PART.4 ---Go to lombok with bule(s)—sebagai friend , peer partner, tour guide, private bahasa teacher sekaligus bodyguard---
Di malam yang semakin tidak bersahabat
beriring dingin bersalut kabut. Mobil pick-up sayur ini berlari
menuju ketinggian. Pohon-pohon besar menari mengikuti simfoni tiupan
angin menambah romantis-mistis suasana alam. Jalanan basah sesekali
terlihat memantulkan cahaya merah saat supir dalam-dalam menginjak
rem. Sesekali ban berdecit nampak kesakitan menempuh jalur yang tidak
ramah.
Di belakang kami berenam terdiam
berdamai dengan adrenalin yang terpacu mengisi aliran darah, jantung
berdentum-dentum setiap mobil ini tidak menurunkan kecepatan di jalan
berkelok menanjak. Teringat cuplikan percakapan dalam film
Stormbreaker “You're never too young to die”. Dan mendadak saya
jadi takut mati.
Jalanan menuju sembalun saat siang hari
tentu tidak akan terasa sebegini menyeramkan. Di sepanjang perjalanan
kita akan disejukan oleh pepohonan raksasa yang akarnya menghujam
bumi dan pucuk tertingginya menusuk langit. Monyet-monyet juga akan
menikmati kesejukan di bawah daun rindangnya. Apalagi saat semakin
mendekati basecamp maka hamparan perkebunan jambu monyet menyambut
lalu diiringi perkebunan sayur yang berselimut kabut.
Namun, melintasi jalan ini di malam
hari yang basah, mempercayakan segenap nyawa pada supir sayur yang
rasa-rasanya tidak akrab rem, dan mendengar batang-batang pohon
berderit-derit laksana akan tumbang tentu menjad terasa berbeada.
Kami berdelapan di atas bak sayur.
Sepertiga ruang sudah terisi barang-barang hasil belanjaan sang
supir. Sepertiganya terisi carrier-carrier tinggi besar. Dan sisanya
diisi kami berdelapan. Rukiye seringkali mengeluh kesemutan karena
harus duduk bersila dan mempertahankan keseimbangan. Ilse dan Ilmi
diam saja nampak sangat kelelahan atau mungkin juga menahan murka
kenapa sampai terjebak dalam situasi sulit tersebut. Micky sesekali
coba menenangkan rukiye dengan lelucon-lelucon tidak lucu. Suyan dan
Vera juga diam saja barangkali menyesali perjalanan ini. Andri, tetap
dengan muka datarnya yang tidak pernah berubah sedari awal perjalanan
ini.
Apa yang saya takutkan terjadi, malam
yang gelap kini bertemu sahabatnya. Awan-awan temaram yang kelebihan
muatan. Tetes-tetes air perlahan meluncur anggun menemui kodratnya
pada gravitasi. Kami mulai panik. Kondisi di atas bak terbuka menjadi
hiruk pikuk karena serentak semua orang ingin mengeluarkan jas hujan
dari carrier masing-masing.
“rio, can i wear your rain coat?”
tanya Rukiye, dengan polos.
“what!!?! didn't you follow my
instruction in jogja to buy rain coat? Kemurkaan deras memenuhi
kepala.
“i am sorry, i left it in homestay,
my carrier is too heavy” jawabnya, setengah merajuk.
Kekesalan memenuhi kepala sampai
menyumpal pita suara sehingga tidak mampu berkata apa-apa lagi.
Namun, tetap saja raincoat itu berpindah tangan padanya. Jaket merah
hitam yang fungsinya menahan angin dialih fungsi untuk menahan air.
Tak bertahan lama, sekujur tubuh basah sampai tidak ada lagi kering
tersisa walaupun di sudut paling rahasia.
Nampaknya supir perlahan sadar kalau di
tengah hujan yang meradang dia membawa delapan manusia yang membayar
jasanya. Untung saja tidak butuh waktu terlalu lama sampai
kepekaannya tiba. Dalam riuh hujan berangin ia mengangkat dan
melebarkan terpal yang semula alas duduk kami menjadi atap sementara.
Kami semua duduk jongkok di atas bak
tersebut. Andri berinisiatif mengikat kedua ujung terpal pada tiang
kabin supir setelah itu Saya dan Andri duduk di sudut kiri dan kanan
untuk memegang ujung terpal. Angin seringkali berhembus kencang tak
terduga alhasil beberapa kali terpal tersebut lepas dari genggaman
dan berkibar-kibar mencambuk kepala kami semua.
