muncul adalah “fenomena mahasiswa lapar karena beraktivitas non-studi sampai tengah malam”.

“Kami habis latihan basket buat persiapan turnamen bulan depan, lapar, ya makan gudeg aja yang selalu ada kalau malam, makan di ankringan gak kenyang” Adrian, mahasiswa atma jaya, yang ramai-ramai makan gudeg di batas kota.

“makan gudeg dulu sebelum clubbing, biar gak lapar pas nge-dance di dalam” kata gadis berparas oriental yang tidak mau disebutkan namanya, yang kami temui di penjual gudeg daerah deresan.

“duhh.. klo malam ga bisa tidur, saya makan gudeg, nasinya kan banyak, abis satu porsi pasti langsung ngantuk” jelas herno, mahasiswa pendidikan sejarah univ.sanata dharma yang sedang asyik sendiri makan di gudeg bromo.

“ini..nganter sodara dari bandung , dia pengen makan disini, katanya farah Quinn pernah masuk TV waktu makan disini” ungkap jono, yang kami temui di gudeg pawon.
“mau begadang belajar, besok ada ujian, siap-siap dulu makan gudeg, kalau ga lapar gampang konsentrasi” ujar yanti, mahasiswa dari UGM.

Tapi bukannya orang dari luar Jogjakarta banyak yang tidak suka gudeg, karena tidak terbiasa dengan rasa manisnya , yang terkadang manisnya keterlaluan buat mereka? Pertanyaan itu kembali muncul di benak saya.

“ohh.. gudeg ini langganan saya, gak terlalu manis, malah kuah balado telurnya, pedas banget, bikin mata seger” lanjut bowo, mahasiswa gempal dengan tinggi di atas rata-rata saat kami temui di gudeg bromo.

“gak juga sih. Klo di wijilan emang manis banget,apalagi yang buat oleh-oleh itu, disini keknya sudah disesuaikan dengan lidah orang luar jogja” kata retno, yang datang bersama teman-teman komunitas fotografinya.

“malah gudeg disini ga da manis-manisnya, lebih kuat di rasa gurih, makanya saya suka” seloroh frans, mahasiswa dari ujung pandang yang datang bersama pacarnya.

Jadi tunggu apalagi, datang ke jogja, dan cicipi gudeg, rasakan suasana menjadi mahasiswa yogakarta dengan “fenomena mahasiswa lapar karena beraktivitas non-studi sampai tengah malam”, cicipi segala macam keunikan panganan dari nangka ini, jangan takut karena manisnya, karena banyak yang sudah disesuaikan dengan lidah “wong non-jogja’

Comments

  1. hahahaa... hebat yah orang jogja, sebelum clubbing teteup makannya gudeg :D

    ReplyDelete
  2. Nyeseeelll Desember kemarin nggak jadi ke Jogja dan merelakan tiket PP Jakarta - Jogja hangus :((

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

kenapa saya keluar seminari ?

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati