kenapa saya keluar seminari ?

Banyak orang bertanya kenapa saya keluar dari seminari, banyak juga yang menyayangkan atas keputusan itu, karena menurut mereka panggilan itu langka, jarang-jarang ada yang seperti saya, mampu dan mau masuk seminari menengah di saat anak-anak seusia saya memilih untuk bersenang-senang menikmati masa muda.

 

Pertanyaan besar di dalam hati waktu itu adalah “ apakah saya benar-benar mau dan mampu?”

Oleh karena itu, daripada saya bercerita alasan kenapa memutuskan keluar lebih baik menceritakan penyebab kenapa saya bisa terjebak di seminari menengah itu.

Saat saya mendaftar masuk seminari tidak pernah terlintas di benak saya untuk menjadi seorang pastur. yang hidup miskin, suci dan selibat. Dengan segala tetek bengek spiritualitasnya.

saat itu kelas tiga SMP Mimpi saya adalah menjadi ketua gangster kaya raya yang kegiatannya setiap hari bercinta  di pantai bersama  perempuan-perempuan bule berambut pirang, berbokong montok dan berdada kencang-besar, persis seperti aktris-aktris film porno yang selalu saya tonton sejak awal masa puber, yang setiap bulan di up-date dengan pergi ke glodok, yang setiap hari teman saya pasti main ke rumah untuk menonton film porno karena rumah saya satu-satunya tak berpenghuni dari jam tujuh pagi sampai lima sore. Istilah kerennya saat itu.. BANDAR

saya sedari kecil sangat suka jalan-jalan, sendirian, orang tua saya selalu mendidik saya dan kakak untuk hidup mandiri dan berani untuk kemana-mana sendiri. Oleh karena itu semenjak pertengahan kelas tiga SMP saya sudah pergi ke luar kota sendiri untuk tes-tes di sekolah favorit. Selain karena ingin mencoba hidup di luar rumah, melanjutkan SMA di sekolah favorit dan mahal di luar kota adalah suatu adu gengsi di SMP saya yang notabene siswa-siswinya  kebanyakan dari golongan menengah atas di kota kecil rangkasbitung. Itupun didorong oleh perasaan tidak mau kalah oleh kakak saya yang sekolah jauh ke SMA Stella Duce 1 Yogyakarta. Diperkuat lagi oleh ucapan ibu saya yang sedari kecil ditanamkan pada kami berdua.  katanya “jangan jadi orang bodoh, karena itu menyakitkan”. Oleh karena itu walaupun kami dari keluarga sederhana. Orang tua kami  selalu berusaha keras untuk menyekolahkan kami ke sekolah terbaik walaupun buat keluarga kami mungkin itu sangat mahal.

Setelah saya pikir-pikir malas belajar  itu bukan karena lingkungan, tapi sudah mengakar dalam diri semenjak kecil. Jadi saat itu saya sedang malas sekolah dan ingin jalan-jalan. Ketika malam minggu pergi ke gereja (untuk nongkrong di pasturan, bukan berdoa) saya melihat pengumuman berupa kertas kuarto dengan tulisan mesin ketik yang benar-benar tidak menarik, disitu tertulis seminari menengah stella maris membuka pendaftaran mahasiswa baru, pendaftaran dan tesnya selama tiga hari. Jujur saya tidak tahu apa itu seminari, yang buat saya tertantang adalah tesnya selama tiga hari, berarti saya bisa bolos sekolah tiga hari.

Orang tua saya tidak percaya waktu mendengar saya ingin  daftar seminari, tetapi tidak melarang juga, sehingga ia memberi tahu frater yang saat itu bertugas di paroki saya untuk memberi penjelasan tentang seminari. Setelah berpanjang lebar frater tersebut bercerita, yang sayapun tidak menangkap maksud implisitnya, yang sayapun  tidak peduli, karena di otak saya saat itu adalah jalan-jalan ke bogor selama tiga hari. Tak kurang, tak lebih.

Ternyata untuk daftar seminari itu lebih rumit daripada daftar di sekolah biasa. Bayangkan, seseorang harus membuat surat lamaran (atau permohonan) bermaterai, yang secara terang dan jelas nantinya bahwa siswa yang membutuhkan sekolah seminari bukan sebaliknya seperti sekolah-sekolah pada umumnya yang membutuhkan siswa. Lalu, harus minta surat pengantar dari pastur paroki. Terakhir meminta surat baptis yang diperbarui. Untung saja ibu saya adalah aktivis di organisasi wanita katolik, jadi untuk itu semua bisa lebih cepat dan mudah.

Tak berapa lama saya langsung berangkat sendiri ke bogor untuk mendaftar dan beberapa minggu kemudian datang kembali untuk tes selama 3 hari, dari jumat siang sampai minggu sore. Tesnya tergolong sulit dan padat, mulai dari tes pengetahuan umum, tes mata pelajaran yang buat siswa daerah seperti saya sangat susah dan memang tidak saya kerjakan dengan serius, selain itu wawancara dengan enam staff yang di setiap staff bisa mencapai 45 menit sendiri, setiap anak tegang menunggu giliran masuk, saya sebenarnya tenang-tenang saja karena memang tidak berniat masuk, just have fun.  Belum lagi tugas refleksi malam yang harus ditulis sangat mendetail.  Kegiatan kerja rutin. Dan masih banyak lagi. Semuanya itu terlalu neko-neko buat saya. Dan semakin menguatkan kalau memang tempat ini sangat tidak tepat buat saya.

Malam minggu selanjutnya, saya kembali pergi ke gereja, bersama gadis lucu yang saya suka. Seselesainya misa semua umat menyalami saya, mereka semua berdoa supaya saya diterima di seminari, karena sangat jarang umat dari paroki kecil tersebut yang mau masuk seminari, dulu pernah ada, tapi sudah hampir sepuluh tahun yang lalu. Ternyata saat saya sedang tes di bogor, pastur berinisiatif memberi intensi agar umat mendoakan saya, yang berarti pengumuman kalau saya telah mendapat keajaiban terpanggil oleh Tuhan untuk mengikuti jalan-Nya. Hati saya kecut juga, tapi tidak meruntuhkan niat untuk tidak serius, lagipula saya sangat yakin seminari tidak akan menerima saya.

Beberapa mingu terlewati tanpa pernah ada kabar lagi, sayapun sudah terlalu yakin tidak akan pernah diterima. Dan saya sangat lega. Selain itu ibu saya sudah jauh-jauh hari membayar uang bangunan di sekolah swasta di Jakarta, sebelum saya tes di seminari. Jadi tidak ada yang perlu dirisaukan lagi mengenai masa depan pendidikan saya.

Malam minggupun datang lagi, masih bersama si gadis lucu yang jadi hobi pergi ke gereja bersama saya. Di penghujung misa, di saat pengumuman gereja, pastur mengambil alih podium, hening sejenak dan tiba-tiba memberi pengumuman gembira (buatnya) kalau saya diterima di seminari menengah stella maris bogor. Seketika saya terhenyak, yang saya tidak sadari adalah surat memang tidak akan dikirim ke rumah, tapi dikirim ke pasturan. Dan sekonyong-konyong saya jadi artis, sebubarnya misa semua umat menyalami saya, beberapa guru yang awalnya sering menghukum malah  mencium pipi saya,  dan saya tahu, sulit untuk kabur lagi.

Dan saat saya bertanya pada ibu saya, yang saya harap jawabannya mendukung saya untuk mundur, malah berkata”ya sudah dicoba dulu saja”

Dan pengorbanan itu tidak main-main. Menghanguskan uang bangunan SMA yang hampir mencapai sepuluh juta, meruntuhkan mimpi menjadi anak gaul Jakarta, mematahkan semangat untuk mencari  pacar cantik sebanyak-banyaknya, merobek mimpi-mimpi bertualang keliling jawa.

To be continued….


(dan setelah tiga tahun disana saya baru tahu kebenaran dari salah seorang staff bahwa dari semua aspek tes mulai intelektual, kematangan psikologis, tingkat rohani , refleksi sampai keyakinan wawancara, tidak ada satupun yang lulus, dan memang sebenarnya saya benar-benar tidak layak masuk seminari di mata para penguji. Tapi seminari stella maris adalah milik keuskupan bogor, tentunya yang diutamakan adalah anak dari keuskupan tersebut, di angkatan tes saya sangat sedikit anak dari keuskupan bogor, hal itu didukung saya dari rangkasbitung, paroki yang hampir tidak pernah mengirimkan wakilnya ke seminari, sehingga saya diharapkan (walaupun tidak layak) bisa mengajak anak-anak disana untuk lebih mengenal seminari, melalui saya. Oleh alasan yang sangat tidak professional tersebutlah saya bisa menjadi seminaris yang menghabiskan uang umat yang berharap banyak pada saya yang memang tidak mau diharapkan)

Comments

  1. wow, Rio ceritanya menarik.....

    Berhubung saya tidak mengerti apa-apa tentang seminari, tulisan ini sungguh memberi pengetahuan tambahan. Tapi, saya gak bisa komen apa apa. Each decision will have its consequences in the future, and you have to be ready for them.

    Nice story mate

    ReplyDelete
  2. dulu waktu gw kuliah bisnis, ada temen yang sekolah seminari gitu malahan sampe dapet beasiswa ke filipina. Orangnya filosofis banget gitu, rada2 kayak lu gitu deh kalo nulis sesuatu. jangan2 kemampuan filsuf lu bawaan dari sekolah seminari itu ya? hehehe....

    ReplyDelete
  3. hidup adalah pilihan...apapun itu..mungkin memang menjadi romo bukan jalan hidupmu tp proses hidup di seminari semoga juga membentuk dirimu menjadi pribadi yang lebih baik.

    ReplyDelete
  4. Kebanyakan pemimpin terbesar di Timor-Leste mayoritas Ex-Seminaris, dan Meraka lah memperjuangkan kemerdekaan Timor-Leste dari Portuguese dan Indonesia,,,aku juga Ex-Seminaris dari Negara Timor Leste

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bu RT, Our Mother who art in Gang Pertolongan

Kita Masih Terlalu Muda Untuk Mati