Terpal yang tidak menutup sempurna
mengizinkan air untuk mengaliri dan mendiami seisi bak. Beruntung isi
carrier empat perempuan belanda itu sudah terlindung sempurna oleh
trashbag. Air boleh saja berkuasa atas seluruh permukaan tas , tapi
tidak ada celah untuk memperkosa isi tas kami. Suyan dan Vera yang
mulai kedinginan, nampak dari tubuh mereka yang menggigil tak
terkendali.
Dingin air hujan dan hembusan angin
secara drastis menurunkan suhu tubuh, saya yang basah kuyup mulai
kehilangan rasa di ujung-ujung jari yang erat menggenggam kaitan di
ujung terpal. Sebelum itu, rasanya ada lautan jarum menusuk jari
sampai mengiris sendi yang mulai kaku.
“Rio, can we stop for a while
somewhere”? Tanya Ilmy, yang sedari tadi tidak banyak bicara dan
berusaha tabah menghadapi situasi yang tidak pernah ia alami
sebelumnya.
“for what?, sightseeing? Taking
picture?” tanya saya, dingin yang merajam membuat kewarasan
menurun.
“ouww.. what a stupid question, i
wanna pee” ejek Ilmy yang menganggap pertanyaan tadi tidak masuk
akal.
“there is no toilet around here, you
see we are in the center of nowhere” saya coba menjelaskan.
“i can't resist it anymore, please
stop here, NOW!!'
segera saya minta supir berhenti
sejenak, dengan berbekal toilet dan tissue basah, ditemani Ilse dan
Vera akhirnya Ilmy kencing di tepi selokan pinggir jalan. Ilmy yang
sedari awal sangat memperhatikan perilaku dan penampilan kini mau tak
mau harus menjadi sedikit “bar-bar” kencing di tepi jalan. Suatu
hal yang tidak akan pernah ia lakukan di negeri asalnya. Dari situ
saya belajar bahwa keterdesakan membuat orang melakukan hal yang di
luar perkiraaan.
Peristiwa itu tak berlangsung lama.
Dalam beberapa menit kami sudah bertengger di atas bak lagi. Supir
semakin menggila dalam mengendalikan kendaraannya. Kami yang duduk
berjongkok seringkali jatuh tersungkur saling menindih saat di
belokan tajam menurun ia tidak cukup dalam menginjak rem.
Berkali-kali kami yang kedinginan coba mengobrol untuk menghangatkan
suasana berakhir dengan kebingungan, jangankan untuk mengobrol,
mempertahankan kewarasan saja butuh segenap upaya.
Seperti kata Chrisye “badai pasti
berlalu”, saya percaya itu. Yang menjadi pertanyaan adalah apa saat
badai itu berlalu orang-orang masih bertahan. Apa orang-orang tidak
menjadi frustasi sehingga masih bisa memiliki akal sehat untuk tidak
bunuh diri ke dalam laut?. Begitupun yang kami alami, kebasahan dan
kedinginan selama berjam-jam membuat perjalanan itu semakin terasa
panjang.
Sampai pada akhirnya kami tiba di desa
sembalun. Kami tiba di penginapan yang telah kami pesan beberapa jam
sebelumnya. Penginapan tempat kami bisa membersihkan diri dan
terbebas dari dingin. Tempat dimana pancake bantat dan teh manis
kurang gula bisa menjadi nikmat tak terperi. Tempat dimana kami
percaya bahwa badai pasti berlalu.
Saya selalu
berbangga hati mampu mengendalikan emosi di dalam keadaan normal
maupun kondisi yang tidak bersahabat. Saya selalu sadar diri mampu
mengubah ejekan orang lain jadi lelucon untuk ditertawakan. Saya
selalu menilai diri saya dengan tingkat kestabilan emosi di atas
rata-rata.
Tapi kali ini, saya tahu, bahwa saya
menilai diri sendiri terlalu tinggi.
to be continued..
Pada akhirnya perjalanan akan memperlihatkan watak asli kita yang sebenarnya. Berhenti menjadi orang lain dan berani menampilkan kita apa adanya. Termasuk ngamuk-ngamuk sama travel partner yang lebih banyak nyusahinnya :p
ReplyDeletehmmm.. lu ga ngasih tutorial caranya pipis di selokan kali ini? wkwkwkwkwk
ReplyDelete